Monday, September 5, 2016

Gus Sholah: Jika Tidak Diatur, Semua Pesantren akan Fiqih Oriented

Gus SholahKementerian Agama telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang izin pendirian 13 ma’had aly. Peresmian 13 pesantren tinggi yang setara dengan jejang pendidikan Strata Satu (S1) ini dilakukan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, akhir  Mei lalu. 13 Ma’had Aly yang telah menerima SK membuka salah satu satu dari enam pilihan program studi, yaitu Sejarah dan Peradaban Islam, Fiqih dan Ushul Fiqih, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadits dan Ilmu Hadits, Aqidah dan Filsafat, serta Tasawuf dan Tarekat.

Pondok Pesantren Tebureng sendiri juga telah menyelenggarakan ma’had aly yang diberinama Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, merujuk pada nama Pahlawan Nasional dan kiai besar pendiri pesantren ini. Berikut ini wawancara dengan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) terkait proyeksi besar ma’had aly, khususnya di Pondok Pesantren Tebuireng sendiri. Pada bagian lain, Gus Sholah menceritakan perjalanannya memimpin salah satu pesantren tertua dan terbesar di Indonesia itu.

Bagaimana pelaksanaan ma’had aly di Tebuireng?

Kalau berdasarkan keputusan Kementerian Agama, Ma’had Aly Hasyim Asyari harus mengambil spesialisasi hadits dan ilmu hadits. Padahal yang sudah jalan ini spesialisasinya ushul fiqih dan fiqih. Tentunya kami membutuhkan waktu. Yang sudah jalan ini kan harus kita selesaikan dulu. Jadi mungkin yang hadits paling cepet dua tahun lagi, atau tiga tahun lagi baru kita mulai. Kita perlu persiapan paling tidak tiga hal. Pertama kurikulum, kedua tenaga pengajar, dan ketiga calon mahasiswa yang mau masuk. Jangan-jangan yang masuk malah tidak ada.

Nah untuk ilmu hadits ini kan tidak mudah mencari pengajar. Tapi kalau seorang kiai bisa mengajar ya bagus. Setiap tahun kan kita mengadakan peasntren Ramadhan dengan membaca kitab seperti dilakukan sejak zamannya Mbah Hasyim Asy’ari dulu. Ada sejumlah kiai yang mengajar. Kalau ini bisa diterima dosen ya bagus. Selain itu tentu kita juga mencari kiai yang lulusan S2 atau S3, entah itu dari UIN Surabaya, UIN Jogja. atau UIN Jakarta, atau bahkan dari al Azhar Mesir, atau Saudi Arabia. Memang tidak mudah karena itu kami membutuhkan waktu paling cepet dua tahun, bahkan bisa lebih.

Menurut Gus Sholah, secara umum ma’had aly ini mestinya diproyeksikan seperti apa?

Ma’had aly kan pendidikan tinggi ilmu keagamaan yang didirikan di pesantren yang secara natural berbeda dengan perguruan tinggi biasa. Ia tidak mengikuti Dikti (Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi), tetapi mengikuti Kementerian Agama.

Tahun 1980-an ma’had aly ini digalakkan karena ada kelangkaan ulama, apa benar demikian?

Sebetulnya tidak juga, karena dari sekian banyak pesantren yang salaf itu lebih dari separuh. Jadi saya kira tidak melulu faktor itu.

Seberapa penting ada spesialisasi untuk ma’had aly sebagai pesantren tinggi?

Menurut saya penting. Mungkin kalalu tidak kita atur kan semua ke fiqih. Sekarang kan ada peradaban Islam, tasawuf, tafsir, saya pikir bagus. Jadi supaya ada penyebaran keilmuan di sejumlah pesantren, biar tidak semuanya mengambil syariah. Kira-kira seperti itu. Mungkin nanti ada Ma’had Aly yang spesialis tafsir. Bertahap lah, sekarang kan baru ada 13 yang sudah diresmikan, nanti kan bisa sampai 30.

Di Tebuireng sendiri, posisi Ma’had Aly seperti apa dibandingkan dengan unit pendidikan yang lain?

Tidak ada perbedaan. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari  adalah bagian dari pesantren yang ada pimpinannya, dan semua bertanggungjawab kepada pengasuh. Nah yang memudahkan kita, ma’had aly ini nanti harus ada pengabdian. Jadi nanti setelah tamat, dia jadi pembina atau ustad yang membina santri di pondok. Kalau di sekolah kan guru yang memberikan materi. Kalau di pondok ditangani oleh pembina. Sejak dulu, ma’had aly dipersiapkan ke sana. Tapi belum berjalan dengan baik, kita mendirikan yang namanya Diklat Kader Pesantren untuk menghasilkan pembina. Diklat ini diselenggaran selama 4 bulan, dimulai dari lathan militer, kemudian ada sejumlah ilmu yang diperlukan, ditambah kemampuan lain seperti ilmu komunikasi, dan manajemen tanggap darurat dan lain-lain sebagai bekal untuk bisa menangani santri.

