Sunday, January 31, 2016

Teladan Inspiratif dari Para Guru Madrasah


Teladan Inspiratif dari Para Guru Madrasah


Buku setebal 348 halaman ini berupaya memberikan inspirasi kepada para pendidik di sekolah dan madrasah melalui kisah-kisah teladan para guru dan kepala madrasah. Bahkan bukan hanya mengemukakan keteladanan, para sosok guru dalam buku ini juga menopang keteladanan dengan prestasi membanggakan.Buku setebal 348 halaman ini berupaya memberikan inspirasi kepada para pendidik di sekolah dan madrasah melalui kisah-kisah teladan para guru dan kepala madrasah. Bahkan bukan hanya mengemukakan keteladanan, para sosok guru dalam buku ini juga menopang keteladanan dengan prestasi membanggakan.







[caption id="attachment_192" align="alignright" width="269"]Buku Inspirasi Para Guru Madrasah Buku Keteladanan: Sosok Para Guru Madrasah Inspiratif[/caption]

Salah satu teori pedagogik menyatakan bahwa keberhasilan peserta didik ada di tangan guru, keberhasilan guru ada di tangan kepala sekolah atau madrasah, keberhasilan kepalada sekolah ada di tangan pengawas pendidikan, keberhasilan pengawas pendidikan ada di tangan kepala dinas pendidikan, dan seterusnya ke atas. Konsep vertikal ini memberi pemahaman, pendidikan memerlukan sosok pemimpin sekaligus mampu menjadi fasilitator, bukan hanya menjadi mandor.
Secara teknis dan praktis, kesuksesan para peserta didik di madrasah atau sekolah dikarenakan faktor guru. Guru memainkan peran penting dalam memberikan pemahaman kepada para siswa akan sebuah materi pelajaran. Bukan hanya faktor kognitif, guru juga menjadi role model bagaimana pengetahuan para siswa ditopang dengan akhlak mulia (afektif) sehingga memunculkan berbagai potensi dan keterampilan (psikomotorik) para siswa.
Buku setebal 348 halaman ini berupaya memberikan inspirasi kepada para pendidik di sekolah dan madrasah melalui kisah-kisah teladan para guru dan kepala madrasah. Bahkan bukan hanya mengemukakan keteladanan, para sosok guru dalam buku ini juga menopang keteladanan dengan prestasi membanggakan.
Melalui berbagai penemuan dan penelitian yang dilakukan 25 guru teladan dalam buku ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI berupaya mempublikasikan prestasi dan keteladanan sehingga diharapkan mampu menginspirasi para guru madrasah di berbagai daerah di Indonesia.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam pengantarnya dalam buku ini mengatakan, keberhasilam pendidikan Islam tak bisa dilepaskan dari kiprah para guru dan kepala madrasah. Mereka gigih menjalankan tugas demi menghasilkan lulusan-lulusan terbaik. Buku ini, lanjut Menag, cukup memberikan gambaran mengenai berbagai kreasi dan inovasi yang telah dilakukan oleh para guru dan kepala madrasah. (halaman xv)
Jelas para guru dan kepala madrasah tidak hanya sekadar memberikan materi pelajaran demi mencapai beban kurikulum. Tetapi mereka juga harus senantiasa berinovasi, baik dalam menyusun materi pembelajaran, metode pembelajaran, maupun media pembelajaran. Kompetensi holistik ini minimal ada pada diri para guru sehingga siswa mampu menyerap materi dengan baik.
Bagi seorang guru, mengukir teladan dan prestasi tidak hanya bisa dilakukan di dalam kelas, tetapi juga harus berprestasi di luar kelas. Hal ini penting dalam rangka menebar inspirasi kepada peserta didik. Seperti yang dilakukan oleh guru bernama Widya Lestari (38), guru Madrasah Aliyah (MA) Salafiyah Kajen, Pati, Jawa Tengah. Melalui kompetensi pedagogiknya, dia berhasil menggondol Juara I guru MA berprestasi tingkat Kabupaten Pati. Pada 2015, dia juga berhasil menyabet Juara III tingkat Provinsi Jawa Tengah.
Dalam proses pembelajaran, Widya juga melakukan berbagai inovasi. Dia kerap kali mementuk forum pembelajaran luar kelas yang disebutnya study excursion. Hingga saat ini, metode tersebut identik dengan dirinya. Siswa dalam pandangan Widya mempunyai potensi yang luas dalam dirinya. Sehingga ia tidak mau siswanya hanya melulu belajar di dalam kelas.
Teladan dan prestasi lain ditunjukkan oleh Ahmad Hidayatullah, pada tahun 2012-2015, ia menjadi Kepala MAN 3 Malang, Jawa Timur. Ia berhasil membawa MAN 3 Malang menjadi madrasah berkelas, bahkan secara internasional. Sebelum memimpin MAN 3 Malang, ia juga berhasil mengarsiteki MAN IC Gorontalo dan Serpong. Untuk prestasinya ini, Ahmad sampai dijuluki sebagai arsitek madrasah kelas dunia.
Widya Lestari dan Ahmad Hidayatullah merupakan dua dari 25 guru dan kepala madrasah yang dikisahkan secara apik dalam buku ini. Mereka tak hanya bekerja karena tuntutan kurikulum belaka, tetapi juga gigih sepenuh hati dalam memberikan kemampuan dan pengabdian terbaik untuk para siswa dan institusinya.
Buku ini memberikan gambaran kepada para guru dan kepala madrasah bahwa untuk mencapai tingkat di mana pendidikan menjadi rumah berkualitas bagi para siswa, dibutuhkan kerja keras dan inovasi tiada henti. Hal ini dilakukan untuk memajukan pendidikan itu sendiri, khususnya di madrasah.
Dalam buku ini, para sosok guru dan kepala madrasah juga memberikan inspirasi bahwa madrasah tidak hanya memapu menumbuhkan akhlak mulia, tetapi juga menawarkan kualitas pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang siap bersaing di era global. Tulisan dalam buku ini dikemas secara naratif dengan gaya bahasa renyah dan ringan sehingga pembaca tidak akan terasa monoton untuk mecapai kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Selamat menginspirasi! (Fathoni Ahmad)


Identitas buku:
Judul : Keteladanan: Sosok Para Guru Madrasah Inspiratif
Penulis : A. Khoirul Anam, dkk
Penerbit : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Tebal : xviii + 348 halaman
Cetakan : I, November 2015
Peresensi : Fathoni Ahmad




Saturday, January 30, 2016

Al-Kenaniyah: Tetap Tangguh Hadapi Godaan Kehidupan Ibukota

Al-Kenaniyah: Tetap Tangguh Hadapi Godaan Kehidupan Ibukota


[caption id="" align="aligncenter" width="821"]Kegiatan Upacara di Pondok Pesantren Al-Kenaniyah Jakarta Timur, Photo - Duta Kegiatan Upacara di Pondok Pesantren Al-Kenaniyah Jakarta Timur, Photo - Duta[/caption]

Di Pulo Nangka Jakarta Timur berdiri sebuah pesantren khusus putri, yakni Al-Kenaniyah. Suasana mondok di pesantren ini terasa unik. Sedikit banyak santrinya terpengaruh hedonisme Ibukota. Pasalnya, letak pesantren yang strategis. Selain berada di tengah ibukota, kampung ini dekat dengan kawasan industri. Mall dan beberapa keramaian memiliki pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat setempat.






JAKARTA - Di Pulo Nangka Jakarta Timur berdiri sebuah pesantren khusus putri, yakni Al-Kenaniyah. Suasana mondok di pesantren ini terasa unik. Sedikit banyak santrinya terpengaruh hedonisme Ibukota. Pasalnya, letak pesantren yang strategis. Selain berada di tengah ibukota, kampung ini dekat dengan kawasan industri. Mall dan beberapa keramaian memiliki pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat setempat.
Sejatinya, warga asli kampung kecil yang dikepung gedung-gedung tinggi di bilangan Pulo Gadung ini merupakan suku Betawi. Namun, banyaknya pendatang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Dari homogen menjadi heterogen penduduknya.
Pesantren yang diresmikan pada 4 Sya’ban 1414 H (16 Januari 1994) oleh para alim ulama hingga kini tetap berdiri kokoh di Jalan Perintis Kemerdekaan Pulo Nangka Barat I/14, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Para ulama yang hadir waktu itu antara lain KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Syamsuri Badawi dan KH Zayadi Muhajir serta beberapa tokoh masyarakat di sekitar Pulomas. Pesantren ini dipimpin oleh KH Hambali Ilyas. Nama Al-Kenaniyah, diambil dari nama Haji Kenan, seorang ulama dan tokoh masyarakat Betawi.
Menurut KH Hambali Ilyas, pihak keluarga awalnya mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairat pada tahun 1977. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 27 Januari 1981, pihak pesantren melakukan pengembangan dengan membuka Madrasah Tsanawiyah dan Taman Kanak-Kanak.
“Terus terang, awalnya saya juga nggak punya keinginan (bikin pesantren). Awalnya gini, waktu itu pertama kami nerima santri kurang lebih 13 apa 14 orang pada 1995. Kita kan bertahap berkembang terus. Mulai dari pendidikan formalnya. Begitu TK maju, lalu buka MI. MI maju, buka MTs. MTs maju, buka MA. Aliyah maju, baru buka pesantren,” paparnya.
Rencana Kiai Hambali, pesantren putra lebih dahulu didirikan. “Rencana saya putra awalnya. Makanya, waktu ngomongin penerimaan santri baru untuk Al-Kenaniyah waktu itu, putra. Bukan ke putri arahnya. Terus ada yang daftar 13 orang apa 14 lupa saya,” ujarnya sembari menghisap rokoknya melalui cerutu ala Arab.
Setelah proses belajar santri berjalan kurang lebih sebulan, ibu Kiai Hambali melakukan “sidak” ke asrama santri. “Jadi, ibu saya ngontrol. Lho, kok putra. Ibu saya bilang, di sini nggak usah putra. Di sini putri aja dulu. Nah, saya kalau sudah ibu yang bicara, saya nyerah. Kalau sudah ibu, udah. Apapun mau bener mau salah kalau ibu yang bicara udah sam’an wa tha’atan saya patuh,” kenang Kiai Hambali.
Akhirnya, Kiai Hambali mengajak musyawarah para orang tua santri. “Kami daftarin yang 13 anak itu, lalu saya panggil lagi wali santri. Udah anaknya mau ke mana ini. Karena ibu saya bilang buka putri dulu, jadi saya buka putri dulu. Putra nanti di mana lah nanti dicari. Ibu saya waktu itu bilang, terserah nanti buat di mana terserah,” ujarnya dalam logat Betawi yang kental.



