Tuesday, July 12, 2016

Idul Fitri dan Pembebasan

[caption id="attachment_2174" align="alignright" width="250"]Isom El Saha Isom El Saha[/caption]

Selama satu bulan penuh, kita sebagai umat Islam telah menabur benih-benih kesalehan dengan menjalani seluruh rangkaian ibadan Ramadhan. Mulai dari puasa di siang harinya, tarawih dan qiyam al-lail di malam harinya, tadarus al-Qur’an di waktu selanya, memperbanyak i’tikaf di sepuluh hari akhirnya serta berzakat di penghujung bulannya.


Kini telah tiba saatnya kita memetik hikmahnya dengan menggenggam kemenangan yang dijanjikan Allah SWT dalam momentum Idul Fitri yang dirayakan umat Islam se-dunia. Min al-‘idin wa al-faizin fi kulli ‘am wa antum bi khair, semoga kita tergolong umat yang kembali kepada fitrahnya dan mendapatkan keberuntungan yang tiada tara serta memperoleh hidup sentosa di kemudian harinya.


Harapan ini tentunya tidak berlebihan, sebab selama bulan Ramadhan kita telah memuasakan diri kita, baik jasmani maupun rohani. Allah SWT sesungguhnya juga Maha Tahu begitu beratnya manusia menjalankan puasa. Sebab puasa mengajarkan sesuatu yang bertolak belakang dari keinginan manusia yang selalu berusaha memenuhan kebutuhan dasar hidup (hajat dharuriyat)-nya, seperti makan dan minum.


Oleh sebab itulah Allah SWT sangat menyayangi umatnya yang berpuasa sehingga memanggil mereka dengan ungkapan yang sangat mesra (nida’ al-habib) yakni ya ayyuha allazdina amanu (Wahai orang-orang yang beriman). Panggilan ini hanya Allah SWT ungkapkan dalam hal ibadah puasa, tidak pada rukun Islam yang lainnya. Begitu juga derajat yang diberikan kepada manusia yang berpuasa yaitu muttaqin atau la’allakum tattaqun; di dalam al-Qur’an, Allah SWT hanya menggunakannya dua kali. Salah satunya dalam ayat mengenai puasa.


Ini artinya ibadah puasa sangat spesial di mata Allah SWT. Makanya tepat jika di dalam hadits Qudsi Rasulullah SAW menyatakan; “Setiap amal perbuatan manusia akan kembali kepada diri mereka terkecuali puasa. Sebab puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari).


Id Berarti


Id Berarti Perayaan


idul fitri_2Secara bahasa Idul Fitri terbentuk dari dua kata; ‘id dan al-fithr. ‘Id sendiri asal artinya adalah “perayaan”, walaupun banyak juga yang mengartikan “kembali”. Pengertian terakhir ini umumnya merujuk kepada keterangan yang menyatakan bahwa kata ‘id berasal dari kata ‘aud yang terlebih dulu digantikan huruf wawu-nya dengan huruf ya’. Sedangkang al-fithr asalnya berarti “berbuka”, tapi oleh banyak kalangan sering diartikan dengan “kesucian” atau “asal kejadian”.


Perbedaan dalam memahami arti harfiyah ini tentu saja membawa pengertian yang berbeda satu sama lain. Jika Idul Fitri dimaknai sebagai “perayaan berbuka makan dan minum” maka pengertiaannya adalah 1 Syawal merupakan hari merayakan diperbolehkan kembali makan dan minum, yang sebelumnya selama sebulan peluh tidak diperkenankan di siang harinya. Namun jika Idul Fitri dimaknai sebagai “kembali suci” maka pengertiannya adalah terhitung sejak 1 Syawal orang Islam yang berpuasa bersih dari segala dosa dan alpa.


