Tuesday, November 24, 2015

Menag: Sampaikan Pesan Damai Islam Melalui Kartun

JAKARTA, PENDIDIKANISLAM.ID – Kartun merupakan gambar ilustrasi yang bisa memberikan arti dalam kehidupan, Di zaman modern ini, kalangan santri masih konsisten menjaga tradisi dengan mengaji. Sementara kartun dimata santri adalah karya seni yang penuh candaan tapi penuh penghayatan imajinasi. Santri dan kartun bagi sebagian orang masih terdengar aneh dan memberi kesan tersendiri.


Lomba, Pameran dan Sarasehan kartun Santri Nusantara melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI, kartun santri nusantara ini di bertujuan untuk memberikan ruang para santri terutamanya agar bisa berekpresi menelurkan ide dan gagasan melalui karya-karya kartun yang indah dan elegan. Acara ini merupakan rangkaian kegiatan Dirjen Pendis sejak bulan september yang lalu.


Karya lomba kartun santri ini bertemakan “Bernegara dan beragama yang santun berakhlak”, hasil karya kartun ini di nilai langsung oleh dewan juri KH. Musthofa Bisri, Pramono R, Kus Indarto dan Abdullah ibnu Thalhah. Peserta lomba kartun santri nusantara di ikuti 750 peserta santri dan 1500 karya kartun yang terkumpul di panitia.


Launching Pameran dan Sarasehan Kartun Santri Nasional di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (24/11), Sarasehan yang di isi oleh KH. Zawawi Imran selaku kyai dan seniman ini juga mempersembahakan puisi yang berjudul “Ibu” untuk menteri Agama Lukman Hakim Saifudin.


Sejumlah kurator kartun nasional seperti Kuss Indarto ikut hadir dan memeriahkan  Acara yang akan berlangsung dari  24 – 30 November 2015, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin di Galeri Nasional, ikut hadir Sekjen Nursyam, Dirjen Pendis Kamaruddin Amin, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Mohsen, dan penanggungjawab acara kartun santri nusantara Abdul Rouf , serta tuan rumah Galeri Indonesia, Lempuk Setyanegara,


Menurut Lukman Hakim, banyak kesamaan antara seni kartun dan santri, 3 hal di antaranya adalah: pertama, kartun dan santri sama-sama memiliki ruh, memliki jiwa intelektual. “Kartun selalu merupakan artikulasi apa yang ada dalam fikiran yang dituangkan dalam bentuk lukisan,visual, dan gambar,” tambahnya.


Kedua, baik kartun dan santri selalu berupaya mengubah kehidupan sosial kemasyarakatan ke arah yang lebih baik melalui pesan kartun yang penuh pesan-pesan yang membangun. Ketiga, kartun dan santri, keduanya mengandung unsur homor, setidak-tidaknya suka dengan hal-hal yang humoris. Karya-karya kartun sangat kaya dengan nilai humor, santri juga kaya dengan humor. “Kalau tidak suka humor, kesantriannya dipertanyakan,” canda Menteri Agama.


“Dunia kartun merupakan media yang strategis untuk menyampaikan kedamaian, toleransi kesejukan, sehingga kehidupan keberagamaan kita semakin baik,” Tegas Menteri Agama.

Saturday, October 17, 2015

Kisah Lahirnya Madrasah MU di Bali

Kampung Wanasari merupakan satu kampung di Denpasar dengan mayoritas warga beragama Islam. Kampung yang berada di Kecamatan Denpasar Utara ini secara umum aktivitas perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perdagangan. Sebagian besar penduduknya tergolong warga kurang mampu.


Ketidakmampuan ini lambat laun berdampak terhadap keberlangsungan masa depan pendidikan anak. Tak ayal, banyak anak usia sekolah tidak dapat melanjutkan pendidikannya lantaran terbentur biaya. Di sisi lain, kebutuhan akan pendidikan tingkat SMP/MTs sangat mendesak mengingat di Wanasari telah berdiri Madrasah Ibtidaiyah sejak 1970-an dan dua pondok pesantren.