Pembatasan Santri


Kiai Hambali sejak awal ingin membatasi jumlah santri maksimal 50 orang. Tapi, sistem pondok pesantren NU umumnya tidak bisa demikian. “Yang saya tau, itu kan kalau ada santri masuk, kita nggak boleh nolak. Apalagi pesen dari guru-guru itu Mbah Yai Idris, Mbah Yai Syamsuri, pokoke nek santri teko pokoke terima. Ojo dibates-batesi. Lho itu yang saya nggak bisa nolak,” tuturnya.
Wal hasil, pihaknya tidak bisa lagi membatasi jumlah santri. Belum lagi ada memo dari para kiai agar menerima santri dari beberapa daerah di Jawa Timur, misalnya Gresik, Malang dan lainnya. “Akhirnya, mau bilang apa. Mau dibatasi malah membengkak. Sekarang waiting list untuk dua tahun yang akan datang aja sudah banyak, masya Allah,” tambahnya.
Meski demikian, Kiai Hambali sengaja tidak memperluas pesantren lagi. Untuk sementara kapasitas kamar kita hanya 150 santri. Faktanya, ternyata sekarang santri kurang lebih 170-an orang. “Itu yang sulit kami pertahankan pembatasan itu,” kata santri Pesantren Tebuireng periode 1972-1975 ini.
Dari jumlah tersebut, sebaran santri berasal dari yang paling jauh Padang, Sumbar; Bangka Belitung, Jambi, Lampung. Mayoritas berasal dari Jabodetabek. “60 persennya lah, yang 40 persen campur aduk dari beberapa daerah dari Jawa Barat. Madura ada juga,” ujarnya.
Setelah berjalan kurang lebih enam tahun lamanya, pada 26 Juli 1984 didirikan sebuah Yayasan Al-Kenaniyah sekaligus melakukan perubahan nama Yayasan, yang semula Madrasah itu bernama Al-Khairat menjadi Madrasah Al-Kenaniyah. Hal ini dilakukan lantaran berada dalam naungan Yayasan Al-Kenaniyah sekaligus untuk mengenang jasa dan perjuangan kakek tercinta, Almarhum Haji Kenan.
Sejak berdirinya sampai sekarang Pesantren Kenaniyah mengalami banyak perkembangan dan kemajuan. Pada awal mulanya santri Al-Kenaniyah hanyalah dari anak-anak para penduduk di sekitarnya sekitar 6 santri. Namun pada tahun 1996 jumlah santri bertambah menjadi 8 orang santri. kemudian pada tahun berikunya menjadi 50 santri.
Pada tahun 2000 santrinya berjumlah 90 santri dan kini tahun 2007 jumlah santri telah mencapai kurang lebih 120 santri. Pesantren ini tidak memprioritaskan kuantitas, namun lebih menekankan pada kualitas santri yang dapat membaca persoalan umat di masa yang akan datang.
Selain pesantren, Yayasan Pendidikan Islam Al-Kenaniyah memiliki beberapa unit pendidikan: Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA), Pesantren Putri Al-Kenaniyah, serta majlis ta’lim.
Jadwal kegiatan santri di Al-Kenaniyah pun teratur rapi. Para santri mendapatkan pelajaran baik umum maupun agama sejak pagi hari di lembaga formal baik MTs maupun MA hingga sore bahkan malam hari untuk mengkaji kitab kuning.



Pengkaderan dan Kitab Kuning


Menurut Kiai Hambali, pengkaderan di pesantren sangat penting. Basisnya adalah kitab kuning. “Sekarang mudah-mudahan yang kita khawatirkan itu pesantren itu nggak terjadi. Kita kan nyiapin kader untuk memimpin pesantren masa depan. Pokoknya utamanya ya itu, kurikulum salaf jangan sampai ditinggal,” ujarnya.
Kiai Hambali mengingatkan pentingnya kitab kuning di pesantren. “Jadi, kitab kuning tetap kita pakai sambil kita menyesuaikan zaman kan sudah berubah. Bagaimanapun zamannya sudah berubah. Kita punya konsep, addibu auladakum fainnahum yuladu fi zamanin ghaira zamanikum. Selesai kan?! Kalau nggak begitu, nggak bisa,” ujarnya.
Dalam pendidikan pesantren yang dibutuhkan untuk keberhasilan santri ke depan, yang terpenting adalah ilmu ikhlas. “Keikhlasan kita dan para guru di pesantren itu jangan sampai hilang. Itu sebetulnya PR lama dari dulu. Kalau bicara ke situ kan otomatis nyangkut masalah ekonomi. Kita harus bisa memikirkan kesejahteraan guru-guru yang ngabdi di pesantren,” tandas Kiai Hambali.
Ditanya tentang tantangan pesantren Al-Kenaniyah, Kiai Hambali mengatakan pengasuhnya musti cerdas. Pasalnya, kondisi Al-Kenaniyah yang dikelilingi mal-mal tentu menjadi godaan tersendiri bagi santri untuk ingin jalan-jalan.
Sebelum buka pondok, ia merenungkan soal hari yang tepat untuk meliburkan santri. “Yang paling enak hari apa, yang membuat santri itu bosan. Kalau pun ia keluar jadi nggak betah (di luar). Umumnya Jakarta libur kan Minggu. Nah, hari itu kan padatnya mal-mal. Akhirnya saya ambil kitab karya Mbah Hasyim Adabul Alim wa al-Mutaallim. Ternyata, awal belajar itu Rabu. Jadi, Selasa kita liburkan,” ungkapnya.
Ternyata benar. Tiap Selasa mal-mal sepi. Bioskop-bioskop juga menayangkan film-film tidak menarik. “Ya udah, kita liburkan Selasa. Ini preventif maksudnya. Menghadapi tantangan pesantren yang berada di tengah kota ya kayak begitu,” tegas Kiai Hambali.
Soal perizinan keluar juga diperketat. Jika bukan orang tuanya yang mendampingi pasti tidak dapat izin. “Putri kan berat. Makanya sejak awal saya nggak tertarik buka pondok putri kan kayak begitu. Nah, kalau putra kita kan bebas ngontrol. Ke kamarnya, kalau bangunin subuhnya juga enak,” ujarnya.
Sebagai ibu nyai, istrinya juga berperan aktif mengawal santri putri. Selain itu, diangkat para koordinator alumni terutama yang dulu pernah dibiayai sekolahnya untuk mengabdi di pesantren. “Itu pun kalau mereka mau. Kalau nggak mau ya nggak masalah. Nggak ada paksaan. Terpenting pesantren itu kitab kuning jangan ditinggal. Kalau ditinggal, bukan pesantren to. Itu aja,” pungkasnya. (Musthofa Asrori)

Wednesday, January 27, 2016

Majalah Pendis Edisi V: Bagaimana Pendanaan Pendidikan Islam?



Published by: Pendidikan Islam




JAKARTA, PENDIDIKANISLAM.ID - Majalah Pendidikan Islam (PENDIS) yang dikelola dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI edisi terbaru, edisi 5 tahun 2015 telah terbit. Edisi kali ini, Majalah PENDIS membahas tema pokok secara detail tentang skema pendanaan pendidikan di lingkungan pendidikan Islam yang selama ini mengalami ketimpangan dibanding pendidikan umum dari jumlah total anggaran 20 persen yang dikucurkan APBN untuk pendidikan Indonesia.




[caption id="attachment_174" align="aligncenter" width="715"]Majalah-Pendis-Edisi-5 Majalah-Pendis-Edisi-5[/caption]

Dalam pengantarnya, Pemimpin Redaksi Majalah PENDIS, M Ishom Yusqi megatakan, pendidikan di Indonesia mengalami dikotomi anggaran antara pendidikan Islam di lingkungan Kementerian Agama dan pendidikan umum di lingkungan Kemdikbud. Hal ini, menurutnya, tidak sesuai dengan perkembangan pendidikan Islam yang berkembang pesat dan membutuhkan skema anggaran lebih untuk mengelolanya.


“Perkembangan pendidikan Islam tidak sepadan dengan perhatian negara, terutama soal penganggaran. Padahal sektor pendidikan di Indonesia sangat dimanjakan dengan porsi 20 persen APBN dan APBD,” terang Ishom.


Ishom juga menjelaskan, besarnya dana pendidikan Islam yang ditransfer ke daerah tidak bisa digunakan untuk lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama dengan alasan otonomi daerah. “Secara bertahap, ketimpangan anggaran pendidikan ini harus segera di atasi,” tegasnya.


Selain membahas ketimpangan anggaran pendidikan, Majalah PENDIS juga mengulas laporan khusus tentang Hari Santri, apakah lengkah riil selanjutnya yang harus dilakukan setelah ditetapkannya hari santri pada 22 Oktober 2015 lalu terkait dengan pengembangan pendidikan Islam.


“Jangan sampai penetapan hari santri nasional tidak dibarengi dengan meningkatnya kualitas pendidikan Islam di madrasah dan pesantren,” jelas Redaktur Pelaksana Majalah PENDIS, Muhtadin AR di Jakarta.


Edisi 5 tahun 2015 ini, Majalah PENDIS terbit setebal 103 halaman dengan tampilan yang terus-menerus diperbarui. Selain topik utama dan laporan khusus di atas, majalah ini juga menyajikan informasi dan berita-berita terkini tentang dunia pendidikan Islam.


Diantara rubrik yang tersaji dalam majalah ini yaitu, salam redaksi, lapoaran khusus, jelajah, wawasan, inovasi pendidikan Islam, warta pendidikan Islam, wawancara, kolom, kajian pustaka, profil, jendela, telisik, serba-serbi pendidikan Islam, dan perlu tahu. (Fathoni Ahmad)




Tuesday, January 26, 2016

Kisah Yang Mencerahkan: Siapa yang Menolongmu Ke Surga?

Suatu hari saya bersenggolan dengan seseorang yang tidak saya kenal. “Oh, maafkan saya,” reaksi spontan saya. Ia juga berkata: “Maafkan saya juga.” Orang itu dan saya berlaku sangat sopan. Kami pun berpisah dan mengucapkan salam.


Namun cerita jadi lain, begitu sampai di rumah. Pada hari itu juga, saat saya sedang menelphone salah satu kolega terbaik saya, dengan bahasa sangat lembut dan santun untuk meraih simpati kolega saya itu, tiba-tiba anak lelaki saya berdiri diam-diam di belakang saya. Saat saya berbalik, hampir saja membuatnya jatuh. "Minggir!!! Main sana, ganggu saja!!!" teriak saya dengan marah. Ia pun pergi dengan hati hancur dan merajuk.


To JannahSaat saya berbaring di tempat tidur malam itu, dengan halus, Tuhan berbisik, "Akan kusuruh malaikat menyabut nyawamu dan mengambil hidupmu sekarang, namun sebelumnya, aku akan izinkan kau melihat lorong waktu sesudah kematianmu. Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan. Tetapi dengan anak yang engkau kasihi, engkau perlakukan dengan sewenang-wenang, akan kuberi lihat setelah kematianmu hari ini, bagaimana keadaan atasanmu, kolegamu, sahabat dunia mayamu, serta keadaan keluargamu"
Lalu aku pun melihat, hari itu saat jenazahku masih diletakkan di ruang keluarga, hanya satu orang sahabat dunia mayatku yang datang, selebihnya hanya mendoakan lewat grup, bahkan juga ada yang tidak komentar apapun atas kepergianku, dan ada yang hanya menulis 3 huruf singkat, 'RIP'.


Lalu teman-temanku sekantor, hampir semua datang, sekejap melihat jenazahku, lalu mereka asik foto-foto dan mengobrol, bahkan ada yang asik membicarakan aibku sambil tersenyum-senyum. Bos yang aku hormati, hanya datang sebentar, melihat jenazahku dalam hitungan menit langsung pulang. Dan kolegaku, tidak ada satupun dari mereka yang aku lihat.


Lalu kulihat anak-anakku menangis dipangkuan istriku, yang kecil berusaha menggapai-nggapai jenazahku meminta aku bangun, namun istriku menghalaunya. Istriku pingsan berkali-kali, aku tidak pernah melihat dia sekacau itu. Lalu aku teringat betapa sering aku acuhkan panggilannya yang mengajakku mengobrol, aku selalu sibuk dengan hanphonku, dengan kolega-kolega dan teman-teman dunia mayaku, lalu aku lihat anak-anakku. Sering kuhardik dan kubentak mereka saat aku sedang asik dengan ponselku, saat mereka ribut meminta kutemani. Oh Ya Allah.. Maafkan aku.


lalu aku melihat tujuh hari sejak kematianku, teman-teman sudah melupakanku, sampai detik ini aku tidak mendengar aku mendapatkan doa mereka untukku, perusahaan telah menggantiku dengan karyawan lain, teman-teman dunia maya masih sibuk dengan lelucon-lelucon di grup, tanpa ada yang membahasku ataupun bersedih terhadap ketiadaanku di grup mereka.


Namun, aku melihat istriku masih pucat dan menangis, airmatanya selalu menetes saat anak2ku bertanya dimana papah mereka? Aku melihat dia begitu lunglai dan pucat, kemana gairahmu istriku?


Oh Ya Allah Maafkan aku..


Hari ke 40 sejak aku tiada.


Teman FB ku lenyap secara drastis, semua memutuskan pertemanan denganku, seolah tidak ingin lagi melihat kenanganku semasa hidup, bosku, teman-teman kerja, tidak ada satupun yang mengunjungiku kekuburan ataupun sekedar mengirimkan doa.