Pengertian pertama agaknya lebih berdasar, sebab dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan, bahwa Rasulullah SAW telah melarang (umatnya) berpuasa pada dua hari, yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha. Larang berpuasa pada hari Idul Fitri dan Idul Adha serta hari Tasyriq disebabkan hari-hari itu merupakan hari raya. Perayaan hari besar Islam, seperti dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Anas, dimulai ketika Rasulullah telah berhijrah di Madinah dan mendapati golongan Anshar sedang asyik merayakan sesuatu selama dua hari.


Rasulullah SAW bertanya kepada penduduk asli Madinah itu: “Dua hari, apa ini?” Merekapun menjawab: “Dua hari ini sejak dari zaman jahiliyah telah kami peringati sebagai hari raya.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari itu dengan (hari raya) yang lebih baik untuk kalian. Yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri.”


Dengan pendekatan hadits ini, ulama besar asal Mesir, Mahmud Syaltut dalam kitab “Min Taujihat al-Islam” menjelaskan bahwa penetapan dua hari raya Islam (Idul Adha dan Idul Fitri) merupakan bentuk akomoditas Islam terhadap warisan budaya masa lalu. Bagaimanapun ritual perayaan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia sebab bersifat esensial (thabi’iyat). Karenanya semua peradaban manusia di muka bumi ini pasti mengenal ritual perayaan di hari-hari khusus mereka. Hanya saja dalam melakukan perayaan umumnya manusia bertindak sangat berlebihan.


Untuk itulah...
idul fitri 6Untuk itulah Islam hadir mengenalkan model perayaan yang lebih bermakna dengan nilai-nilai spiritual dan humanis dalam bentuk perayaan Idul Adha dan Idul Fitri yang dijatuhkan setelah umat Islam melakukan rangkaian ibadah haji dan puasa. Namun begitu, Islam juga tidak sepenuhnya mengahapus sisi-sisi perayaannya. Hal ini terbukti dengan penamaan kedua hari raya Islam itu; Idul Fitri yang identik dengan ‘id al-ka’k wa al-hulw (perayaan makan kue dan manisan) dan Idul Adha yang identik dengan ‘id al-lahm wa al-maraq (perayaan makan daging dan kuah).

Bahkan dalam salah satu riwayat Aisyah disebutkan, bahwa pada suatu hari raya Abu Bakar berkunjung ke kediaman Rasulullah dan mendapati putrinya (Aisyah) ditemani oleh dua orang wanita yang bernyanyi layaknya dilakukan masyarakat Madinah ketika memperingati yaum ba’ats (hari kebangkitan).


Melihat sesuatu yang ganjil itu, Abu Bakar berteriak: “Menyingkirlah dari rumah Rasulullah, wahai pemimpin syetan!” Mendengar teriakan mertuanya itu, Rasulullah SAW menegurnya: “Wahai Abu Bakar! Setiap kaum memiliki perayaan, dan sekarang ini adalah hari raya kita, agar orang-orang Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada waktu rehat (fushat), dan aku sesungguhnya diutus membawakan agama yang toleran.”


Meski demikian kesenangan dan kegembiraan dalam merayakan Idul Fitri jangan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Rasulullah SAW telah bersabda; “ jangan ada di hari Idul Fitri orang yang tidak tercukupi kebutuhan makannya.” Ini artinya meski Islam memberi toleransi kepada umatnya untuk bergembira dan bersenang-senang di hari Idul Fitri, namun jangan ada diantara mereka, seperti sahabat, kerabat, dan tetangga yang tidak turut bergembira di hari itu. Inilah letak perbedaan perayaan hari besar Islam dengan perayaan lainnya.


