Monday, July 4, 2016

Widya Lestari, Guru Madrasah Pencetus Rumah Belajar “Akar Ilalang”

Widya Lestasi memimpikan satu lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak miskin. Ia ingin mereka bisa sekolah gratis tanpa harus membayar apapun dan direpoti dengan apapun. Namun untuk mewujudkan impian itu, ia harus punya gedung. Akhirnya ia berinisiatif membawa anak-anak ke musholla di depan rumah. Namun masyarakat tidak berkenan. Lalu ia pindahkan mereka ke rumah ibunya. Di rumah itu, “anak-anak akar ilalang” diajarinya mengaji, diceritakan tentang kisah-kisah para Nabi. Mereka juga diajari menulis, menari, membaca puisi dan drama.

Saat kami berkunjung ke rumahnya di desa Tunjungrejo awal Oktober 2015, guru ekonomi di Madrasah Aliyah Salafiyah Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah ini sedang sibuk mengawasi anak asuhnya yang berlatih tari saman. Bagi dia, bermain dan belajar bersama anak-anak menjadi rutinitas yang menyenangkan.

Aktifitas itu dilakukannya di luar tugas mengajar di sekolah formal. Namun di sekolahnya ia juga membuat terobosan. Ia tidak mau siswanya terkungkung di dalam kelas. Guru ekonomi ini meminta izin untuk mengajak siswa-siswinya berkunjung ke bank, pusat produksi makanan, sampai ke Bursa Efek. Ada cerita, saat berkunjung ke bank, ia tertegun. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para siswa sangat menyedihkan. Itu karena selama ini mereka hanya menduga-duga. Tidak tahu dunia luar; tidak tahu apa sebenarnya yang mereka bicarakan di sekolah.

Di Madrasah Salafiyah, ada forum pembelajaran luar kelas bernama study excursion yang identik dengan dirinya.

Prestasi Formal dan Nonformal

Widya (38), demikian ia akrab disapa, mendedikasikan ilmu dan pengalamannya bagi kemajuan siswa dan madrasah tempatnya mengajar. Itu sudah dilakukannya sejak di bangku kuliah. Salah satu yang dilakukannya antara lain, mengikuti lomba guru berprestasi baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

Untuk tingkat Kabupaten Pati, Widya dapat juara I Guru MA Berprestasi. Ia juga menyabet gelar Guru Berprestasi tingkat Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015. “Itu yang secara formal. Terus dikirim ke provinsi, alhamdulillah masih dapat juara tiga,” tutur Widya bangga.

Meski itu pengalaman pertama, namun bagi dia merupakan pencapaian yang luar biasa. Pasalnya, selain tidak ada pengalaman dan pembinaan dari siapapun, ia mempersiapkan sendiri materi dan segala hal terkait perlombaan. “Kami membuat karya ilmiah sendiri, mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Jadi, itu adalah satu capaian yang luar biasa bagi saya,” tandasnya.

Widya merasa, prestasi formal bukan segala-galanya. Ia lebih bersyukur memiliki prestasi nonformal. “Untuk prestasi nonformal, saya pikir saya sudah menjadi teladan bagi anak saya. Itu sudah satu prestasi. Apalagi saat saya tanya, pengen jadi apa dek? Anak saya bilang, ingin jadi seperti ibu, jadi guru. Berarti sikap saya selama ini sudah menjadi teladan bagi dia, minimal itu,” ujarnya merendah.

Widya merasa anak-anak didiknya memiliki kesan dirinya merupakan prototipe guru yang galak. Meski demikian, kesan tersebut tidak membuatnya dibenci murid. Justru ia merasa dicintai dan dihormati mereka. “Kalau bagi murid saya yang lain memang saya terkenal sebagai guru yang katanya galak, tapi dicintai banyak murid,” ujarnya sembari tergelak.

Mengapa demikian? Menurut dia, karena sikap galak yang ditunjukkannya bagi anak-anak merupakan galak yang mendidik. Contoh misalnya, ia sering menegur anak putri yang ketahuan berjilbab masih memperlihatkan sebagian rambutnya.

“Saya bilang, kalau berjilbab ya rambutnya nggak boleh kelihatan. Jadi, kalau ada rambut yang koser-koser di belakang itu pasti saya jambak. Mesti seperti itu. Ini kuda apa gadis Aliyah Salafiyah ini. Kan nggak ada bedanya antara kuda yang di pasar dengan anak MA salafiyah ini. Yang kayak gitu langsung saya jambak,” ujarnya.