Lalu kulihat keluargaku, istriku sudah bisa tersenyum, tapi tatapannya masih kosong, anak-anakku masih ribut menanyakan kapan papahnya pulang, yang paling kecil yang paling kusayang, masih selalu menungguku dijendela, menantikan aku datang.


Lalu 15 tahun berlalu.


Kulihat istriku menyiapkan makanan untuk anak2ku, sudah mulai keliatan guratan tua dan lelah diwajahnya, dia tidak pernah lupa mengingatkan anak2 bahwa ini hari jumat, jangan lupa kekuburan papah, jangan lupa berdoa setiap sholat, lalu aku membaca tulisan disecarik kertas milik putriku malam itu, dia menulis.. "Seandainya saja aku punya papah, pasti tidak akan ada laki2 yang berani tidak sopan denganku, tidak akan aku lihat mamah sakit2an mencari nafkah seorang diri buat kami, oh Ya Allah.. Kenapa Kau ambil papahku, aku butuh papahku Ya Allah.." kertas itu basah, pasti karena airmatanya..


Ya Allah maafkanlah aku..


Sampai bertahun-tahun anak-anak dan istriku pun masih terus mendoakanku setelah sholat, agar aku selalu berbahagia diakherat sana.


Lalu seketika,, aku terbangun.. Dan terjatuh dari dipan.. Oh Ya Allah Alhamdulillah.. Ternyata aku cuma bermimpi..


Pelan-pelan aku pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, masih aku lihat airmata disudut matanya, kasihan sekali, terlalu kencang aku menghardik mereka.


“Anakku, papah sangat menyesal karena telah berlaku kasar padamu.“Si kecilku pun terbangun dan berkata, “Oh papah, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu.”


“Anakku, aku mencintaimu juga. Aku benar-benar mencintaimu, maafkan aku anakku” Dan kupeluk anakku. Kuciumi pipi dan keningnya.


Lalu kulihat istriku tertidur, istriku yang sapaannya sering kuacuhkan, ajakannya bicara sering kali aku sengaja berpura2 tidak mendengarnya, bahkan pesan2 darinya sering aku anggap tak bermakna, maafkan aku istriku, maafkan aku.


Air mataku tak bisaku bendung lagi.


Apakah kita menyadari bahwa jika kita mati besok pagi, perusahaan di mana kita bekerja akan dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Teman2 akan melupakan kita sebagai cerita yang sudah berakhir, beberapa masih menceritakan aib2 yang tidak sengaja kita lakukan. Teman2 dunia maya pun tak pernah membahas lagi seolah, aku tidak pernah mengisi hari2 mereka sebagai badut di grup.


Lalu aku rebahkan diri disamping istriku, ponselku masih terus bergetar, berpuluh puluh notifikasi masuk menyapaku, menggelitik untuk aku buka, tapi tidak.. tidak.. Aku matikan ponselku dan aku pejamkan mata, maaf.. Bukan kalian yang akan membawaku ke surga, bukan kalian yang akan menolongku dari api neraka, tapi ini dia.. Keluargaku.


Keluarga yang jika kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.


Sumber: Arrahmah - Kisah ini Mungkin Lekat Dengan Kita, Perlakuan Kita Pada Orang Terdekat: Siapa yang Menolongmu Ke Surga?

Tantangan Pendidikan di Era Digital, Bagaimana Menyikapinya?


Tantangan Pendidikan di Era Digital, Bagaimana Menyikapinya?


Dalam ilmu pedagogik, belajar dapat didefinisikan merupakan sebuah perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik. Tingkah laku di sini bukan hanya berarti kemampuan siswa secara afektif, tetapi juga kemampuan siswa dari sisi kognitif dan psikomotorik. Di titik inilah, guru yang bisa dikatakan sebagai kelompok Digital Immigrant keberadaannya sangat penting bagi siswa, yaitu membimbing siswa agar belajar memanfaatkan penggunaan internet ke arah yang lebih positif untuk keperluan belajar di sekolah.
Ilustrasi Dunia Pendidikan di Era Digital
Di era digital seperti sekarang, generasi manusia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, Digital Immigrant, yaitu kelompok yang sedari lahir tidak ada internet kemudian saat aktif di dalamnya. Kedua, Digital Native, yaitu orang yang sedari lahir sudah ada internet. Persamaan dari kedua kelompok dapat dipahami bahwa mereka akhirnya sama-sama menggunakan internet untuk ‘kebutuhan’ interaksinya di dunia maya.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan media informasi yang semakin pesat, pendidikan sebagai investasi masa depan generasi bangsa harus bisa menyesuaikan diri. Semisal dapat memanfaatkan era digital ini sebagai media pembelajaran bagi siswa di madrasah dan sekolah, bahkan pesantren. Akses informasi di era digital ini memungkinkan siswa lebih mengetahui informasi terlebih dahulu ketimbang guru. Tentu hal ini tidak akan membuat guru menjadi ketinggalan dibanding siswanya, karena keberadaan guru di kelas dan lingkungan sekolah lebih kepada memfasilitasi siswa untuk belajar.
Dalam ilmu pedagogik, belajar dapat didefinisikan merupakan sebuah perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik. Tingkah laku di sini bukan hanya berarti kemampuan siswa secara afektif, tetapi juga kemampuan siswa dari sisi kognitif dan psikomotorik. Di titik inilah, guru yang bisa dikatakan sebagai kelompok Digital Immigrant keberadaannya sangat penting bagi siswa, yaitu membimbing siswa agar belajar memanfaatkan penggunaan internet ke arah yang lebih positif untuk keperluan belajar di sekolah.
Dengan kata lain, Digital Immigrant ada untuk membelajarkan para Digital Native agar dapat memanfaatkan internet sebagai media meningkatkan kualitas belajar siswa. Dalam hal ini, guru juga dituntut mengikuti perkembangan arus informasi di era digital melalui kanal-kanal media sosial, misalnya. Dalam kanal inilah, siswa dapat diarahkan untuk membentuk kelompok belajar secara berkesinambungan karena kanal media sosial tidak terbatas ruang dan waktu.
Namun demikian, media sosial atau media lain di dunia maya hanyalah alat (instrumen) bukan tujuan. Artinya, alat tidak bisa menggantikan posisi guru. Sebab alat tidak mempunyai sisi humanitas (kemanusiaan). Oleh sebab itu, kehadiran guru secara emosional sangat penting untuk menumbuhkembangkan sisi kemanusiaan seorang siswa.
Euforia media sosial yang saat ini hampir pasti dipunyai oleh setiap individu, menuntut guru agar lebih memahamkan kepada siswa akan arti positif media sosial dan hadirnya ribuan portal-portal berita. Apalagi saat ini, tak sedikit yang memanfaatkan internet untuk menumbuhkembangkan paham-paham yang meresahkan di tengah masyarakat. Hal ini penting menjadi perhatian guru, karena selama ini paham-paham tersebut sangat gencar menyasar anak-anak muda usia sekolah.
Pada akhirnya, era digital menyadarkan dunia pendidikan akan arti penting sebuah inovasi yang harus terus menerus dikembangkan. Dunia pendidikan tidak perlu anti terhadap siswa yang saat ini gandrung dengan media sosial. Sebaliknya, semua elemen pendidikan harus mampu memanfaatkan potensi media sosial di era digital ini agar pembelajaran di kelas lebih berkualitas. Lagipula, teori media pembelajaran dapat dikembangkan melalui perkembangan dunia digital, bukan? (Fathoni Ahmad)


Belajar Pendidikan Karakter dari Al-Jarnuji

Di lingkungan pesantren tradisional, yang menekankan pemahaman kitab-kitab salaf, seolah-olah kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Mengajar Metode Belajar kepada Santri) merupakan kitab kedua sesudah al-Qur’an. Studi seorang santri dianggap belum memenuhi syarat apabila ia belum mengaji kitab ini. Dan karena isi dan penyajiannya sedemikian rupa, kitab tersebut sering disebut sebagai “Buku Petunjuk Menjadi Kyai”.




[caption id="attachment_166" align="aligncenter" width="635"]Syarah Ta'limul Mutaalim Syarah Ta'limul Mutaalim. Image: Arrahmah.co.id[/caption]

Sedang di kalangan pesantren-pesantren modern yang penekanan pemahaman terhadap kitab-kitab salaf agak kurang, kitab Ta’lim ini nyaris tidak populer, bahkan tidak kenal sama sekali. Dan agaknya pengaruh kitab ini yang sedikit membedakan “penampilan” antara alumnus pesantren tradisional dengan alumnus pesantren modern.


Di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia kitab ini juga tidak disebut-sebut. Namun usaha seorang Doktor lulusan Jerman (dulu: Jerman Barat) yang melakukan edit dan kritik terhadap kitab ini membuktikan bahwa kitab tersebut masih diperhatikan orang.



[tps_title]Siapa al-Jarnuji?[/tps_title]


Kitab Ta’lim yang beredar di tanah air umumnya dicetak dengan syarah (komentar) nya yang ditulis Syeikh Ibrahim ibn Isma’il. Sedang kitab Ta’lim itu sendiri ditulis oleh Syeikh al-Jarnuji. Baik kitab Ta’lim maupun Syarah-nya tidak menyebut identitas al-Jarnuji. Hal ini cukup mempersulit kajian kitab tersebut, sehingga dapat diketahui bagaiamana keadaan pada waktu kitab itu ditulis dan sejauhmana hal itu mempengaruhi kitabnya.


Dalam al-Munjid nama al-Jarnuji disebut singkat sekali. Yang agak membantu hal ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab al-A’lam (Tokoh-tokoh) karangan al-Zarkeli. Ditulis di situ bahwa al-Jarnuji adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuji, Taj al-Din. Beliau adalah sastrawan (adib) yang berasal dari Bukhara. Semula berasal dari Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara`a al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah Syarh al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/ 1242 M.


Al-Zarkeli tidak menuturkan di mana al-Jarnuji tinggal, namun secara umum al-Jarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab Khalifah Abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal di kawasan Irak-Iran, sebab beliau juga mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.



[tps_title]Etika Santri[/tps_title]


Kitab kecil, yang juga disebut Risalah (surat) ini, oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode belajar bagi santri, seperti tersembul dari judulnya. Namun apabila dikaji isinya, metode belajar yang dimaksud sangat sedikit. Di antara 14 bab yang terdapat kitab ini (istilah kitabnya, fashl) hanya satu bab saja yang membahas metode belajar. Selebihnya membahas tentang keutamaan ilmu, motivasi belajar, memilih ilmu, guru, dan kawan, memuliakan ilmu dan ulama, dan lain-lain. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap dapat mempercepat rizki, karena belajar tak pelak lagi memerlukan hal itu.


Karenanya, kitab ini cenderung lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, khususnya kepada guru-gurunya, dibanding sebagai kitab tentang metode belajar. Dan agaknya, bagian inilah yang paling banyak mempunyai dampak. Di lingkungan pesantren, santri yang tidak sopan terhadap guru, ia akan segera dicap “tidak pernah mengaji kitab Ta’lim”, tetapi santri yang bodoh yang boleh jadi belum atau tidak mempraktekan isi kitab tersebut, cap itu tidak akan disandanganya. Dan karena pengarangnya seorang santrawan, maka petuah-petuah untuk itu juga banyak diambil dari syair-syair Arab.


Namun persoalaannya tidak berhenti sampai di situ, al-Jarnuji menyebut kitabnya sebagai metode belajar, sedangkan kajiannya banyak membahas etika. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah etika itu sendiri merupakan salah satu metode untuk meraih ilmu? Tampaknya di kalangan pesantren ada kecenderungan untuk menyebutkan bahwa etika santri, terutama kepada gurunya, merupakan salah satu perangkat untuk memperoleh ilmu. Kisah-kisah santri yang pada waktu nyantrinya menjadi khadam (pembantu) kyai, menjadi tukang ambil air, dan lain-lain, tiba-tiba setelah pulang muncul sebagai kyai yang alim, adalah cerita yang sangat populer di kalangan pesantren semata-mata karena keluhuran spiritual seorang kyai atau pendiri pesantren tersebut. Baginya masalah metode belajar tidak menjadi soal, yang penting setelah sekian lama menyantri kelak akan muncul sebagai kyai yang alim, berkat ‘barakah’ dari kyai tersebut.