[caption id="attachment_70" align="alignnone" width="940"]Lomba Antar Kelas di MTs Miftahul Ulum Denpasar Bali Lomba Antar Kelas di MTs Miftahul Ulum Denpasar Bali. Photo: MTs Miftahul Ulum Denpasar[/caption]

Menurut keterangan Kepala MTs Miftahul Ulum (MU) Jarod Sudarmaji, M.Pd.I., pada 1999 masyarakat di daerah itu masih sulit mencari sekolah muslim. Meski sudah ada MI untuk tingkat dasar, namun masih belum ditemukan Madrasah Tsanawiyah. “Jadi, anak-anak sekolahnya keluar Bali, seperti ke Asembagus, Situbondo. Dan beberapa pesantren di Jawa Timur,” katanya.


Akhirnya, lanjut Jarod, para tokoh masyarakat sini bersepakat untuk mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Tepatnya pada 16 Januari 1999 para tokoh masyarakat Wanasari merumuskan langkah merapatkan barisan untuk mencari solusi bagi kelanjutan pendidikan anak-anak yang tidak sekolah, yakni dengan mendirikan MTs Miftahul Ulum di bawah naungan Yayasan Miftahul Ulum yang beralamat di Jl A Yani 35 B Wanasari, Denpasar. Yayasan ini dipimpin H Mohammad Hasan Ishaq, SH.



Tantangan, Masyarakat Belum Tahu Apa Itu Madrasah


Perlombaan 17 Agustus di Mts Miftahul Ulum Denpasar Bali“Saat itu, tantangannya berat. Masyarakat juga belum tahu apa itu madrasah. Mereka juga belum yakin akan kemampuan MTs dalam keilmuan. Nah, tahun 99 itu cuma 9 siswa aja yang masuk. Alhamdulillah, karena komitmen para pendiri dari 9 siswa itu lama-lama makin hari makin meningkat,” ungkap Jarod.


Menurut Jarod, untuk pendiri atau tokoh tidak mengacu kepada satu orang. Hal ini dikarenakan banyak tokoh yang terlibat dalam pembangunan dan pengajaran di Mitahul Ulum.


Kepala MTs Miftahul Ulum Jarod Sudarmaji M.Pd.I mengatakan, madrasah yang dipimpinnya pada mulanya merupakan pondok pesantren. Dalam perkembangannya, pesantren tersebut di-merger dengan pesantren Darun Najah di Desa Dauh Puri Kaja, sebelah timur kampung Wanasari, lantaran kian menyusutnya jumlah santri. Namun, sekolahnya tetap ke MTs Mifathul Ulum Jl Ahmad Yani 35-B Wanasari, Denpasar Utara, Kota Denpasar.


Dengan berdirinya MTs Miftahul Ulum, telah memberikan banyak pengaruh positif terhadap kesinambungan pendidikan warga Wanasari. Selain dapat menampung kelanjutan sekolah para alumni MI dan Pesantren di kampung Jawa tersebut, keberadaan MTs Miftahul Ulum juga telah memberikan manfaat ekonomi bagi warga sekitar madrasah. Banyak di antara mereka menjadi penjual makanan ringan serta alat tulis bagi kebutuhan siswa.


“Pada awalnya, sekolah ini dipandang masyarakat sebagai sekolah yang memberikan pembelajaran agama saja tanpa adanya unsur pendidikan umum. Hal ini dapat dilihat dari input siswa yang masuk sebagian besar adalah alumni MI saja. Pandangan semacam ini bisa dimaklumi mengingat nama madrasah belum terlalu akrab di masyarakat umum, termasuk juga oleh sebagian warga muslim sendiri,” tutur Jarod.