Widya juga sangat memperhatikan soal pakaian khususnya seragam. Terus  jika ada anak anak MA Salafiyah yang pakai seragam streat, agak pendek, gitu kan dikeluarin ya, karena pendek gitu, itu biasanya saya kerjain, di papan tulis saya suruh nulis kan tangannya gini (sambil memperagakan menulis) jadi kan kelihatan karena terbuka. Waw keren banget. Saya bilang gitu,” katanya sembari tertawa.

Ia juga memiliki trik jitu mengatasi anak didik yang malas mengerjakan pekerjaan rumah (PR). “Mungkin galaknya itu kalau muridnya nggak ngerjain PR.  Saya bilang ke anak-anak, oke, saya beri kesempatan. Tapi ngerjainnya sampai lima kali yaa. Besok biar mereka nggak mengulangi lagi,” ujar Widya.

Meski mengaku wajahnya kelihatan galak, ia tetap ramah kepada siapapun. Ia mengakui orang yang pertama kali melihatnya pasti terkesan jika ia galak. “Kalau pertama kali ngeliat saya pasti hmmm, galak banget yaa. Tapi kalau sudah kenal, nggak kok,” kata Widya sembari tertawa.

Agar para siswa memperhatikannya, ia sering menyelipkan kalimat-kalimat petuah setiap kali ia mengajar. “Apapun itu. Contoh misalnya, saya mengajar Akuntansi. Tantangannya berat sekali. Ya, mengajar Akuntansi di madrasah yang mereka itu entah bagaimana ceritanya ada kiai yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi itu nggak bisa dibawa masuk surga. Tidak bisa menjawab pitakon kubur.”

Ia pun membenarkan pendapat kiai tersebut. “Saya jawab betul. Kiaimu betul sekali,” kata dia sembari mengangkat jempol. Memang nggak ada pertanyaan kubur yang bisa dijawab dengan ilmu ekonomi, tambahnya. “Nggak bisa karena yang dibawa bawa mati hanya tiga, iya to?! Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat,” ujarnya.

“Kenapa kalian sekolah, mencari ilmu. Buat apa? Cari pekerjaan bukan? Nah, itu. Pekerjaan itu adalah nanti memanfaatkan ilmu yang dimiliki, itu yang bisa dibawa mati. Memang nggak bisa dipakai untuk menjawab pitakon kubur tapi bisa dibawa mati karena ilmunya yang bermanfaat. Tapi kalau kalian sekolah tidak bisa memanfaatkan ilmu ya tidak bisa dibawa mati,” tegasnya.

Yang kedua, lanjutnya, supaya pelajaran masuk di otak mereka, ia merujuk ke Al-Qur’an. Meski orang ekonomi yang tidak pernah sekolah di madrasah, ia berani menunjukkan kebenaran. “Baca al-Baqarah ayat 282. Di situ diperintahkan setiap kalian bertransaksi, catatlah. Nah, Akuntansi itu jadi ilmu pencatatan itu. Jadi dasarnya jelas. Siapa bilang Akuntansi bukan ilmu dari Al-Quran? Jelas, nggak bisa ditolak. Baru mereka bisa menerima jawaban saya,” tandasnya.

Tunjukkan Loyalitas dengan Prestasi

Pengalaman Widya mengikuti lomba guru berprestasi tingkat kabupaten merupakan suatu hal yang luar biasa. Apalagi mampu menyabet juara I. Ia menceritakan, lomba untuk Kementerian Agama Pati baru digelar pada Maret 2015. Sementara, untuk Kanwil Kemenag Jawa Tengah sudah dua kali. “Lomba tersebut merupakan pengalaman pertama saya. Tapi, saya ikut Diknas makanya pialanya dari Diknas. Kalau diknas kan dari dulu. Nah, sasarannya khusus guru MA. Meski pelaksana lomba itu Diknas, namun pesertanya guru SMA dan MA. Jadi, MA sendiri, SMA sendiri. Pelaksanaannya bareng,” kata dia.

Konon, lanjutnya, Kemenag Pati ingin memberikan motivasi kepada para guru yang ada di bawah naungannya supaya bersemangat. Nah, akhirnya Kemenag Pati bekerjasama dengan Diknas untuk menyelenggarakan lomba tersebut. Lombanya gabung antara guru SMA dan MA. Satu ruangan. Namun, juaranya ada dua: MA dan SMA. “Semua prosesnya sama. Presentasi di ruang yang sama dengan juri yang sama. Cuma dibedakan antara guru MA dan SMA,” papar Widya.

Meski diselenggarakan bulan Maret, namun penerimaan piala baru pada Mei 2015. Widya menceritakan, dulunya lomba tersebut menggunakan istilah “guru teladan”, namun kini diubah istilahnya menjadi “guru berprestasi”. Adapun cara lombanya, para peserta menyusun karya ilmiah dan membuat portofolio yang berisi aneka kegiatan atau aktivitas yang pernah dilakukan. Misalnya, di sekolah tersebut sang guru selain mengajar juga memiliki tugas lain.