Kecendungan ini masih sangat berpengaruh di masyarakat. Tak heran kalau tokoh pesantren seperti H.M. Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng, membuat istilah adanya “lembaga Barakah” di pesantren, ketika santri belajar hanya semata-mata mengharapkan barakah dari kyai atau pendiri pesantren.


Adanya barakah sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, sebab pengertian barakah adalah kebaikan atau manfaat yang berkembang. Dan dalam hal ini, hasil doa para kyai dan guru untuk para santrinya dapat disebut barakah. Hanya harapan santri untuk memperoleh barakah hendaknya tidak mengurangi usahanya dalam belajar secara lahiriah. Dengan demikian, santri dalam satu saat harus menyatukan antara usaha (ikhtiar) dan doa.



[tps_title]Menjadi Budak Guru?[/tps_title]


Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini —dan ini yang paling berpengaruh seperti dituturkan di muka— adalah keharusan seorang santri untuk menghormati gurunya, begitu pula orang-orang yang mempunyai pertalian darah dengannya, seperti puteranya dan lain-lain. Khusus untuk menghormati guru, al-Jarnuji menyitir ucapan Sayidina Ali, “ana ‘abdu man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku). Al-Jarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati guru, antara lain santri tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru, tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri. Walhasil, santri harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya) dan mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu bukan ma’siat.


Keterangan inilah, agaknya, yang menimbulkan persepsi penyerahan total seorang santri kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya. Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung menimbulkan dampak yang kurang diinginkan. Sebab, santri harus bersikap menerima tanpa berani bersikap kritis.


Al-Jarnuji memang tidak memberikan rincian tentang masalah-masalah apa yang bisa menyakiti guru itu. Barang kali karena tidak adanya rincian ini menjadikan hal itu diberlakukan secara umum. Dan anehnya, meskipun hal itu hanya dibahas dalam rangka belajar, namun implementasinya justru tampak di luar itu. Persepsi ‘apa kata guru dan murid harus menerimanya’ sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat secara luas.


Keharusan memperoleh kerelaan guru nampak sangar relatif, apalagi bila hal itu dihubungkan dengan masalah interpretasi. Ternyata al-Jarnuji tidak menuturkan satu dalil pun petuahnya itu, selain ucapan Sayidina Ali serta sejumlah syair.


Dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan, apabila kita tengok masa-masa jauh sebelum al-Jarnuji, misalnya periode imam-imam penegak madzhab, kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya sependapat dengan gurunya. Bahkan, di antara mereka ada yang mendirikan madzhab sendiri, terpisah dari madzhab gurunya. Jauh sebelum itu, Umar ibn Khathab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai muridnya. Bila petuah al-Jarnuji di atas menjadi kriteria, sebenarnya gurulah yang sebenarnya elastis dalam mengkonotasikan kerelaannya. Sebab, boleh jadi seorang guru merasa tersinggung (tidak rela) apabila muridnya berbeda pendapat dengannya, sedangkan guru lain justru merasa bangga, bakan mendorong apabila muridnya berpendapat lain selama hal itu berdasarkan argumen yang kuat.


Tentang bayangan bahwa ilmu seorang santri tidak akan bermanfaat apabila ia pernah menyakiti hati gurunya, juga perlu direnungkan kembali. Apakah batasan manfaat dan dalam hal apa murid tidak diperkenankan sama sekali menyakiti hati gurunya. Sebab, ternyata banyak murid yang sewaktu belajar pernah melakukan ‘unjuk rasa’ terhadap gurunya, namun setelah terjun di masyarakat ia justru menjadi ulama besar.



Ushul Fiqih, Menerobos Taklid


Kepatuhan mutlak seperti tersebut di atas umumnya terdapat di kalangan murid atau santri tingkat Tsanawiyah ke bawah. Mereka yang sudah menginjakkan kakinya di tingkat Aliyah, apalagi di perguruan tinggi, keadaan di atas memperoleh bentuk yang lain. Masalahnya bukan karena mereka tidak lagi patuh kepada gurunya, melainkan pada tingkat tersebut usaha penalaran mulai dikembangkan. Pada tingat Aliyah, misalnya, murid tidak lagi sekedar menerima pelajaran yang sudah mapan seperti fiqh dan lain sebagainya, tetapi dikenalkan pula sumber-sumber atau dalil-dalil pelajaran itu. Di sini santri mulai mengenal proses terbentuknya fiqh, yang kenal dengan ‘ushul fiqh’. Karena tujuan ushul fiqh adalah mengkaji sumber dan cara pengambilan hukum, maka secara praktis ia menghendaki agar manusia tidak bersikap taklid (menerima apa adanya tanpa mengetahui sumbernya). Disinilah murid mulai berani mempertanyakan keabsahan suatu hukum kepada gurunya, tanpa meninggalkan penghormatan kepadanya. Umumnya, pada tingkat ini guru cukup menghargai sikap murid-murid yang demikian. Biasanya keadaan ini didukung pula oleh sistem pengajian yang individual (sorogan) atau klasikal.


Karenanya, dapat dimaklumi apabila murid-murid pesantren yang menerapkan sistem klasikal dan individual ini lebih mencerminkan kelonggaran berfikir dari pada murid-murid pesantren yang menerapkan sistem pengajian bandongan (massal). Murid-murid pesantren tipe pertama akan mengatakan apa kata dalil dan bagaimana memprosesnya menjadi suatu hukum, sedang murid-murid pesantren tipe kedua lebih cenderung mengatakan apa kata guru atau apa kata kyai.



Keseimbangan (Tawazun)


Kitan Ta’lim karangan al-Jarnuji ini lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, terutama terhadap gurunya, dari pada sebagai kitab metode, kecuali apabila kita sependapat bahwa etika itu sendiri merupakan metode. Namun etika yang dimaksud oleh kitab ini lebih banyak diwarnai oleh keadaan pada waktu kitab tersebut ditulis, seperti dapat dilihat dari banyaknya contoh-contoh yang bersifat lokal.


Tanpa mengurangi etika yang hendak ditanamkan oleh al-Jarnuji, sesudah mengkaji kitab ini seyogyanya murid melanjutkan kajiannya tentang kitab-kitab ushul fiqh. Dengan demikian murid dapat memiliki kelebihan ganda, kemampuan berfikir longgar dan etika yang terpuji. Kedua kelebihan ini perlu diwujudkan secara berimbang (tawazun), sebab sikap kritis yang tidak diimbangi dengan etika akan merepotkan para guru dan pengelola pendidikan, sedang keluhuran etika tanpa dibarengi dengan sikap kritis sering menimbulkan ‘lelucon’. Guru yang didemonstrasi muridnya merupakan contoh keadaan pertama, dan seorang murid yang mencium tangan tamu non muslim yang datang ke sekolahnya merupakan contoh untuk keadaan kedua. (amy)


Tentang Buku
Judul : Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum
Penulis : al-Nu’man ibn Ibrahim al-Khalil al-Jarnuji
Penerbit : Dar al-Kutub al-Islamiyyah
Tebal : 96 hlm.

Monday, January 25, 2016

Kebangkitan Madrasah, Madrasah Lebih Baik




Oleh: Hamam Faizin



Kebangkitan Nasional ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Melalui Boedi Oetomo inilah pendidikan Indonesia bangkit. Spirit inilah yang harus terus dibangkitkan dalam setiap kali memperingati hari Kebangkitan Nasional.


Kebangkitan adalah semangat untuk menjadi lebih baik dalam menyongsong masa depan yang lebih baik pula. Dalam sejarah pendidikan Indonesia—madrasah, sebagai institusi pendidikan yang tua, setelah pesantren, di bawah naungan Kementerian Agama—baru ‘berasa’ mendapatkan pengakuan dari pemerintah setelah dimasukkan dalam UU Sisdiknas 2003.


Bahkan, setelah itupun, dalam kenyataannya perlakuan tidak samapun masih menimpa madrasah. Contoh yang masih hangat di ingatan adalah ‘dibegalnya’ siswa-siswa MI Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur, MI Al Bidayah, Desa Candi, Bandungan, dan MI Wonokasihan, Desa/Kecamatan Jambu (Suara Merdeka, 11/03/15) untuk melaju OSN (Olimpiade Sains Nasional) ke tingkat Provinsi. Alhamdulillah-nya, protes keras atas kasus ini, membuka pikiran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan untuk mengumumkan bahwa OSN dibuka untuk semua siswa (Suara Merdeka, 12/3/15).




[caption id="attachment_155" align="aligncenter" width="960"]Siswa Madrasah Siswa Madrasah. Photo: DWCorp[/caption]

Masuknya madrasah di dalam UU Sisdiknas 2003 memberikan angin segar bagi pengembangan dan bangkitnya madrasah. Dari tahun ke tahun, citra madrasah mulai membaik. Inilah yang diungkapkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (LHS), ketika berbincang dengan penulis, setelah acara pembukaan Perkemahan Pramuka Madrasah Nasional (PPMN) I di Lapangan Tembah Akmil Magelang (12/05/15).



LHS mengungkapkan bahwa PPMN I harus menjadi momentum kebangkitan madrasah. Menurutnya, indikator-indakator kebangkitan madrasah yang nyata adalah pertama, mulai membaiknya citra madrasah di publik. Kini, banyak orangtua yang mempercayakan pendidikan anak-anaknya di madrasah. Akhirnya, madrasah-madrasah (baik yang negeri maupun swasta) kini menolak calon peserta didik karena terbatasnya daya tampun ruang kelas.




Kedua, capaian-capaian prestasi akademik maupun non akademik siswa-siswi madrasah, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional. Tahun ini tercatat ribuan siswa-siswi madrasah Aliyah telah diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama, seperti UI, UGM, UNY, ITB, IPB, ITS dan UNDIP. Sebelum tahun 2000-an, sudah mendapatkan kenyataan yang seperti ini. Untuk non akademik misalnya, Bahana Swara Marching Band Madrasah Salafiyah menyebet juara untuk beberapa kategori dalam Kejuaraan Nasional Hamengku Buwono Cup 2015 (Suara Merdeka, 19/05/15). Dan masih banyak lagi deretan daftar prestasi akademik dan non akademik siswa-siswi madrasah tingkat nasional maupun internasional.

Modal Kebangkitan Madrasah


Kenyataan-kenyataan tersebut menjadi alasan yang kuat bagi LHS untuk mengajak masyarakat madrasah bangkit, bangkit untuk menjadi “madrasah lebih baik#lebih baik madrasah” sebagaimana motto yang sering didengungkan selama ini. Madrasah sudah memiliki modal yang kuat untuk bangkit. Modal sejarah, bahwa madrasah adalah akar pendidikan Indonesia yang sudah banyak berkontribusi pembangunan karakter bangsa dan negara. Modal sejarah itulah yang kemudian membangkitkan modal semangat untuk berprestasi dan belajar.


Penulis pernah berkunjung ke MI Wonokasihan, Desa/Kecamatan Jambu yang salah satu siswanya bernama M. Bahrul Alam, yang terganjal ikut OSN tingkat Provinsi, namun Juara I OSN bidang IPA Tingkat Kabupaten Semarang. Di sana kondisi madrasahnya jauh dari standar nasional—untuk mengatakan masih memprihatinkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi yang terbatas, semangat belajar dan berprestasi siswa-siswi madrasah tidak bisa dibendung lagi.



Program Kebangkitan Madrasah


Modal untuk bangkit sudah dikantongi madrasah. Pertanyaan berikutnya adalah melalui program apa kebangkitan tersebut adakan diwujudkan? Sejauh diskusi yang pernah penulis lakukan di berbagai pertemuan dengan berbagi stakeholder madrasah ada dua program penting yang mendesak harus segera dilakukan untuk kebangkitan madrasah.


Pertama, kebangkitan kualitas guru. Memang diakui bahwa banyak diskusi tentang mutu pendidikan selalu berpusat pada input sistem, seperti infrastruktur, rasio murid-guru, dan sebagai. Namun dalam beberapa tahun terakhir, perhatian telah bergeser kepada proses pendidikan. Nah, proses pendidikan yang baik akan menghasilkan anak didik yang baik. Untuk menjadi proses pendidikan yang baik, harus dicetak guru-guru yang baik pula.