Idul Fitri adalah hari pertama setiap insan beriman merasakan dua kebahagiaan sekaligus. Kebahagiaan pertama berupa rasa bahagia mampu menjalani kewajiban puasa, dan kebahagiaan kedua berupa rasa bahagia sebab yakin medapatkan balasan yang baik dari Allah SWT. Dua kebahagiaan ini tercermin dalam hadits Rasulullah SAW; “Ada dua kebahagiaan tersendiri bagi orang-orang yang berpuasa, yaitu; bahagia ketika telah berbuka puasa dan bahagia ketika bertemu dengan Tuhannya.” (HR. Bukhari)


Memaknai


idul fitri
Memaknai Idul Fitri


Idul Fitri juga merupakan hari pertama kembalinya kebebasan manusia (hurriyah syakhshiyah) untuk merasakan makan dan minum. Mereka memperoleh kembali hak kebebasan setelah sebulan lamanya diserahkan kepada Dzat yang memberi penghidupan manusia, sebagai bentuk ketaatan mereka. Karena itulah Mahmud Syaltut menyebut Idul Fitri sebagai nikmat kemerdekaan dan kebebasan (ni’mat hurriyah). Sebagai suatu nikmat, kemerdekaan adalah tujuan agung yang tidak bisa digadaikan dengan suatu apapun, terkecuali untuk tujuan yang mulai juga, yakni mencari ridha Allah SWT.


Mengingat Idul Fitri sama artinya dengan nikmat kemerdekaan, maka hendaknya ia dijadikan sebagai dasar untuk membangun tatanan hidup manusia yang bersatu dan damai, tatanan negara yang kokoh berdaulat, serta tatanan budaya dan peradaban yang bermartabat. Ibarat sekelompok orang yang bepergian jauh dan kelelahan sehingga mereka berteduh mengumpulkan tenaga dan menyiapkan bekal di “bulan Ramadhan”, sudah saatnya seusai rehat mereka bangkit kembali bahu-membahu meneruskan perjalanan agar sampai ke tempat tujuan.


Kebebasan manusia yang dicapai tepat pada 1 Syawal mengajarkan kita tentang pengamalan nilai-nilai kemanusian universal. Tentu saja makna dan pengamalan nilai-nilainya tidak hanya terbatas pada persamaan nilai kemanusiaan. Lebih dari itu ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Ia bermula dari kesadaran akan fitrah (jati diri)-nya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.


Kemanusiaan mengantarkan putra-putri Adam untuk menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarkannya untuk menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi-dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarkannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.


Betul, bahwa pemahaman semacam ini akan sulit diterapkan dalam tempo dua puluh empat jam di hari Idul Fitri. Makanya Mahmud Syaltut memberi catatan, bahwa Idul Fitri hanyalah pijakan awal memulai membangun (yaum al-bina’). Selebihnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai kemanusiaan itu harus diusahakan untuk dipupuk dan dilestarikan sehingga betul-betul menjelma secara sempurna pada perayaan Idul Adha (yaum al-ikmal wa al-itmam).


Hal ini juga yang dilakukan Rasulullah SAW, hingga akhirnya misi kemanusiaan itu betul-betul terwujud pada bulan Dzul Hijjah saat beliau beserta para sahabatnya melaksanakan haji Wada’. Hal ini tercermin dari ayat al-Qur’an yang menyatakan; “Hari ini telah Aku sempurnakan agamu dan telah Aku lengkapi nikmatmu dan Aku rela Islam menjadi agamamu.” (QS. Al-Maidah : 4).


Dengan demikian, alangkah indahnya jika silaturrahim dan semangat berbagi antar sesama tidak hanya terputus pada saat Idul Fitri saja. Namun lebih dari itu, pemanusiaan manusia yang melatarbelakangi semangat pembebasan sebagaimana terkandung dalam perayaan Idul Fitri semestinya harus digelorakan, dipupuk dan dipertahankan pada bulan-bulan berikutnya. Pada akhirnya, marilah Idul Fitri ini kita jadikan momentum untuk mempererat tali persaudaraan anak bangsa guna mewujudkan kemerdekaan yang betul-betul merdeka. Semoga Allah SWT meridhai niat tulus kita. [M. Ishom El-Saha, Alumnus PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta / @viva_tnu, ed.]

No comments:

Post a Comment