“Seperti saya, misalnya, pernah jadi koordinator prodi IPS selama delapan tahun. Lalu, menjadi pembimbing olimpiade karya ilmiah remaja, pembimbing teater, pembimbing apa namanya kayak ada lomba orasi, cerdas cermat, atau lomba debat. Nah, itu dirangkum menjadi satu. Karya ilmiah pertama saya ambil penelitian tindakan kelas (PTK) untuk materi saya sendiri,” ujarnya.

Ditanya tentang suka-duka pencapaian prestasi, Widya mengatakan untuk kategori prestasi formal ini ia mengerjakan risetnya sendiri dengan biaya sendiri. Tidak ada supporting bantuan dari pihak manapun termasuk dari sekolah. Pada akhirnya, diberi insentif dari pihak sekolah lantaran meski dapat juara I namun tidak mendapat hadiah uang pembinaan.

“Jadi, dari Diknas tidak ada hadiah apa-apa selain piala sama sertifikat saja. Padahal penelitian butuh biaya macam-macam. Tapi nggak apa-apa. Tujuan kami sebenarnya bukan itu. Tujuan kami bukan untuk mendapatkan hadiahnya. Tapi tujuan saya adalah bagaimana saya memiliki karya yang bisa menginspirasi banyak orang,” ujarnya.

Ia terpacu mengikuti lomba guru berprestasi ketika terlibat konflik personal dengan salah satu stakeholders madrasah di tempatnya mengajar. “Saya sebenarnya memiliki motivasi tersendiri. Jadi, pada saat saya mengikuti lomba ini pada saat yang sama saya sedang mengalami konflik dengan kepala Aliyah Salafiyah. Ini saya fair saja,” ujarnya mantap.

Pada saat itu, ada pihak ketiga yang mencoba untuk “meracuni” kepala sekolah terkait dirinya yang dianggap tidak memiliki loyalitas kepada madrasah. Akhirnya konflik pun tak terhindarkan. “Konfliknya sangat personal banget. Jadi, saya tidak bisa share. Intinya saya merasa didzalimi. Lalu, saya ingin buktikan bahwa saya memang memiliki loyalitas yang tinggi kepada madrasah. Saya memiliki kompetensi yang berbeda dengan yang lain. Jadi, saya buktikan dengan punya karya itu,” ucapnya berkaca-kaca.

Ia merasa bersyukur sekali ketika hasil risetnya selesai dan siap dilombakan. Lalu ia datangi sang kepala sekolah sembari bicara baik-baik soal lomba guru berprestasi. “Bapak, saya minta izin untuk mengikuti lomba guru berprestasi atas nama MA Salafiyah. Respon beliau, sangat kaget. Lalu menjawab, oh iya, silakan aja kalau memang anda mampu. Oke, pak. Saya minta restunya saja,” tuturnya.

Saat riset untuk lomba yang pertama, lanjut Widya, belum ada bantuan sama sekali baik dari yayasan maupun madrasah. Hingga ia dinyatakan sebagai juara I tingkat Kabupaten Pati, dari pihak yayasan baru tergerak untuk membantu. Kebetulan ketua yayasannya, Ulil Albab, memang sangat luar biasa kepeduliannya bagi pengembangan madrasah.

“Pak Ulil Albab sangat mendukung saya. Kata beliau, apapun yang Anda butuhkan dari fasilitas sekolah terkait lomba, silakan dipakai termasuk dana yang dibutuhkan. Sampai saya dikirim ke Kanwil Kemenag Jateng di Semarang, pihak yayasan juga memberikan sangu (uang saku),” ungkapnya.

Juara Tingkat Provinsi

Setelah bulan Maret 2015 merebut piala juara I tingkat kabupaten, Widya melaju ke tingkat provinsi Jawa Tengah pada September. “Jadi, ada waktu enam bulan untuk bikin karya ilmiah lagi yaitu karya inovatif. Saya melakukan penelitian lagi. Karena yang dikirim ke tingkat provinsi itu karya inovatif. Bukan PTK. Jadi, melakukan riset lagi,” kata jebolan Universitas Widya Gama Malang ini.

Di Kanwil Kemenag Jateng, kontingen Pati beranggotakan sembilan guru dari RA, MI, MTs, dan MA. Mereka didampingi para kepala sekolah dan pengawas. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Pasalnya, dari kesembilan anggota ini belum ada yang berpengalaman ikut perlombaan.

“Jadi, apa saja yang dibutuhkan itu kami mempersiapkan diri sendiri. Sampai sana ketemu para peserta yang rata-rata memiliki NIP yang mana mereka sudah sering kali mengikuti kegiatan seperti itu yang digelar oleh PGRI, KKM, sedangkan kami tidak pernah sama sekali. Jadi, mereka itu sudah berpengalaman,” tuturnya.