Mckindsay (2007) mengatakan bahwa The quality of an education system cannot exceed the quality of its teachers (kualitas sistem pendidikan tidak akan melampaui kualitas guru-gurunya). Ini artinya, untuk membangkitkan kualitas madrasah, maka membangkitkan kualitas guru adalah sebuah keniscayaan. Guru yang baik akan memberikan impact yang luas bagi outcomes siswa-siswi.


Kedua, selama ini persoalan penting yang dihadapi madrasah adalah keterbatasan dana. Dana pemerintah yang disalurkan melalui Kementerian Agama untuk lebih dari 75 ribu madrasah di Indonesia masih jauh panggang dari api—untuk mengatakan tidak cukup. Oleh sebab itu, diperlukan aksi-aksi untuk menyakinkan kepada DPR, BAPPENAS dan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan agar anggaran pendidikan untuk madrasah disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Sebab harus diakui, madrasah telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencerdasan bangsa. Bagaimana mungkin hal ini tidak didukung dengan memberikan anggaran dana pendidikan yang layak?
Kiranya dua hal tersebut menjadi langkah awal yang penting bagi kebangkitan madrasah, sebagaimana yang diungkapkan LHS. Semoga. []


HAMAM FAIZIN, Kognitariat pada Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama




on


Belajar dari Para Generasi Emas Madrasah

Buku Madrasah: Mencetak Generasi Emas


Buku setebal 302 halaman ini berusaha menginspirasi para siswa madrasah melalui kisah-kisah inspiratif dari para alumni madrasah yang kini mampu menembus batas impian untuk berpresatsi secara gemilang. Buku yang ditulis oleh para penulis muda berbakat ini juga berupaya menyajikan bagaimana perjuangan para generasi emas madrasah dalam meraih prestasi stinggi-tingginya.

Written by: A. Khoirul Anam, dkk

Published by: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI

Date published: 11/01/2015

Edition: I

Available in Paperback





[tps_title]Belajar dari Para Generasi Emas Madrasah[/tps_title]


“Madrasah lebih baik, lebih baik madrasah”. Salah satu kalimat ajakan dari yang empunya kebijakan, Direktorat Pendidikan Islam Kemeanterian Agama Republik Indonesia untuk mengajak anak-anak Indonesia belajar di madrasah dan pesantren. Tentu tagline tersebut bukan isapan jempol semata. Karena terbukti, lulusan madrasah mampu meniti karir gemilang di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di dalam dan di luar negeri seperti yang diulas secara inspiratif dalam buku ini.




[caption id="attachment_147" align="alignleft" width="232"]Buku Madrasah Mencetak Generasi Emas Buku Madrasah: Mencetak Generasi Emas[/caption]

Buku setebal 302 halaman ini berusaha menginspirasi para siswa madrasah melalui kisah-kisah inspiratif dari para alumni madrasah yang kini mampu menembus batas impian untuk berpresatsi secara gemilang. Buku yang ditulis oleh para penulis muda berbakat ini juga berupaya menyajikan bagaimana perjuangan para generasi emas madrasah dalam meraih prestasi stinggi-tingginya.


Di dalam kalimat-kalimat pengantarnya, Direktur Pendidikan Islam Kemenag RI, Prof Dr Phil Kamaruddin Amin, MA mengatakan, jika menyimak kisah mereka dengan baik dalam buku ini, kita akan mendapatkan satu kesimpulan bahwa berbagai keterbatasan tidak menghalangi para siswa madrasah untuk maju dan berprestasi. Dengan ikhtiar yang tekun dan kemauan yang keras, mereka berhasil mewujudkan impiannya.




[tps_title]Belajar dari Para Generasi Emas Madrasah (1)[/tps_title]


Apa yang diungkapkan oleh Dirjen Pendis tersebut sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa tidak banyak siswa beruntung secara materi untuk memenuhi segala kebutuhan selama menjalani proses pendidikannya. Bahkan sebagian siswa berprestasi di berbagai pelosok daerah di Indonesia merupakan siswa yang kurang mampu secara materi, tetapi sangat brilian secara prestasi. Oleh karena itu, karir pendidikan gemilang seperti inspirasi para generasi emas madrasah yang dikisahkan dalam buku ini dicapai dengan kemauan dan belajar yang keras. Mental ini sangat penting sebagai modal untuk meraih prestasi setinggi-tingginya.


Para siswa berprestasi yang dikisahkan dalam buku ini memang hanya sebagian kecil saja. Siswa berprestasi lain di luar sana tentu sangat banyak untuk dijadikan inspirasi dan energi positif pendorong kemajuan. Yang perlu dicatat, generasi emas madrasah ini tidak hanya berprestasi secara keilmuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik), tetapi mereka juga berkualitas secara akhlak (afektif).




[tps_title]Belajar dari Para Generasi Emas Madrasah (3)[/tps_title]


Komitmen belajar agama seperti yang diceritakan dalam buku ini tetap istiqomah dilakukan oleh para alumni madrasah meski mereka sedang menjalani kuliah di luar negeri dengan jadual yang padat. Hal ini dilakukan oleh Ika Damayanti Puasa (halaman 11). Dia belajar kedokteran di Universitas Leipzig, Jerman, namun tetap ngaji dan menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya seperti yang dia lakukan saat masih menjadi siswa di MAN Insan Cendekia Gorontalo. Aktifitas belajarnya yang padat di Jerman tidak menghalanginya untuk menambah hafalan ayat demi ayat. Al-Qur’an sudah menjadi sahabatnya sehari-hari.


Ia belajar Al-Qur’an di Masjid Al-Rahman Leipzig yang dibimbing  oleh beberapa temannya asal Suriah di akhir pekan. Ia juga melakukan muroja’ah; menyetorkan hafalannya di grup WhatsApp, MEMORIZING QURAN: Menghafal Quran 1 Hari 1 Ayat.


“Saya berencana menyelesaikan hafalan Quran saya dan bisa memperkenalkannya dalam terjemahan bahasa Jerman, khususnya di bidang kesehatan. Saya juga mendaftarkan diri di sebuah lembaga beasiswa Avicenna khusus untuk mahasiswa muslim, dalam rangka menjadi kader dan cendekiawan muslim yang berkarya dengan ilmu pengetahuan,” ujar Damayanti seperti yang dijelaskan dalam buku tersebut.


Selain Damayanti, kisah inspiratif lain juga bisa dibaca dalam buku ini yang memuat banyak cerita tentang alumni madrasah dengan berbagai prestasinya di bidang masing-masing. Prestasi yang ditorehkan oleh mereka terbilang sangat luar biasa. Di mulai dari perjuangannnya menimba ilmu di madrasah, masing-masing mereka ada yang kuliah di Tokyo, Jepang, meraih medali di olimpiade matematika internasional di berbagai negara, ada yang menjadi Astronom muda, ada juga yang mampu keluar dari himpitan ekonomi kemudian mampu berprestasi gemilang. Dalam buku ini, bahkan ada alumni madrasah yang pernah meraih rekor MURI saat umur 5 tahun, dan kisah-kisah inspiratif lain yang dapat membangunkan semngat belajar para pembaca, khususnya para siswa madrasah.


Tentu dengan berbagai prestasi tersebut, siswa madrasah bukan hanya mampu mengahrumkan nama madrasah, orang tua, dan orang-orang terdekatnya, siswa-siswa ini juga mampu membawa harum nama bangsa Indonesia di mata dunia. Mereka menjadi calon tulang punggung kemajuan bangsa dengan prestasi dan akhlak mulia.


Dengan hadirnya buku yang diterbitkan oleh Ditjen Pendis Kemenag RI ini, pemerintah juga berupaya selalu ikut andil dalam mempublikasikan siswa-siswi madrasah berprestasi. Hal ini penting dilakukan agar menjadi contoh baik di tengah anak bangsa yang justru lebih gandrung menikmati kemajuan era digital yang berpotensi mengaburkan peran generasi muda yang sesungguhnya. Meskipun banyak juga karya-karya inspiratif anak muda dari dunia digital.


Lebih jauh, buku ini memberi pelajaran kepada siswa madrasah agar terus menjadi manusia pembelajar di tengah kondisi sesulit apapun. Manusia pembelajar mampu mengubah kondisi sulit menjadi sebuah energi pendorong keberhasilan, kemudian berprestasi dan menghasilkan karya bermanfaat bagi masyarakat luas. Itulah yang dikisahkan para generasi emas madrasah yang diceritakan dalam buku apik ini. Dari sebuah keberadaan (be ing) dirinya dalam kondisi apapun, mereka mampu menjadi (to be). Selamat membaca! (Fathoni Ahmad)


 


Identitas buku:


Judul                     : Madrasah: Mencetak Generasi Emas


Penulis                 : A. Khoirul Anam, dkk


Penerbit              : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI


Tebal                    : xx + 302 halaman


Cetakan               : I, November 2015


Peresensi            : Fathoni Ahmad


 


Saturday, January 23, 2016

Menanamkan Percaya diri pada Anak Saat Bertamu

Suatu hari A Wahid Hasyim menerima tamu seorang sahabatnya, Abdullah Ubaid, yang membawa seorang putranya berumur 3-4 tahun. Dihidangkanlah minuman the 3 cangkir. Satu untuk Ubaid, satu untuk anaknya, dan satu lagi untuk shahibul bait atau tuan rumah.


Terjadilah perbincangan antara seorang ayah dan anak.


“Ayah, tolong ambilkan air tehnya?” pinta anaknya.


“Nak, coba ambil sendiri. Kan tehnya ada di dekat kamu.”


“Ayah, enggak bisa. Kalau nanti aku ambil, jatuh, dan pecah bagaimana?”


“Enggak akan jatuh Nak, kalau kamu mengambilnya hati-hati. Pelan-pelan saja.” Ayahnya kembali meyakinkan.


“Ayah… kan tehnya panas. Aku belum kuat memegangnya.” Anaknya masih menunjukkan keengganannya.


“Nah, sabar dulu kalau begitu. Tunggu sampai agak dingin, nanti kamu bisa mengambil dan meminumnya dengan mudah dan enak,” kata Sang Ayah.


Akhirnya anak itu pun menunggu tehnya dan tatkala sudah agak dingin ia mengambilnya dengan tangannya sendiri dan meminumnya.


Dialog yang sederhana. Tetapi di balik itu ia ada contoh yang disuguhkan, yaitu cara praktis membangun kepercayaan diri seorang anak dalam kebiasaan sehari-hari. Sepele, tetapi signifikan dalam membangun karakter anak.



Disadur dari Guru Orang-Orang dari Pesantren,


LKiS Yogyakarta, Cet ke 3, 2008

M. Itqan Alexander: 'Ensiklopedi' Peta Dunia Termuda Indonesia

[tps_header]M. Itqan Alexander: 'Ensiklopedi' Peta Dunia Termuda Indonesia[/tps_header]


[tps_title]Raih Rekor MURI sebagai Pembaca Peta Dunia Termuda[/tps_title]


Pada usia 5 tahun Mohammad Itqan Alexander (11), siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pandanaran Yogyakarta, tampil menghobohkan di salah satu stasiun televisi swasta. Anak kecil ini bisa menghapal bendera negara-negara di dunia sekaligus ibu kotanya dan petanya.




[caption id="attachment_140" align="alignleft" width="309"]M. Itqon Alexander M. Itqon Alexander[/caption]

Tidak hanya peta, ia hafal nama dan lambang partai politik beserta nomor urutnya. Plat nomor polisi kendaraan juga ia hafal setelah beberapa kali membacanya di buku RPU.


Alex kemudian mendapat anugerah rekor MURI sebagai Pembaca Peta Dunia Termuda: umur 5 tahun hafal bendera dan ibukota negara dengan jumlah terbanyak. Piagam diberikan oleh Menpora Adhyaksa Dault bersama Ketua MURI Jaya Suprana di gedung Bentara Budaya Kompas-Gramedia Jakarta, 7 Mei 2009. Alex lalu diundang shooting rekaman di Kick Andy Metro TV pada 4 Nopember 2009. Kemudian Pada 11 Maret 2011 Alex diundang tampil di Acara Hitam Putih TRANS7.