Namun, lanjut dia, seiring dengan semakin eksisnya MTs Miftahul Ulum dalam pencapaian prestasi di berbagai bidang menyebabkan animo masyarakt terhadap Madrasah Tsanawiyah pertama di Kota Denpasar ini makin meningkat, yaitu dengan bertambahnya jumlah siswa yang berasal dari berbagai lulusan MI dan SD Negeri maupun Swasta. (Musthofa Asrori)

Monday, June 1, 2015

Gerakan Nasional “Ayo Mondok”

Gerakan Nasional “Ayo Mondok, Pesantrenku Keren”  ini adalah bentuk kepedulian kalangan pesantren terhadap fenomena dunia pendidikan yang gagal menanamkan pendidikan karakter kepada pelajar dan mahasiswa. Demikian kata KH Lukman Harits Dimyati di Kramat Raya 164 Jakarta medio 2015 yang lalu.

[caption id="attachment_259" align="aligncenter" width="960"]Launching Gerakan Nasional Ayo Mondok Launching Gerakan Nasional Ayo Mondok[/caption]

Secara moral, lanjut  Pengasuh Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan, hanya pesantren yang bisa menyelamatkan generasi muda dari kencenderungan-kecenderungan pendidikan yang merusak. Perilaku yang baik hanya bisa dilakukan dengan pembiasaan secara terus menerus untuk bersikap baik.

“Pembiasaan selama 24 jam dengan pengawasan, pembinaan dan pendampingan terus menerus adalah bentuk pendidikan karakter yang sudah lama dilakukan di pesantren, jauh sebelum isu pendidikan karakter muncul,” tukas koordinator Gerakan “Ayo Mondok” ini.

Sementara itu, KH. Sad Aqil Siroj mengatakan, gerakan Ayo Mondok ini merupakan “action” dari gerakan “Kembali ke Pesantren” yang dicanangkannya sejak Muktamar NU di Makassar 2010 lalu.

“Omong kosong kalau kita ngomong kembali ke khittah kalau tidak kembali ke pesantren. Kembali ke pesantren bisa dalam artian fisik yakni mondok, atau dalam pengertian kembali kepada nilai, akhlaq dan jati diri pesantren,” kata Ketua Umum PBNU 2014 – 2019 ini.

Hadir dalam acara peluncuran Gerakan Nasional “Ayo Mondok” Mantan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang kebetulan juga sebagai Ketua PP RMI, Amin Haedari, Ketua RMI Jawa Tengah KH Abdul Ghaffar Rozien dan Ketua RMI Jawa Timur KH Reza Ahmad Zahid. (A. Khoirul Anam)

Sunday, May 17, 2015

Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai

Judul: Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai
Penulis: Zamakhsyari Dhofier
Penerbit: LP3ES
Tebal: 316 halaman




[caption id="attachment_90" align="alignleft" width="214"]Tradisi Pesantren - Zamakhsyari Dhofier Tradisi Pesantren - Zamakhsyari Dhofier[/caption]

Buku ini merupakan kerangka sistem pendidikan tradisional dijawa dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren, dan juga menggambarkan semangat islam dari pesantren yang dikenal sebagai benteng pertahanan umat islam dan pusat penyebaran islam. Sebagai study intensif tentang pesantren sebagai lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan, tetapi juga menyoroti peranannya dalam pelestarian dan pengembangan islam tradisional dijawa antara tahun 1875 samapai tahun 1976. Yang dimaksud dengan islam tradsional adalah islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama, hadis, tafsir, tauhid (teologi islam), tasawwuf. Dari abad ke 13 sampai abad ke 19 sruktur dasar kehidupan keagamaan orang-orang islam telah mengalami perubahan yang mendalam, demikian pula dengan islam tradisional dijawa. Semakin besar pengikut para kyai sejak masuknya islam kejawa sampai dengan abad ini adalah merupakan salah satu bukti islam dijawa
meiliki vitalitas.