Meski demikian, Widya cukup berbangga sebab nilai karya tulis ilmiahnya mendapat nilai tertinggi, yakni 92, kendati hanya mendapat juara tiga. Juara I dari Kabupaten Demak, dan Pekalongan mendapat juara II. Kontingen dari dua kabupaten ini nantinya yang akan mewakili Jawa Tengah untuk lomba di Jakarta.

“Juara satu dan dua nilainya justru di bawah saya. Yang satu 90, satunya lagi 89. Itu nilai karya ilmiahnya. Saya hanya kalah di presentasi. Jadi, karena kurang berpengalaman. Yang kacau lagi itu di power point. Mestinya sedikit saja, tapi punya saya terlalu banyak,” ungkapnya seraya tertawa.

Selain itu, kata dia, waktunya juga hanya sekitar dua minggu. Meski demikian, ia mengaku bangga bisa mewakili Pati di tingkat provinsi. Ia merasa mendapat ilmu banyak sekali dari kegiatan tersebut. Waktu itu, dewan juri dari Univeritas Negeri Semarang (UNNES) dan UIN Walisongo. Tempatnya di hotel Usma Ambarawa.

Widya merasa, sebagai satu-satunya guru MA yang tidak ber-NIP yang lolos tiga besar dengan pengalaman lokakarya dan seminar yang minim sekali dan pertama kalinya. Ia pernah menggagas bersama teman-teman guru ekonomi untuk membuat MGMP Ekonomi khusus guru aliyah swasta.

“Tiga tahun lalu, itu saya namakan gerakan Guru Ekonomi Madrasah Aliyah Swasta (GEMAS) sebagai perlawanan kultural sekaligus mewakili kegemasan kami terkait kesenjangan di antara guru swasta dan negeri,” ujarnya mantap.

Awal mula yang memiliki ide tersebut adalah guru Ekonomi SMA Widya. “Orang asli Ngagel namanya Pak Agus Miftah. Itu guru Ekonomi saya. Beliau lalu mengajak saya. Ayo nduk, kita kalau njagakke dari Depag (Kemenag-red) nggak bakalan ada. Anggotanya sekitar 16 orang. Saya selama ini ikut MGMP Diknas,” tuturnya.

Selama di Malang, Widya memiliki banyak kegiatan yang sangat berpengaruh di kemudian hari. “Saya anggota teater, forum kajian islam masjid (kisma), anggota himpunan mahasiswa jurusan (MHJ) ekonomi, juga di senatnya. Jadi, di macam-macam tempat dan wahana organisasi,” ungkapnya.

Bahkan, di dunia olahraga pun Widya bergabung di klub voli. Meski multitalent tapi tidak ada yang menonjol. “Saya lebih senang menjadi inspirator dan motivator saja,” katanya sambil tersipu malu.

Widya menceritakan, untuk lomba tingkat provinsi, merupakan inovasi dalam pembelajaran. “Metode pembelajaran itu kan banyak sekali. Saya membuat metode pembelajaran yang belum pernah ada. Inovasi saya, yaitu saya melakukan Study Excursion, yakni belajar di luar kelas. Karena materinya memang tentang koperasi, anak-anak saya beri surat tugas mendatangi koperasi di sekitar Kecamatan Margoyoso, Trangkil, dan Tayu,” ujarnya.

Karena para siswinya merupakan anak pondok, jadi areanya terbatas maksimal Kecamatan Trangkil untuk selatan dan tayu untuk daerah utara. Mereka mendatangi koperasi-koperasi itu hanya Jumat (hari libur) secara berkelompok.

“Tiap kelompok beranggotakan enam orang. Mereka ke sana sendiri. Saya tidak mengikuti mereka. Tapi saya berikan gambaran kepada mereka terkait informasi yang harus ditanyakan untuk membuat laporan yang nanti akan dipresentasikan di kelas dan dilanjutkan pembahasan materi. Jadi, mereka langsung visitiasi ke koperasi lalu wawancara dengan pengelola atau manajer lembaga terkait,” kata dia.

Sebelumnya, Widya menghubungi para manajer itu baik dengan surat maupun menelpon melalui ponselnya. “Yang saya punya nomor kontaknya langsung saya hubungi biar segera tahu maksud saya,” ujar Master Managemen jebolan Universitas Sebelas Maret Surakarta ini.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa studi lapangan ini hanya berlaku untuk anak kelas III MA yang ia ajar. “Kelas I pun juga saya berlakukan metode yang sama ketika saya mengajar mereka. Tapi mereka ke bank, lebih parah lagi. Jadi, saya sesuaikan dengan materi. Kelas III pernah dua kali. Sebelumnya ke pasar. Karena materinya akuntansi dagang. Jadi, mereka ke pasar langsung,” tutur Widya.