Menurut ayahnya. M. Ichwan, dari hasil tes IQ sementara saat masih balita (4 tahun) skor Alex 128. Lalu dites lagi ketika kelas II SD, skor IQ-nya 152. Oleh penguji, Lembaga Psikologi Universitas Negeri Semarang, skor tersebut termasuk very superior.


“Ingatan Alex  cukup kuat. Selain ingat dari penglihatannya, juga dari pendengarannya. Dongeng yang diceritakan guru TK atau orang tuanya bisa ia ceritakan kembali hampir persis sempurna. Kalimat gurunya di SD juga mudah dia ingat dan bisa dikatakan ulang seperti pita kaset,” kata Ichwan bangga.


Alhamdulillah, tanggal 6 Juli 2012 Alex telah khitan. Dia minta dikhitan mumpung liburan sekolah. Dan RCTI rupanya memberi dia hadiah khitan berupa tampil di episode Cinta Uya yang shotingnya pada Selasa, 17 Juli 2012,” kata Ichwan menambahkan ceritanya.


Ia adalah anak pertama dari empat saudara. Ayahnya Ichwan bercerita, Alex masuk SD dalam usia kurang dari 6 tahun. Sebenarnya tidak ideal dan tidak memenuhi syarat menurut aturan Dinas Pendidikan Kota Semarang.


“Tapi karena dianggap mampu, Alex boleh masuk SD Negeri dekat rumah. Lalu ketika akan naik kelas II, Alex diminta oleh Yayasan Pendidikan Islam Nasima untuk masuk SD Nasima secara gratis. Beasiswa penuh dengan syarat, prestasi akademik bisa rangking I, II atau III. Syukur kepada Allah, Alex bisa memenuhi hal itu hingga 2012 naik kelas IV,” katanya.


Keluarga Alex tinggal di Semarang. Selepas lulus Sekolah Dasar, Alex bercerita, ibunya menyuruhnya untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Pandanaran di Yogyakarta sambil mengikuti pendidikan formal di Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan diiming-imingi pesantren itu enak dan sebagainya, akhirnya Alex bersedia untuk mondok. Ibunya juga keluaran dari Komplek 2 Pondok Pesantren Pandanaran pada tahun 2002.


[tps_title]Cara Menghafal[/tps_title]


Terkait kepandaian Alex menghafal peta itu, sedikit gambaran, saat usia 5 tahun ia hafal bendera seluruh 194 bendera negara yang ada dalam buku Atlas Stiker Bendera. Ia juga hafal bendera negara yang dulu pernah ada atau yang telah berganti benderanya. Misal Uni Sovyet, Yugoslavia, Bermuda, Gibraltar, Cekoslovakia, Jerman Barat&Timur, Rwanda, dan lain-lain.


Alex juga tahu letak negara-negara di dalam peta, di kawasan mana, serta sebagian besar ibukota negara sampai kurang lebih 60%. Untuk Peta Indonesia, Alex hafal semua provinsi dan ibu kotanya, serta dimana letaknya di peta.


Karena itu ia mendapat rekor MURI pada bulan Juli 2009 sebagai pembaca peta termuda. Bagaimana cara ia bisa menghafal peta dunia dan bendera negara-negara sebanyak itu?


Alex mengatakan, dirinya tidak memiliki cara khusus untuk membaca peta dan menghapalnya. Kedua orangtuanya hanya membelikan peta, kemudian dia membacanya setiap hari hingga hapal. Itu sudah dilakukannya sejak umur tiga tahun, kemudian hapal pada usia lima tahun.


Saat masih kecil memang dirinya sangat menyukai warna-warna. Dari situ ayahnya menyodorkan bendera-bendera negara yang berwarna-warni. Jadi yang ditawarkan ayahnya adalah learning by doing (belajar dengan melakukan).


Waktu masuk televisi agak malu. Jadi di rumahnya ditempeli poster tentang dunia semua, sehingga jika mau ke mana-mana Alex selalu bisa melihatnya. Karena kebiasaan melihat dan membaca peta itulah yang akhirnya dia hapal.


Karena kemampuan menghafal yang luar biasa itu, pantas kalau Alex bercita-cita ingin menghapal al-Qur’an. Menurutnya dengan menghapal al-Qur’an kita akan diberkahi di dunia dan akhirat.


Sejak masuk pondok, Alex sudah hapal juz ‘amma, di pondok pesantren Pandanaran mulai dari surah al-Muthafifin satu bulan sudah juz ‘amma. Sekarang anak yang setiap hari mengenakan peci hitam ini sudah menghapal surat al-Kahfi.


Di Pandanaran, satu kelas dibimbing satu guru tahfidz, sedangkan Alex dibimbing oleh Pak Deni Iskandar. Beliau orangnya baik. Model bimbingannya, setiap santri maju satu persatu untuk menyetorkan hafalan mereka.


Alex ingin sekali bisa menghafalkan Al-Qur’an samapai hatam 30 juz. Ini adalah salah satu cara dia membahagiakan orang tuanya.


Setelah lulus Madrasah Tsanawiyah di Pandanaran nanti, ia ingin melanjutkan ke Insan Cendekia, Serpong. Dia ingin masuk ke sana karena ia mendengar Insan Cedekia merupakan sekolah favorit.


Kebanyakan lulusan MA Insan Cendekia melanjutkan kuliah ke luar negeri, terutama Jepang, kata Alex. Namun, “Kalau kuliah nanti saya ingin melanjutkan studi di Harvard University,” katanya optimis. (*)

Friday, January 22, 2016

Teknologi Untuk Beramal, Tak Sekedar Pengetahuan | Portal Pendidikan Islam Indonesia

Oleh: Fathuri SR


Hari ini, kita semua, yang hidup di era sekarang layak dan sangat patut bersyukur karena diberi kemudahan dalam banyak hal dibanding umat-umat sebelum kita. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi umat manusia mengalami kemajuan yang tak pernah terbayangkan oleh umat-umat terdahulu.




[caption id="attachment_129" align="aligncenter" width="804"]Teknologi Teknologi[/caption]

Bagi umat Islam contoh yang paling nyata adalah Al-Qur’an. Kitab Suci bagi Muslim ini sekarang jauh lebih mudah dan nyaman dibaca dibanding mushaf Al-Qur’an yang dimiliki umat periode awal, terutama para sahabat dan tabi’iin. Kini Al-Qur’an dengan harakat, tanda baca, bahkan keterangan tajwidnya disertakan untuk mempermudah membacanya.


Padahal dulu Al-Qur’an tanpa harakat, bahkan tanpa titik, yang tentu tanpa belajar sungguh-sungguh akan sulitlah hanya untuk sekedar mampu membacanya. Demikian pula buku-buku, dari ilmu fikih, hadist, tasfir, dan lain sebagainya, segala ilmu, begitu mudah kita peroleh di toko-toko buku dan perpustakaan.


Kehadiran internet, DVD, dan alat-alat elektronik lainnya telah memberi jalan super cepat bagi kita semua untuk belajar tentang Islam. Belum lagi acara televisi dari subuh, setiap hari, pasti ada siraman rohani yang dapat kita nikmati di mana saja. Tinggal pencet remot, tittt, maka acara keagamaan bisa kita saksikan dengan beragam pilihan.


Kami yakin, sebagian besar dari kita sudah belajar dengan aneka media yang menghampar begitu banyaknya. Lewat handphone yang kita pegang, berbagai aplikasi, data, dan layanan memberi kemudahan kita setiap saat untuk belajar memperdalam ilmu agama kita.


[tps_title]Satu Hari Koran Harian, Lebih Luas dari Pengetahuan Manusia Abad 16[/tps_title]


Dengan berbagai kemudahan belajar itu sudah sewajarnya jika era kita sekarang lebih pintar, lebih berpengetahuan, dan lebih beradab dibanding era-era sebelumnya. Tak salah jika ada yang mengatakan, satu edisi koran Kompas harian, isinya jauh lebih banyak dari apa yang dipelajari oleh manusia awam abad 16 dan 17. Bayangkan, itu baru satu hari koran yang kita baca, belum televisi, majalah, jurnah, pengajian, pendidikan formal dst. Artinya, sekali lagi, pengetahuan manusia era sekarang, Muslim saat ini, dengan Muslim sebelumnya seharusnya lebih banyak, lebih luas dan beraneka ragam.


Tetapi jika kita melihat realitas sekeliling kita; grafik kejahatan, dari pembunuhan, kekerasan, korupsi dan lain sebagainya, tidak menurun tapi cenderung naik. Kecelakaan lalu lintas, bencana alam, terutama banjir, bukan berkurang tapi bertambah dan terus bertambah.


Apa kaitannya kejahatan dan bencana dengan berbagai kemudahan belajar yang kita miliki? Jelas, sangat jelas berkaitan. Sebab berbagai kejahatan dan bencana itu tidak lepas dari perilaku kita.


Di sini tampak gap yang nyata antara pengetahuan atau ilmu dengan amal yang dilakukan. Ilmu kita banyak, tetapi amal kita terhadap ilmu itu kurang, bahkan nol, atau mungkin lebih parah, minus. Diperintahkan melakukan kebaikan dan dilarang melakukan keburukan, tetapi prakteknya melakukan keburukan dan kurang melaksanakan kebaikan.


[tps_title]Pintar, Tapi Seperti Keledai[/tps_title]


Kita saat ini lebih banyak mengunyah, memasukkan berbagai pengetahuan, tetapi dipendam, disimpan, tak diolah menjadi perilaku dan akhlak harian. Kita bisa bayangkan, diri kita seperti orang yang memasukkan apa saja ke mulut. Kita  makan, kita kunyah, tetapi sama sekali tidak kembali keluar menjadi keringat, menjadi energi, atau sekedar keluar sebagai kotoran. Mengunyah dan terus mengunyah, hingga akhirnya menjadi penyakit dan merusak diri kita.


Kita tahu, Islam mengajarkan menyambung silaturrahmi, tetapi faktanya kita bisa saksikan banyak yang memutus silaturahmi, karena kepentingan pribadi atau kelompok, atau bahkan kepentingan politik sesaat.


Kita tahu bahwa kebersihan adalah bagian dari iman, penyebab banjir, atau lebih luas, berbahaya bagi lingkungan. Tetapi faktanya kita melihat dari rakyat biasa, pejalan kaki hingga yang bermobil mewah buang sampah sembarangan. Buka kaca mobil, dan keluarlah botol minuman atau plastik sampah di jalan.


Kita tahu pembunuhan itu dosa, tapi setiap hari berbagai kasus pembunuhan berulang-ulang terus terjadi. Lagi dan lagi, angka dan beritanya naik dan terus naik.


Kita tahu bahwa polusi berbahaya bagi kesehatan bumi kita. Tetapi tiap saat jutaan kendaraan yang tak ramah lingkungan bertambah dan terus bertambah tanpa hirau akan akibatnya.


Inilah karakter yang oleh Allah disebut layaknya keledai.



مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ


"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka (kitab suci) Taurat, kemudian mereka tiada menunaikannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar lagi tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allâh tiada memberi petunjuk bagi kaum yang zhalim" [al-Jumu`ah/62:5]


Ayat ini memberi umpama bagi siapa saja yang memiliki pengetahuan agama yang banyak, tetapi ia tidak mengamalkannya, layaknya keledai yang mengangkut kitab-kitab dipunggungnya, tidak memberi tambahan manfaat, bahkan memberi beban kepadanya


Karena itu mari dengan ilmu yang ada kita amalkan. Meski sedikit ilmu, tapi semua diamalkan, jauh lebih baik daripada banyak ilmu tetapi tidak bermanfaat sama sekali. Sebab ilmu tanpa manfaat, tidaklah membawa kebahagiaan, justru sebaliknya menjadi sebab bencana abadi, yang akan dituntut nanti di akhirat. Sebagaimana yang telah disabdakan Nabi Muhammad SAW:



لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ اَرْبَعٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَا فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَه  وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ


"Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ditanya tentang umurnya, bagaimana ia menghabiskannya; tentang ilmunya; apa yang ia kerjakan dengannya; tentang hartanya, dari manakah dia mendapatkannya dan bagaimana ia membelanjakannya, serta tentang raganya; bagaimana ia mempergunakannya”.