Bagaimana Gus Sholah memosisikan diri sebagai pesantren atau pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng ini?

Saya menyadari bahwa kemapuan, tenaga, dan waktu saya terbatas. Mungkin pada waktu pertama memimpin, saya terlibat urusan teknis. Tapi itu sudah saya kurangi. Saya tidak terlibat urusan sehari-hari. Jadi sekarang saya lebih mengurusi hal-hal yang lebih strategis. Urusan sehari-hari sudah diserahkan kepada orang lain. Memang di pesantren dibutuhkan perangkat organisasi dengan dengan lingkup tugas yang jelas, SOP-nya juga harus jelas. Itu kita coba lakukan. Memang tidak seharusnya pesantren diurusi oleh satu orang. Semua hal harus dilakukan oleh sistem. Ini diperlukan untuk melihat ke depan.

Di Pesantren Tebuireng ada lembaga penjamin mutu, seberapa penting ini?

Penting karena begini: Alumni Tebuireng menyekolahkan anaknya di sini misalnya ingin anaknya bisa baca kitab (kuning). Nah yang elementer itu kita sediakan.Tapi kalau anaknya ingin menjadi ahli agama ya dia harus masuk aliyah kagamaan atau masuk mualimin. Kalau ahli di bidang umum ya lain lagi. Jadi tidak mungkin kan dia harus menguasai agama dan umum sekaligus, kecuali kalalu orangnya memang hebat sekali.

Penjamin mutu itu apakah sampai mengarahkan spesialisasi?

Kita belum ke arah sana. Itu baru di pesantren sains. Di sana kita siapkan anak-anak sesuai dengan minat dan bakatnya. Kadang-kadang dia pengen masuk ke fakultas ini padahal dia kemampunnnya lebih baik ke fakultas lain. Itu harus dibimbing. Nah saya merasa bahwa pesantren (sains) ini mempunyai keunggulan. Keunggulan yang paling awal santri itu bisa berinteraksi dengan guru, ustadz dan pembina selama hampir 24 jam,  setidaknya 16 jam dan itu harusnya bisa membentuk karakter si anak.

Tenaga pengajar di Pesantren Sains Tebuireng ini dari luar pesantren?

Karena ini program baru, jadi kita cari guru-guru dari berbagai tempat. Kita persiapkan mungkin antara 6 sampai 7 tahun lah kita lihat nanti, kita harapkan tahun depannya itu bisa berjalan. Jadi gurunya bukan dari pesantren. Ada dari UNESA. Dari ITS juga ada

Menjaga kualitas pesantren?

Kan untuk agama ada (pengajarnya) sendiri, selain sainsya. Tapi ini kan eksperimen, perlu ada perbaikan. Jangakan panjang kita menilainya mungkin 10 tahun lagi seperti apa. Ini baru dua tahun berjalan, mulai tahun 2014 lalu.

Selain tebuireng, ada tidak model pesantren sains yang lain?

Ada di sekolah Muhammadiyah di Ssragen. Dia sekolah berasrama. Karena yang punya ini kawan saya dari ITB yang kebetulan dia aktivis Muhammdiyah, dia bikin disana. Kemudian yang ada lagi di Jogja.

Apa istimewanya pesantren sains di Tebuireng?

Di sini ini siswanya dilatih berfikir. Bukan didreal atau dicekoki begitu. Ada kawan saya yang mengusulkan ini namanya Dr Agus Purwanto. Dia menceritakan pengalamannya di jurusan fisika ITS. Anak-anak ada di sana semester pertamanya baik, tapi semester kedua dan ketiga menurun karena mereka didreal, tidak diajari berfkir.

Apa diharapkan ada akan muncul penemuan-penemuan baru dari pesantren, begitu?

Mimpinya begitu. Paling tidak 50-100 tahun ada yang dari sini yang kemudian muncul sebagai ilmuan kelas dunia. Sekarang kan ada orang Indonesia yang menetap di Amerika yang diajukan sebagai penerima nobel. Ini memang tidak mudah. Apalagi kalau ilmuan itu muncul dari pesantren. Jadi jangan lihat sekarang, 50 tahun lagi paling cepet. Tapi itu berarti kita harus menjaga jangan sampai (mimpi) itu berhenti kan!?

*Wawancara ini juga dimuat dalam Majalah Pendis Edisi 6 Tahun 2016

No comments:

Post a Comment