Ia mengaku menggunakan metode tersebut supaya para siswi setidaknya mendapatkan dua hal: refreshing keluar, dan materi lebih mengena karena langsung ke objek. “Jadi, kalau saya memberi contoh mereka langsung memahaminya dengan baik,” ujarnya bangga.

Widya melihat respon anak-anak senang sekali. Pasalnya, anak pondok bisa jalan keluar. “Mereka benar-benar mendapatkan pengalaman baru, ternyata dunia usaha dan dunia kerja seperti itu yaa. Terus mereka pun punya harapan bahwa besok saya pengen kerja seperti ini. Besok kalau misalnya saya nggak bisa kuliah bisa melamar di sini atau kalau saya kuliah saya mau ambil jurusan ini dan ini,” paparnya.

Yang paling membuat Widya bangga adalah, akhirnya sekolah mendirikan koperasi yang baru diresmikan tahun ini. Ditanya soal seberapa persen keberhasilan pembelajaran metode ini, jika dilihat dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)-nya mereka tuntas semua. “Jadi, batas minimal nilai itu 82. Mereka tuntas semua, rata-rata 85 ke atas. Bahkan, ada yang dapat nilai 90. Kalau presentasinya bagus otomatis bisa tembus angka itu,” ujarnya sembari tersenyum.

Tak heran jika fakta tersebut membuat ibu tiga anak ini bangga dan bahagia. Ia mengaku sangat puas ketika terobosan pembelajarannya menjadi inspirasi bagi para siswinya.

Study Excursion

Terobosan demi terobosan Widya lakukan sejak dirinya pertama kali masuk Salafiyah pada 2005. “Ini ada sejarahnya lho. Yang jelas, saya prihatin sekali dengan kondisi mereka. Karena apa, anak sini tidak pernah lihat kota Pati. Alun-alun Pati saja mereka belum pernah lihat. Bahkan, pasar juana pun tidak pernah. Saya sungguh sangat prihatin,” ungkap Widya.

Akhirnya waktu itu Widya meminta izin kepada kepala sekolah untuk mengajak para siswi untuk belajar di luar kelas. Beruntung, kepala sekolah akhirnya mengizinkan. “Lalu, saya datang ke BPR Artha Huda Abadi untuk minta izin kunjungan ke sana. Semua anak saya ajak ke sana. Waktu itu saya ngajar Ekonomi kelas III saja. Mereka takjub luar biasa. Baru kali itu masuk sebuah bank,” ceritanya.

Yang membuat dirinya tertegun, pertanyaan-pertanyaan para siswi ke pihak bank sangat mengagetkan sekaligus menyedihkan. “Ya Allah, pertanyaan kayak gitu kok ditanyakan. Misalnya, syarat jadi pegawai bank itu apa? Lucu banget kan. Saya prihatin sekali. Memang, akses mereka keluar sangat terbatas sekali. Maklum, anak pondok. Tapi sebetulnya nggak masalah. Yang penting itu kan wawasan. Nah, wawasan mereka itu minim sekali,” ujar Widya.

Untuk menambah wawasan anak didiknya, Widya akhirnya membawa koran atau majalah setiap pelajaran yang ia ampu. Karena saat itu google masih sangat terbatas sehingga ia menjadikan media cetak sebagai bahan bacaan para siswa.

Setahun kemudian, pada 2006, Widya mengajak anak-anak ke BPR Artha Huda Abadi lagi. Tahun berikutnya, pada 2007, ia mengajak mereka ke pabrik Kacang Dua Kelinci di kota Pati. “Saat itu mereka senang sekali. Ke Kacang Dua Kelinci saja mereka senangnya luar biasa. Mereka bisa melihat langsung bagaimana kacang itu bisa berjalan sendiri mulai proses awal hingga pengepakan,” kenangnya.

Semenjak itu, setiap ada kegiatan yang bernama study excursion yang menggantikan study tour di Madrasah Salafiyah menjadi identik dengan dirinya. “Jadi, tiap ada kegiatan belajar di luar itu pasti taunya dari saya. Sebab, yang menciptakan pertama kali di situ saya. Nah, sejak itu, tiap tahun kami mengadakan study excursion. Paling jauh, kami mengunjungi Bursa Efek Indonesia yang ada di Surabaya,” ujarnya bangga.