Dengan gadget yang kita miliki, smartphone, tablet, dan lain sebagainya menjadi sarana penguat amal kita. Sebab Islam bukan agama dalil belaka, bukan agama ilmu saja, tetapi sesungguhnya ia adalah agama amal, praktek di dalam kehidupan sehari-hari. Satu helaan bersama nafas mukmin, seiring gerak langkah seorang muslim. Wallahu a’lam


Thursday, January 21, 2016

KH. Wahid Hasyim: Mampu Mengurus Rumah Tangga Sendiri, Mampu Mengurusi Rakyat

PendidikanIslam.id - 


Pada masa pendudukan Jepang, A Wahid Hasyim mewakili ayahandanya, KH Hasyim Asy’ari, sebagai Kepala Shumubu atau Jawatan Urusan Agama Pusat. Posisi yang sangat strategis pada tahun 1942. Suatau saat, Wahid mengundang Ketua Pemuda Anshor Nahdlatul Ulama Jawa Tengah, Saifuddin Zuhri bertemu dengannya di Jakarta.




[caption id="attachment_121" align="alignnone" width="960"]KH.-Abdul-Wahid-Hasyim KH. Abdul Wahid Hasyim[/caption]

Akhirnya bertemulah keduanya di Hotel Des Indes, hotel kelas satu di Jakarta, yang sebelumnya hanya pembesar-pembesar Belanda yang menempatinya. Wahid banyak bicara situasi politik saat itu, termasuk mengajak Saefuddin untuk bertemu Muhammad Yamin, salah satu tokoh pergerakan.


“Malam ini tentu akan ada rencana baru. Betul kan, bahwa saya telah mengadakan hubungan dengan berbagai golongan? Alhasil, kita kaum santri sedang diperlukan oleh semua golongan. Kita juga memerlukan mereka. Kita saling memerlukan dalam rangka perjuangan besar memerdekakan bangsa kita dari penjajahan yang manapun,” kata Wahid sambil mengikat sepatu, bersiap ke kediaman Yamin.  Mengenakan celana dan kemeja, penampilannya sedikit berubah yang sebelumnya memakai kain sarung.


Wahid berdiri, bercermin sebentar membetulkan letak dasinya. Lalu mengambil peci hitamnya. Ditentengnya peci itu, lalu mengajak Saefuddin keluar dari kamar hotel. Di luar telah tersedia sebuah mobil Fiat hitam. Wahid mengemudikan sendiri mobilnya, sementara Saefuddin duduk di sampingnya.


Malam itu, kira-kira pukul 21.00, jalan-jalan di Jakarta tampak sepi. Terlihat beberapa delman dan orang naik sepeda berlalu lalang. Mobil-mobil tidak begitu banyak, itu pun cuma dinaiki TuanTuan Dai Nippon.


“Ini mobil dinas Gus?” Tanya Saefuddin mengalihkan pembicaraan.


“Bukan! Mobil dinas cuma di waktu kantor. Itu pun jarang aku pakai. Saya diberi mobil dinas pakai tanda militer Jepang, saya tak mau pakai. Saya tak mau memakai mobil militer Jepang. Sebab itu, saya membeli sendiri mobil Fiat ini,” jawabnya.


Saefuddin cukup terkejut mendengar jawaban Wahid.


“Bagaimana caranya bisa membeli mobil sendiri di zaman begini?” Tanya Saefuddin penasaran. Pasalnya zaman itu tidak ada orang sipil yang memiliki mobil.


“Ya Allah, kalau soal mobil saja tidak bisa memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan persoalan rakyat?” jawab Wahid tegas.


Ia menjelaskan, “Mobil adalah suatu alat bepergian, juga alat berjuang. Banyak di antara kawan-kawan kita yang sudah tergolong pemimpin, kadang-kadang persoalan rumah tangga saja tidak bisa memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan masalah umat yang jauh lebih besar dari sekedar masalah rumah tangga.” (Fathuri SR)

Tuesday, January 19, 2016

Subhanallah, Mahasiswi ini Terus Hafalkan Al-Qur'an Sambil Kuliah Kedokteran di Jerman

[tps_header]Subhanallah, Mahasiswi ini Terus Hafalkan Al-Qur'an Sambil Kuliah Kedokteran di Jerman[/tps_header]


[tps_title]Lulusan Madrasah, Kuliah Kedokteran di Jerman[/tps_title]


Sambil menimba ilmu kedokteran di Universitas Leipzig Jerman, Ika Damayanti menyelesaikan hafalan Al-Qur’an yang sudah dimulainya saat masih berada di MAN Insan Cendekia Gorontalo. Aktifitas belajarnya yang padat di Jerman tidak menghalanginya untuk menambah hafalan ayat demi ayat. Al-Qur’an sudah menjadi sahabatnya sehari-hari.




[caption id="attachment_112" align="alignleft" width="260"]Ika Damayanti Puasa Ika Damayanti Puasa[/caption]

Ia belajar Al-Qur’an di Masjid Al-Rahman Leipzig yang dibimbing  oleh beberapa temannya asal Suriah di akhir pekan. Ia juga melakukan muroja’ah; menyetorkan hafalannya di grup WhatsApp, MEMORIZING QURAN: Menghafal Quran 1 Hari 1 Ayat.


Nama lengkapnya Ika Damayanti Puasa. Ia dipanggil Ika, terkadang orang terdekat memanggilnya lebih singkat lagi “Ka”. Ika dari bahasa Sanskerta Eka artinya satu. Ia anak ke-1 dari tiga bersaudara. Damayanti terinspirasi dari Damai. Orangtuanya mengharapkan anak pertamanya menjadi jalan damai bagi agama, bangsa dan negara. Sedangkan Puasa adalah marga dari ayahnya Sumitro Puasa.


Setelah lulus SMP, awalnya ia memutuskan untuk melanjutkan belajar ke SMA dengan tetap membawa nilai-nilai Islam. Namun beberapa hari setelah Ujian Nasional, salah satu temannya memberikan brosur MAN Insan Cendekia Gorontalo, disingkat MAN ICG. Ia bersyukur akhirnya berhasil lolos tes seleksi yang cukup ketat.


Komitmen MAN ICG menjadi lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya mencetak generasi cerdas tetapi juga memiliki pengetahuan agama yang luas dibuktikan dengan sejumah prestasi yang didapatkan para siswanya di ajang Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ).


Pada MTQ Tingkat Kabupaten Bone Bolango yang diselenggarakanpada awal tahun 2012, kontingen MAN ICG yang mewakili kecamatan Tilongkabila kembali mengukir prestasi tertinggi dengan membawa pulang gelar juara di hampir seluruh kategori yang dilombakan dalam kegiatan tersebut.


Ika Damayanti Puasa waktu itu meraih Juara I pada cabang Hifdzil Qur’an atau menghafal Al-Qur’an untuk kelompok 10 Juz putri. Ia melengkapi daftar siswa ICG lainnya yang memperoleh juara untuk cabang Hifdzil Qur’an. Juara lainnya diperoleh ICG untuk cabang Tilawah, Fahmil Quran, Khottil Quran, dan Syarhil Qur’an.


Namun ada peristiwa yang tidak akan terlupakan saat Ika mengikuti lomba MTQ. Saat itu tepat tanggal 31 Maret 2012 pagi, ayahnya berpulang ke Hadirat Allah SWT.

“Saya masuk ke rumah pagi itu dengan rasa campur aduk, sudah lama saya tidak berbicara dengan ayah langsung maupun lewat telepon, dan ayah sekarat sambil memanggil manggil nama saya dan adik-adik saya tanpa meninggalkan pesan sebelum meninggal,” kata Ika.

[tps_title]Berangkat ke Jerman[/tps_title]


Dari kecil Ika mengaku sudah banyak mendengar dan melihat proses belajar mengajar di luar negeri, khususnya saat saya les bahasa Inggris. Ia tertarik dengan budaya dan bahasa yang baru, serta jaringan komunikasi yang luas. Keinginan itu dipertemukan dengan presentasi dari beberapa duta mengenai pendidikan di Jerman. Saya pun mulai mencari info mengenai kuliah di Jerman.


“Jerman merupakan negara yang sangat menghargai para student, fasilitas dan kemudahan di Jerman bagi mahasiswa terbukti dengan dihapusnya biaya kuliah di hampir semua negara bagian. Kemajuan kesehatan di Jerman yang didukung dengan banyak research baru dan fasilitas berteknologi tinggi, menggolongkan Jerman sebagai negara dengan pelayanan medis terbaik. Setiap orang memiliki hak yang sama terhadap pelayanan medis, hal ini didukung juga oleh asuransi kesehatan yang wajib bagi setiap warganya,’ katanya


“Dengan banyak info yang saya dapat, saya akhirnya meminta jawaban dari Allah, jika keinginan saya kuliah kedokteran di Jerman memang sesuai dengan kehendak Allah maka semoga Allah memudahkan langkah saya untuk kesana,” kata Ika.


Walaupun ia sudah diterima di jurusan kedokteran Universitas Hasanuddin, hatinya tergerak untuk tetap merealisasikan mimpinya belajar di Jerman.


Ahamdulillah atas izin Allah segala proses bisa saya lewati mulai dari belajar bahasa hingga diterima di Universitas tertua kedua di Jerman, Universität Leipzig (Universitas Leipzig).


Ika menimba ilmu Kedokteran di Universitas Leipzig, Jerman. Pendidikan kedokteran terdiri dari 12 semester, 6 tahun 3 bulan yang setara dengan master degree secara internasional. Ika berencana setelah lulus akan melanjutkan spesialisasi di Jerman juga 6 tahun dan siap kembali untuk membangun tingkat kesehatan masyarakat Indonesia.


Proses belajar di Jerman secara umum hampir sama dengan di Indonesia. Para civitas akademis sangat menghargai dan mendukung penuh orang dengan usaha dan kerjanya yang keras. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan, tidak ada perbedaan usia dalam proses pendidikan di Jerman.



[tps_title]Melanjutkan Hafalan Al-Qur’an[/tps_title]


Ika Damayanti mulai menghafal Quran secara intensif saat masuk MAN ICG. Tahfidzul Quran adalah program setiap harinya, 30 menit sebelum proses belajar mengajar pagi hari dimulai dan 30 menit sebelum sholat Isya. Dalam program ini para santri dan santriwati mendapat buku hafalan, dimana setiap setoran hafalan atau murojaah tercatat di dalam buku itu.


Fastabiqul khoirot, ya berlomba-lomba dalam kebaikan, beberapa teman-teman saya sudah hafidz sebelum beranjak ke MAN ICG, sehingga mereka menyetorkan hafalannya dengan penuh semangat, saya juga dengan semangat berusaha untuk memanfaatkan waktu itu dengan baik, hingga setoran saya telah melebihi target hafalan yang harus dicapai selama 3 tahun di MAN ICG,” kata Ika.


Pada 2012 saat diadakan kegiatan MTQ, saat itu Ika berumur 16. Ia mengikuti lomba tahfidz 10 Juz. “Saat itu hafalan saya 5 Juz, berarti saya harus mengejar 5 Juz dalam waktu singkat untuk mewakili MAN ICG,” katanya. Didukung oleh para hafidz hafidzah teman-temannya alhamdulillah Ika bisa meraih juara 1 untuk bidang tahfidz atau hafalan Al-Qur’an.


Aktifitas menghadal Al-Qur’an masih dilanjutkan oleh Ika saat ini ketika berada di Jerman. Ia belajar Quran di masjid Al-Rahman Leipzig yang dibimbing  oleh beberapa temannya asal Siria di akhir pekan.


Secara intensif ia juga menghadiri pengajian muslimah Leipzig yang diadakan 2 minggu sekali, mengaji Al-Quran dan juga membahas Hadits. Selain itu, untuk murojaah saya menyetorkan hafalan saya di grup WhatsApp, MEMORIZING QURAN: Menghafal Quran 1 Hari 1 Ayat.