Islam mulai memasuki area kehidupan orang jawa pada masa pertumbuhan dan perluasan kerajaan hindu majapahit, semakin kuat kerajaan majapahit maka makin intensif kontak antara orang-orang jawa dan orang-orang islam India. Sewaktu kerajaan majapahit pudar, islam menjadi senjata utama bagi proses berkembangnya kerajaan islam demak sehingga penduduk seluruh jawa dapat di islamkan, dengan perkembangan yang sangat lambat. Pada masa penjajahan belanda kontak antara islam di jawa dan Negara-negara islam yang lain sangat terbatas ini sebagai akibat politik belanda yang membatasi dalam bidang keagamaan sehingga islam tidak dapat memainkan peran politiknya di kota-kota di jawa maka pusat study islam dipindahkan ke desa-desa. Walaupun belanda mengadakan pembatasan-pembatasan tapi dalam kenyataannya islam justru menjadi daya tarik utama sebagai wadah perjuangan melawan penjajahan belanda


Pesantren membentuk dan memelihara kehidupnan social, cultural, politik dan keagamaan orang-orang jawa dipedesaan. Kebanyakan gamabaran tentang kehidupan pesantren hanya menyentuh aspek kesederhanaan, cara hidup para santri, kepatuhan mutlak para santri kepada kyainya, dan dalam beberapa hal. Pelajaran-pelajaran dasar mengenai kitab-kitab ialam klasik, gambaran-gambaran yang ia berikan tentang pesantren dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pesantren telah menekankan pentingnya perjuangan poitik daripada yang lain. Walopun seletah Indonesia merdeka telah berkembang jenis pendidikan islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi IAIN, namun secara luas.


kekuatan pendidikan islam dijawa masih berada pada system pesantren. Sebagai pusat-pusat pendidikan islam tingkat tinggi pesantren juga mendidik guru-guru madrasah, guru-guru lembaga pengajian, dan para kotib jumat. Keberhasilan pemimpin-pemimpin dalam menelorkan sejumlah ulama yang berkwalitas tinggi adalah metode pendidikan yang dikembangkan para kyai, tujuannya untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur, dan menyiapkan para murid hidup sederhana dan bersih hati. Walaupun jumlah cabang pengetahuan yang dipelajari sangat terbatas tidak bisa disimpulkan bahwa pendidikan dipesantren mebatasi cara perfikir dan perhatian para murid. Dalam tradisi pesantren dikenal pula system pemberian ijasah berbentuk pencantuman nama dalam suatu daftar rantai transmisi pengetahuan.


Metode utama system pengajaran di pesantren adalah system bondongan dimana sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang menbaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. System sorogan dalam pengajian merupakan bagian paling sulit dari keseluruhan system pendidikan islam tradisional. Pola umum pendidikn pesanteran sebelum tahun 60-an dikenal dengan nama pondok. Dalam periode sekarang sistem pengajian telah dilengkapi dengan bentuk sekolah formal yaitu madrasah, lembaga pengajian dan madrasah dijaman colonial berkembang dibiayai oleh masyarakat sendiri. Kebanyakan anak-anak belajar dapat mengerjakan sembahnyang dan baca al-quran yang tidak mereka ketahui artinya dan tidak dapat membaca buku-buku dalan bahasa arab. Namun zaman sekarang dengan tersedianya buku-buku tentang islam yang berbahasa Indonesia banyak diantara meeka yang kemudia menambah pengetahuan tentang Islam.


Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan buku ini adalah pendekatan intelektual dan teologi mana paar kyai sanagt terikat oleh ajaran-ajaran kaum sufi dan mengamalkan tarekat yang dianggap mengamalkan isalm yang salah, islam yang hanya mementingkan hidup akhirat dengan melupakan kehidupan duniawi. Di samping itu pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan sosiologis, karena islam tradisional dijawa menekankan aspek-aspek tradisional dan konservatif dan meremehkan kemampuan untuk mengembangkan diri dalam kehidupan modern. Buku ini juga menyodorkan laporan yang bersifat historis dan etnografis contohnya tentang pesantren tebu ireng dan tegalsari. Penulisan buku ini bersifat deskriptif dan analistis, dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa data etnografis yang lebih banyak lagi dan analisa yang lebih imajinatif masih sanagt diperlukan untuk dapat lebih memahami masyarakat dan kebudayaan manusia. Kebanyakan studi Islam dijawa terpaku oleh pendekatan dekotomi tradisionalisme dan modernisme yang tidak dapat ditemukan yang menghasilkan penyederhanaan.