Ditanya siapa yang menginspirasi ide tersebut, Widya mengatakan saat kuliah di Malang, Jawa Timur, ia pernah menjabat sebagai Ketua BEM Fakultas Ekonomi Widya Gama Malang. Sebagai elit kampus, ia sering melakukan kegiatan seperti itu. Bahkan, aktivitas model itu sudah dimulainya sejak masih menjadi mahasiswa jurusan akhirnya menjadi Ketua BEM Fakultas.

“Saya pikir, itu merupakan satu langkah yang bagus yang menambah wawasan anak-anak. Daripada sekedar study tour, mereka kalau study excursion selalu ada ilmu yang dibawa pulang. Mereka harus bikin laporan, dan sesuai dengan materinya itu nanti mereka presentasi. Pada akhirnya tidak hanya materi Ekonomi. Ada juga materi Bahasa Indonesia juga untuk penyusunan laporannya. Di dalamnya juga Kimia, Fisika, untuk anak IPA. Kalau untuk ada IPS arahnya ke Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi,” tuturnya.

Selain full mengajar di MA Salafiyah, Widya juga masih bisa membagi waktu mengajar di kelompok belajar dari STIE Semarang. “Saya diminta untuk membantu teman-teman mengajar di sana. Dulu, pernah ngajar di STAIMAFA selama dua tahun sampai akhirnya mendapatkan beasiswa S2 di Universitas Sebelas Maret Surakarta karena saya ngajar di STAIMAFA,” ungkapnya.

Namun, karena Widya tidak bisa lagi membagi waktu lantaran dituntut sebagai dosen tetap, sementara di Salafiyah sudah penuh mulai Sabtu hingga Kamis, ia pun berhenti mengajar di kampus Kiai Sahal tersebut. “Waktu itu bisa di STAIMAFA juga karena dulu di Salafiyah pulangnya setengah satu. Nah, sekarang sudah setengah tiga. Akhirnya, saya pun nggak bisa memilih. Sedih sekali memang,” ujarnya berkaca-kaca.

Di Madrasah Salafiyah, Widya menjadi guru tetap kelas II dan III di MA untuk mapel Ekonomi selama 32 jam pelajaran. Ibu muda kelahiran Pati, 28 Agustus 1977, ini juga masih bisa mengajar di Universitas Wahid Hasyim cabang Asempapan khusus hari Jumat untuk mata kuliah Manajemen Keuangan.

Senam Perut di Sekolah

Di sekolah, Widya memiliki ide gerakan senam perut untuk pelajar putri. Kenapa harus melakukan senam perut? Diam-diam ia menyiapkan satu “senjata” untuk testimoni keperawanan bagi para siswinya. “Sebulan sekali para siswi mesti saya kejutkan dengan senam perut. yuk persiapan senam perut. Jilbab pun disingkap ke samping. Tangannya ditaruh di atas perut. Tarik nafas, tahan, terus lepaskan pelan-pelan. Terus seperti itu hingga sepuluh kali,” paparnya.

Menurut dia, fungsi senam ini untuk mengetahui siswi yang hamil. “Itu adalah cara saya untuk membenamkan anak supaya malu kalau berbuat seperti itu. Pasti dia akan berpikir, kalau Bu Wid ngajak senam perut nanti pasti ketahuan. Sehingga dia akan berfikir. Jangan sampai terjadi begitu,” kata dia.

Widya sangat prihatin. Pasalnya, ia mengaku pernah mendapati beberapa siswi yang ketahuan hamil setelah senam perut. Tidak hanya di Salafiyah, tapi juga di beberapa madrasah lainnya. Ironisnya, mereka ada yang masih duduk di tsanawiyah. “Jadi, cara saya untuk mengantisipasi dengan cara demikian. Jadi kalau saya datang di kelas 1 saya juga begitu. Mulai saya perkenalkan cara itu seperti anak kelas 2 dan 3,” ujarnya.

Dengan posisi berdiri, Widya mendeteksi jika mereka sedang hamil pasti nggak kuat hitungan kelima. Ketika ia hamil, ia lalu mempraktikkan senam tersebut ternyata ia tidak kuat. Saat menjumpai yang begitu, perasaannya hancur berkeping-keping. Sakit sekali. Widya lalu mengambil tindakan dengan cara pemanggilan khusus sembari dialog dengan yang bersangkutan di sekolahan.

“Saya tanya siapa pelakunya, berapa kali dilakukan. Akhirnya saya tahan untuk tidak membocorkannya kepada siapapun karena ujian tinggal sebulan. Saya harus menyelamatkan anak itu. Setelah ujian selesai, baru saya melakukan tindakan lebih lanjut. Sakit banget. Jadi guru tidak hanya sebagai orang yang mentransfer ilmu. Tapi, harus all out seluruh jiwa raganya, seluruh mindset dan pengetahuannya, serta wawasan harus kita berikan,” ujar Widya bersemangat.