“Saya berencana menyelesaikan hafalan Quran saya dan bisa memperkenalkannya dalam terjemahan bahasa Jerman, khususnya di bidang kesehatan. Saya juga mendaftarkan diri di sebuah lembaga beasiswa Avicenna khusus untuk mahasiswa muslim, dalam rangka menjadi kader dan cendekiawan muslim yang berkarya dengan ilmu pengetahuan,” katanya. (*)

Sunday, January 17, 2016

Pendidikan Yang Membebaskan

[caption id="attachment_96" align="alignnone" width="542"]Pendidikan Yang Membebaskan Pendidikan Yang Membebaskan[/caption]

Judul Buku : Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif Barat & Timur
Penulis : Umiarso, M.Pd.I & Zamroni, M.Pd.
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : 212 halaman


Oleh: Supriyadi


Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang harus terpenuhi. Kebutuhan manusia akan pendidikan tersebut bisa disetarakan dengan kebutuhan manusia untuk makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dengan demikian, pendidikan menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Tidak hanya demikian, dengan pendidikanlah manusia akan menemukan hakikatnya sebagai manusia. Oleh karenanya, pendidikan harus menjadi media pembebas manusia.


Pendidikan adalah aksi pembebasan manusia dari belenggu kebodohan baik itu berupa kebodohan secara intelektual maupun moral-spiritual agar menjadi manusia yang seutuhnya. Dengan demikian, pendidikan adalah hak setiap manusia, bahkan kewajiban setiap manusia untuk mendapatkan pendidikan. Karena jika manusia itu tidak berpendidikan, maka manusia akan terbelenggu dalam kubangan kebodohan.


Umiarso, M.Pd.I dan Zamroni, M.Pd dalam buku yang berjudul “Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat & Timur” menguraikan bagaimana pendidikan itu menjadi media pembebasan manusia. Pada dasarnya, pendidikan itu adalah pembebasan, oleh karenanya pendidikan tidak boleh menjadi ajang untuk melestarikan doktrinasi, pemaksaan, keterkekangan berpikir, dan pembunuhan kesadaran kritis manusia.


Berpijak pada pemikiran pendidikan Paulo Freire yang berpendapat bahwa pendidikan merupakan praktik pembebasan. Freire mengemukakan bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai alat pembebasan yang meletakkan manusia pada fitrah kemanusiaannya. Secara konsisten, pendidikan harus ditempatkan dalam konfigurasi memanusiakan manusia, yang merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia melalui aktualisasi kesadaran kritis yang ia miliki (hlm. 188).


Jika kita refleksikan pemikiran tersebut pada praktik pendidikan di Indonesia saat ini belumlah sesuai. Pendidikan di Indonesia masih mendoktrin, tidak jarang juga mengekang tumbuhnya kesadaran kritis, bahka sering terjadi kekerasan dalam pendidikan, serta normatifitas di dalamnya membuat peserta didik seolah menjadi robot yang terprogram untuk suatu kepentingan. Hal itu merupakan warisan dari pendidikan represif masa orde baru yang bertujuan untuk melahirkan kuli-kuli sehingga mampu melancarkan program penguasa, yakni pembangunan.


Pendidikan di Indonesia di masa kini harus direkonstruksi dan didekonstruksi sekaligus untuk menghapus status quo dalam pendidikan yang telah ada sebelumnya. Orientasi pendidikan Indonesia harus tepat pada titik pembebasan. Meski demikian, kebebasan di sini bukan berarti bebas secara ekstrem dan radikal serta tidak bertanggunjawab, melainkan kebebasan untuk berpendidikan, berpikir kritis, dan beradab sehingga terjadi keharmonisan dalam kehidupan yang bermartabat.


Dengan demikian, pemikiran Freire tersebut harus dibumbui dengan pemikiran dari Timur (salah satunya Islam) yang tidak hanya membebaskan kemanusiaan manusia di muka bumi secara horizontal. Pendidikan juga harus ditegaskan secara vertikal untuk mengenal dimensi transenden sehingga terjadi keseimbangan. Dimensi transendental dalam pendidikan tersebut adalah guna memungkinkan manusia mengenali Yang Maha Tak Terhingga, Tuhan semesta alam.


Orientasi pembebasan bagi manusia harus ditempatkan pada posisi yang integral antara dimensi sekuler dan transenden. Kebebasan sebagai potensi dasar harus dimanifestasikan dengan bertanggungjawab karena ia merupakan amanat dari Tuhan, Pencipta alam semesta dan realitas kehidupan (hlm. 190).


Dengan mengkombinasikan paradigma pendidikan horizontal dan vertikal tersebut tidak lain adalah untuk membentuk manusia yang terbebas dari ketertindasan dan kebodohan serta beradab. Hal ini sebagaimana tujuan pendidikan yang tidak hanya sekedar transfer of knowledge (transfer ilmu pengetahuan) akan tetapi juga transfer of value (tranfer nilai).


Secara sederhana, fungsi pendidikan adalah untuk menjadikan manusia yang tidak mudah dibodohi dan tidak mau membodohi. Tidak mudah dibodohi artinya bahwa manusia itu memiliki kecerdasan intelektual yang dengannya manusia mampu berpikir kritis. Sementara tidak membodohi adalah bahwa manusia yang berpendidikan itu memiliki moral dan etika yang mulia sehingga menjadi manusia yang mulia pula serta mampu mengenal Tuhannya.


Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat & Timur”, para pembaca diajak untuk menelusuri konsep pendidikan pembebasan yang terkombinasi dari perspektif Barat (Paulo Freire) dan Timur (pendidikan Islam) untuk menuju pendidikan yang membebaskan kemanusiaan manusia. Dengan kebebasan kemanusiaan manusia, manusia akan menemukan hakikat kemanusiaannya dan bertanggungjawab atas kebebasannya serta mampu mengenak Tuhannya.


Supriyadi,  pengamat sosial pada Fak. Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Chairul Akmal: Dari Madrasah Anak Aceh Ini Bertolak ke Jepang

[tps_title]Dari Madrasah, Anak Aceh Ini Bertolak ke “Negeri Sakura[/tps_title]




[caption id="attachment_87" align="aligncenter" width="453"]Chairul Akmal Chairul Akmal[/caption]

Peristiwa penting yang tidak mungkin dilupakan oleh Chairul Akmal adalah bencana tsunami Aceh. Bencana dahsyat itu telah merenggut nyawa kedua orang tuanya serta adik perempuan satu-satunya. Namun ia tidak menyerah menghadapi hidup. Ia bangkit.  “Tidak ada yang dapat menentukan apa yang dapat kita capai selain diri kita sendiri,” katanya.


Saat itu Akmal baru duduk di kelas 5 MI. Setelah bencana itu terjadi, ia pindah ke Aceh Besar, tinggal bersama nenek dan tantenya. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di MIN Pesantren Tengku Chiek Oemar Diyan, lalu melanjutkan ke MTs di Aceh Besar.


Perjalanan nasib mungkin sudah ditentukan oleh Yang Kuasa. Setelah menyelesaikan pendidikan MTs, Akmal lulus tes masuk MAN Insan Cendekia Serpong. Di sana ia bertemu dengan banyak siswa pintar se-Indonesia. Ia juga tergabung dalam tim olimpiade sains. Setelah lulus MAN, Akmal melanjutkan kuliah di salah satu universitas terkemuka di Jepang. Saat ini ia sudah berada di semester akhir. Ia akan lulus tahun 2016. Namun ia masih ingin berada di Jepang.


Di sela-sela kegiatan kuliah yang sangat padat di Negeri Sakura, ia tidak melupakan pesan penting dari orang tua dan almamaternya, mengamalkan ilmu agama yang ia punya. Di waktu liburan semester, mahasiswa Universitas Tohoku ini mengajar di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Hagi, Sendai. TPA ini diperuntukkan bagi anak-anak keluarga Indonesia dan Malaysia di kota Sendai, Jepang.


[tps_title]Diterima di MAN Insan Cendekia[/tps_title]


Sejak kecil, Akmal sudah belajar di madrasah. “Saya sendiri kurang mengerti saat kecil kenapa, tapi saya pribadi tidak berusaha membedakan antara ‘Sekolah’ dan ‘Madrasah’. Walaupun memang ibu sejak dari saya kecil ingin saya masuk ke pesantren. Kebetulan pesantren yang saya masuki ber-MTs,” katanya.


Lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pesantren Tengku Chiek Oemar Diyan di Aceh Besar tahun 2009, Akmal melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Serpong.


Di MAN Insan Cendekia, ia dipertemukan dengan para guru teladah. “Gurunya excellent,” katanya. “Saya rasa selain siswanya yang berasal dari anak-anak terbaik berbagai kalangan, Insan Cendekia Serpong bisa menjadi sekolah yang seperti sekarang karena gurunya,” kata Akmal memuji guru-gurunnya.


Bersama MAN Insan Cendekia Akmal tercatat beberapa kali mewakili sekolah di perlombaan bidang kimia. Ia termasuk tim olimpiade kimia saat itu. Meski ia tidak berhasil membawa piala atau piagam, tapi usahanya telah mengharumkan nama madrasah. Akmal sendiri mendapatkan banyak pelajaran saat berkompetisi dengan siswa-siswi pintar se-Indonesia.



[tps_title]Berangkat ke Jepang[/tps_title]


Setelah lulus dari MAN Insan Cendekia pada tahun 2012, ia mendaftar di dua universitas terkemuka, satu di dalam negeri dan satu lagi di luar negeri. Akmal diterima di kedua universitas yang ia inginkan.


Pengumuman kelulusan tes di Tohoku dan UGM berdekatan. “Setelah menimbang hal yang saya inginkan untuk masa depan saya, saya memilih untuk belajar di Tohoku,” kata akmal.


 “Saya mendapatkan kesempatan untuk belajar Marine Biology di Tohoku University yang pada akhirnya menjadi pilihan saya. Saat ini saya sudah memasuki tahun terakhir pendidikan sarjana di Tohoku dan Insya Allah akan lulus pada tahun 2016,” kata Akmal.


Di Jepang, ia tinggal di Kota Sendai, Miyagi, Jepang. Selain kuliah, ia juga mengikuti beberpa kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia. Ia mengikuti Festina 2013 (main performance), promosi budaya Indonesia oleh Persatuan Pelajar Indonesia Sendai bagi penduduk Jepang.


Di sela jadwal kuliah yang padat di Jepang, ia sempat mengajar Al-Qur’an di TPA Hagi Sendai. Ini adalah taman pendidikan Al-Qur’an bagi anak-anak Indonesia dan Malaysia di Sendai.


[tps_title]Meneliti Landak Laut[/tps_title]


Fokus kajian Akmal di Jepang saat ini adalah marine ecology atau ekologi kelautan, terutama berkaitan dengan Landak Laut dan Macroalgae. Marine ecology semestinya menjadi satu disiplin keilmuan yang penting pada saat Indonesia mulai fokus mengupayakan pembangunan dari sektor laut.


Namun Akmal belum terlalu berpikir tentang karir dan planning ke depan. Ia berencana untuk bekerja di bidang akademis dengan menjadi seorang peneliti atau researcher atau sekelas lecturer. Dan perguruan tinggi di Jepang sangat memungkinnya mencapai apa yang diinginkan. Di Jepang ia dapat betul-betul fokus dan didukung dengan fasilitas yang memadai untuk mendalami spesialisasi bidangnya keilmuannya.


Meski sudah lama tinggal di Jepang, dan penampilannya mungkin sudah mirip dengaan orang Jepang, Akmal masing ingin tinggal dan kembali ke Aceh. Kapan kembali ke Aceh? “Mungkin tidak langsung setelah lulus kuliah tapi beberapa tahun setelah lulus dan punya pengalaman yang cukup di bidang pekerjaan saya,” katanya.


Demikianlah Chairul Akmal, salah satu lulusan madrasah asal Aceh yang sukses dan saat ini berada di Jepang.


“Bahwa tidak ada yang dapat menentukan apa yang dapat kita capai selain diri kita sendiri,” pesannya untuk adik-adinya yang saat ini masih belajar di madrasah. (*)