Peresensi: Hasybi Mawardi

Saturday, January 17, 2015

Para Pejuang Kemanusiaan

 

[caption id="attachment_94" align="aligncenter" width="400"]Para Pejuang Kemanusiaan Dunia Para Pejuang Kemanusiaan Dunia[/caption]

Judul : Para Pejuang Kemanusiaan
Penulis : Najamuddin Muhammad
Penerbit : Divapress, Yogyakarta
Tebal : 237 Halaman
Cetakan : November, 2014


Para pejuang yang melampaui sekat suku, agama, ras, bendera, golongan, dan bahkan negara namanya layak dikenang serta diabadikan.


Mereka telah mampu memandang hakikat manusia secara hakiki dan mampu menerjemahkannya dalam kemesraan untuk saling bertegur sapa, mengisi, dan membantu dalam bungkus kemanusiaan.


Ikatan kekeluargaan atas dasar kemanusiaan akan melahirkan desa global di mana antara yang satu dan lainnya dijauhkan dari sifat fanatisme golongan. Yang akan tercipta justru saling bergandengan tangan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan melawan segala bentuk penindasan yang memberangus nilai-nilai insani.


Buku Para Pejuang Kemanusiaan adalah salah satu cara untuk mengenang dan mengabadikan para pejuang kemanusiaan universal. Buku ini mengandung biografi, hidup, pemikiran, dan perjuangan-perjuangan yang dilalui lewat jalan terjal dan berliku penuh tanjakan.


Meski banyak rintangan mengadang, mereka tetap mempertaruhkan hidup untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Di Indonesia mereka diwakili antara lain Abdurrahman Wahid (Gusdur), Romo Mangun Wijaya, Munir, dan Kartini.


Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Gusdur terbukti menjadi pejuang kemanusiaan dan pembela hak-hak minoritas baik sebelum menjadi presiden maupun setelah pansiun dari dunia politik (hal 146).


Sosok Munir sejak kecil mulai respek pada hak-hak kaum buruh hingga terus menjadi aktivis kemanusiaan yang selalu hadir memperjuangkan keadilan bagi kaum lemah.


Meskipun harus berakhir dengan kematian yang tak disangka-sangka, dia akan selalu dikenang dan mencari keadilan untuk Munir. Romo Mangun adalah sosok yang mampu mengasihi dan menyentuh setiap manusia dengan penuh ketulusan.

Cinta kasihnya terpancar dari keimanan sehingga mampu merangkul manusia dengan penuh keakrapan tanpa pandang bulu. Mereka yang malang ataupun beruntung, gembira atau sedih, Islam atau Kristen atau agama lain, miskin ataupun kaya, baginya sama saja (hal 115).


Buku ini juga banyak memuat kisah perjalanan panjang penuh tantangan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara berbeda-beda dari tokoh dunia. Ada Nelson Mandela dengan kebijakan politiknya yang humanis.


Muhammad Yunus yang menggerakkan ekonomi kerakyatan. Kemudian Rabindranath Tagore yang berkarya lewat tulisan dan tindakan edukatifnya. Di Amerika Latin dikenal Che Guevara sebagai revolusioner sejati. Che adalah aktivis yang melampaui sekat-sekat perbedaan.


Dia berjuang bersama untuk menantang penindasan tanpa membedakan golongan. Dia berujar, “Jangan hiraukan bendera karena kita berjuang menegakkan masalah suci penyelamatan kemanusiaan sehingga mati di bawah bendera Vietnam, Venuzuela, Guatemala, Laos, Ghana, Kolombia, Bolivia, Brasil, bukan persoalan” (hal 174).


Buku yang dikemas dengan naratif ini akan memudahkan pembaca mengenal perjalanan hidup para tokoh secara lebih nyaman, tanpa harus kehilangan aspek kajian-kajian pemikiran tiap tokoh.


Bacaan ini harus mampu mendorong reaktualisasi nilai-nilai kemanusiaan di negeri yang masih penuh baku hantam, saling cerca, dan sikut antargolongan ini atas alasan-alasan yang sempit. n


Diresensi Fitri Wijayati, alumna Fakultas Ilmu Budaya UGM