Pasalnya, kata dia, murid tersebut dititipkan oleh orang tuanya begitu saja kepada guru. Orang tua di rumah yakin bahwa anaknya akan diajari kebaikan oleh gurunya. “Jadi, apapun kebaikan yang saya miliki akan saya berikan kepada mereka. Kalaupun kita harus menyelamatkan anak itu dengan cara apapun harus kita lakukan,” tandasnya.

Karena kalau ketahuan, tambahnya, pasti akan ramai. Orang tuanya pasti sakit, sudah begitu anaknya akan dikeluarkan dari sekolah. Sudah aib, rugi, pengorbanan selama tiga tahun tidak ada artinya. “Jadi, kalau kita masih bisa berbuat sesuatu untuk orang lain apa salahnya,” sergah Widya.

Memang, ketegasan pihak sekolah dengan mengeluarkan anak tersebut sangat wajar. “Tapi kita kan punya hati. Jadi kita lihat kalau masanya memang masih jauh dengan ujian ya kita bisa lakukan yang terbaik bagi semua. Tapi kalau waktunya tinggal sebulan bagaimana. Meski secara nurani tidak bisa membenarkan tapi saya antisipasi seperti sejak dini,” tambahnya.

Senam perut itu merupakan pendidikan seks sejak dini bagi siswi yang menginjak usia remaja. Ia katakan kepada mereka bahwa anak usia di bawah usia 16 tahun yang sudah melakukan hubungan seksual itu sangat berbahaya karena bisa kena kanker serviks.

“Senam perut ini kan sebenarnya ilmu meditasi dari aktivis teater. Kalau mereka nggak dikasih tau begitu tentu masih menganggap bahwa pendidikan seks itu tabu. Nah, saya mencoba mendobrak itu. Sehingga karena ketidaktahuannya mereka jatuh ke lubang kesalahan,” kata Widya.

13 Widya Lestari

Pencetus “Akar Ilalang”

Di luar sekolah dan kampus, Widya juga masih meluangkan waktu untuk anak-anak sekitar rumahnya belajar. Anak-anak asuhnya ini diberi nama “Akar Ilalang”. Bercerita tentang aktivitas anak-anak Akar Ilalang, mereka belajarnya usai Maghrib. “Jika mereka mau pentas, maka saya suruh datang lebih awal,” ujar ibu yang enerjik ini.

Widya yang memiliki tiga anak: Jelang Sasi Siam (10 tahun) kelas V SD, Juang Anugrah Langit (4,5 tahun), dan ini merasa anak-anak tetangganya itu memiliki kemampuan untuk maju.

“Rumah Akar Ilalang itu merupakan satu impian saya. Saya pengen memiliki lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak miskin dan mereka bisa sekolah gratis tanpa harus membayar apapun dan direpoti dengan apapun. Itu masih impian saya. Tapi untuk mencapai impian itu kan nggak mudah. Sebab, kita harus punya gedung, harus punya sumber daya dan lain sebagainya,” ujarnya.

Nah, karena keterbatasan-keterbatasan itu akhirnya Widya berpikir apakah dengan keterbatasan yang ada ini apakah ia tidak bisa berbuat apa-apa? Can’t do something? “Akhirnya saya berfikir gini, anak saya itu kalau saya tinggal, jam setengah lima sore belum juga mandi. Masih maen ke mana-mana. Nah, terus saya berpikir ini bagaimana caranya, sudahlah gini aja, saya bawa mereka ke musholla dulu di depan rumah. Berarti, anak saya harus sudah mandi,” kata dia.

Widya lalu menyuruh anaknya ke musholla bersama teman-temannya. Jadi tidak ada yang main-main lagi. Semula ia juga melibatkan anak-anak remaja untuk gabung. Di musholla itu ia buat jadwal. Misalnya, hari senin cerita tentang kisah nabi, lalu selasa membaca cerita tentang orang-orang hebat. Rabu, belajar mewarnai. Trus hari kamis, belajar lain lagi atau hafalan surat pendek, sambil nyanyi-nyanyi ‘Tepuk Anak Sholeh’, misalnya. “Ada sekitar 40 anak yang aktif di situ,” kata Widya.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak di situ makin rajin belajar hinggga maghrib menjelang. “Mereka terus sholat maghrib. Lalu, ngaji kepada kiainya musholla. Nah, yang selesai ngaji belajar sama saya tentang pelajaran sekolah. Tapi lama-lama, itu ternyata tidak disukai para orang tua. Alasannya, musholla tidak boleh digunakan untuk kegiatan selain mengaji dan ibadah,” kata Widya menirukan warga.

Daripada terjadi konflik dengan warga, Widya lalu melapor ke Pak RT untuk memindahkan belajar anak-anak ke rumahnya. “Saya bilang ke beliau, lebih baik saya pindah ke rumah saja belajarnya. Terus, kegiatan itu pindah ke sana semua, tepatnya rumah ibu saya. Akhirnya, guru ngajinya juga mutung ngajari ngaji. Malah sekarang guru ngaji tersebut pergi dari desa ini,” tuturnya.

Lalu, anak-anak ngaji di luar. Ke sininya usai maghrib. Mereka tidak lagi seperti yang sebelumnya. Mereka kalau usai maghrib belajar semua. Untuk hari Jumat dan Ahad mereka latihan menari, baca puisi, drama.

Ditanya soal nama Akar Ilalang, Widya menjelaskan sebenarnya yang memberi nama adalah teman-temannya dari perkumpulan pecinta seni dan sastra se-Margoyoso bernama “Gandrung Sastra”. Beberapa waktu lalu, saat ia mendirikan kegiatan ini mereka ramai-ramai datang ke sini.

“Ini mestinya kamu kasih nama gitu. Nama apa yaa?! Ya apa aja lah. Lalu adik saya usul gini, Akar Ilalang aja. Kenapa akar ilalang? Itu kan mereka anak kecil dari kalangan tidak mampu. Jadi, kami berharap akar ilalang itu kan nggak kepakai. Apalagi akarnya, lha wong ilalangnya aja nggak kepakai kok. Betul nggak? Tapi, kita buat supaya kepakai,” ungkapnya.

Terbukti, anak-anak asuhnya itu termasuk golongan orang miskin, kelihatan tidak pandai dan kumel. Rerata mereka tidak pernah diberi kesempatan oleh pihak sekolah untuk berprestasi. Sebab, yang diberi kesempatan pasti anak yang cantik, ganteng, bersih, pinter, atau anaknya orang kaya. Lalu, anak-anak yang kebetulan tidak seperti kategori ini tidak akan pernah dapat kesempatan untuk menunjukkan talentanya.

“Di sini, mereka kami beri kebisaan. Mereka pun lalu bisa mementaskan kebisaan mereka di beberapa tempat. Dan itu menjadi kebanggaan yang besar bagi mereka dan orang tua mereka. Contohnya anak saya, saya kan tidak pernah menunjukkan jati diri saya kepada pihak sekolah. Anak saya tidak pernah diberi kesempatan untuk berprestasi apapun. Lomba apapun tidak pernah diikutkan. Begitu mengetahui anak saya pernah pentas di beberapa kesempatan di kecamatan, akhirnya diberi kesempatan,” ujarnya bangga.

Bahkan, kemarin anaknya diminta melatih kawan-kawan sekelasnya belajar tari saman untuk pentas Hardiknas. Di situ diumumkan bahwa ini adalah kreasi dari  Mbak Sasi dari akar ilalang. Dan ini membanggakan bagi semua. “Bahkan, anak-anak MI di desa saya ini lulus dengan NEM terbaik dan bisa melanjutkan dan diterima di SMP favorit di kecamatan ini,” kata dia.

Biasanya, nilai anak-anak MI di daerahnya rendah. Banyak orang tua yang tidak percaya, kok bisa ya anak itu diterima di SMP 1 Margoyoso?! “Kan nggak mungkin nyogok karena anaknya orang miskin. Jadi, kalau nggak cerdas nggak mungkin keterima kan?! Kan ada tuh yang keterima di Mathole’ (Matholi’ul Falah) juga tanpa tes,” ungkapnya.

Anak-anak Akar Ilalang biasanya belajar usai Maghrib. Selain menari, mereka juga latihan baca puisi dan bermain drama. Bagi Widya, pendidikan melalui seni sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. “Saya hanya ingin memberi inspirasi bagi mereka, bahwa jika mereka memiliki satu keahlian yang bisa bisa dilihat banyak orang kan mereka seperti mendapatkan pengakuan,” ujarnya bangga.

Mengutip teori Maslow, Widya menyebut kebutuhan yang paling tinggi adalah aktualisasi diri. “Nah, ini lho saya. Kan bisa meningkatkan motivasi diri. Meski demikian, pinter nari dan puisi kalau tidak punya nilai tinggi di sekolah juga sama saja kosong. Setelah saya bilang begitu, mereka lalu tergerak dan bersemangat untuk belajar mata pelajaran sekolah. Kalian bisa lebih berprestasi tidak hanya pandai di satu bidang,” kata Widya suatu ketika.

Menjelang penampilan seni, anak-anak Akar Ilalang tetap semangat dan merasa tidak terbebani oleh padatnya jadwal latihan. Mereka tetap enjoy dan riang gembira. (Ali M. Asrori)

No comments:

Post a Comment