Monday, February 29, 2016

Belajar dari Moderatisme Pesantren

[caption id="attachment_480" align="alignleft" width="250"]Khamami Zada Khamami Zada[/caption]

Potret pesantren di Indonesia sejak dekade terakhir menampilkan coraknya yang lebih beragam. Fenomena ini tentu saja seiring dengan potret gerakan Islam di Indonesia mutakhir yang sangat kaya dengan polarisasi. Sejak dahulu, Islam sudah menunjukkan wajahnya yang beraneka ragam. Jika ditarik dari label yang inheren di dalam komunitas Islam, banyak sekali memunculkan nama/label. Ada Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam abangan, Islam puritan, Islam skripturalis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrem, Islam militan, dan lain sebagainya. Kentalnya polarisasi ini menunjukkan semakin berkembangnya gerakan Islam di Indonesia.


Hal ini tentu saja membenarkan polarisasi yang pernah dibuat oleh Martin Van Bruinessen (1995) bahwa pesantren sebagai institusi keagamaan yang memiliki “great tradition” (tradisi agung) untuk mentransmisikan Islam di Indonesia mengalami polarisasi ke dalam pola tradisional, modernis, reformis dan fundamentalis mengikuti aliran-aliran Islam yang berkembang. Karena itulah, pesantren sudah bukan lagi menjadi karakter khas kelompok tradisional yang selama ini memiliki jaringan pesantren terbesar di wilayah Nusantara. Kini, pesantren sudah dimiliki oleh setiap aliran keagamaan (Islam) di Indonesia, baik yang tradisional, modernis, dan bahkan yang berhaluan radikal.



Radikalisme Pesantren


Sejak terungkapnya para pelaku aksi pengeboman Bali yang melibatkan alumni santri pesantren tuduhan radikalisme pesantren mulai marak. Pesantren dituduh sebagai sarang teroris. Padahal, para pelaku bom Bali hanyalah sebagian kecil dari polarisasi pesantren seperti yang telah digambarkan Martin van Bruinessen; modernis-fundamentalis. Tentu saja bukan mereprsentasikan pesantren secara keseluruhan. Hal ini hanyalah deviasi yang terjadi di pesantren.


Fenomena radikalisme pesantren sesungguhnya sesuatu yang aneh, dan baru belakangan ini terjadi. Pesantren sebagai institusi keagamaan sebenarnya tidak didirikan untuk melahirkan radikalisme. Pesantren bertugas untuk mencetak kader-kader ulama yang berpengetahuan luas. Karena itu, pesantren mengajarkan semua hal yang ada di dalam agama; dari tauhid, syariat, hingga akhlak. Kesemuanya ini bertujuan agar selepas dari pesantren kelak, para santri dapat melakukan dakwah agama ke tengah-tengah masyarakat secara mumpuni.


Namun demikian, seiring dengan beragamnya corak pesantren di wilayah Nusantara; dari yang namanya pesantren Salaf/tradisonal; pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, khususnya Islam klasik, sampai kemudian dimarakkan dengan pesantren Khalaf/modern, yang sudah mengajarkan mata pelajaran umum, wajah pesantren perlahan-lahan berubah. Pesantren tidak lagi menjadi agen perubahan sosial dengan kemampuannya beradaptasi dengan tradisi lokal, melainkan melakukan purifikasi yang luar biasa. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti di Lamongan dan Ngruki, pesantren justru memproduksi proses radikalisasi secara doktrinal. Inilah yang kemudian ikut mempersubur gejala radikalisme di kalangan pesantren.


Di sinilah radikalisme pesantren harus dimaknai sebagai gugatan terhadap wajah pesantren pada umumnya yang telah mengajarkan agama tidak seperti yang diajarkan Rasulullah Saw di masa-masa awal Islam. Gugatan demi gugatan dilakukan dengan melakukan purifikasi ajaran dan praktek keagamaan yang dianggap sinkretik secara besar-besaran. Dalam hal ini, mereka menginginkan agar semua pesantren tidak begitu saja menyesuaikan dengan tradisi lokal yang berbau bid'ah. Pada tahap selanjutnya, terjadilah radikalisme dalam wilayah doktrinal dan praktek keagamaannya.


Ada dua hal yang menyebabkan proses radikalisasi di pesantren. Pertama, jaringan intelektual yang dilakukan pesantren modern berasal dari kawasan Timur Tengah yang berwatak keras, militan dan radikal, terutama ajaran Wahabisme yang dibawa secara literal ke wilayah Nusantara. Purifikasi adalah produk nyata dari jaringan intelektual Wahabisme dalam bentuk pemberantasan takhayul, bid'ah, dan khurafat. Dalam proses selanjutnya, jaringan intelektual ini meluas, tidak saja berpatokan pada mazhab Wahabisme, tetapi juga mengambil ideologi radikal sejumlah intelektual; seperti Hasan al-Bana, Al-Maududi, Sayyid Qutb, Hasan Turabi, dll. Itu sebabnya, psikologi radikalisme yang bergolak di Timur Tengah benar-benar dipraktikkan di tanah air sebagai perjuangan luhur agama.


Kedua, pengajaran agama yang ekslusif dan dogmatik telah melahirkan sikap permusuhan dengan kelompok di luarnya. Istilah Zionis-Kafir seakan menjelma menjadi kesadaran keagamaan untuk melawannya dalam bentuk apa pun. Ditambah lagi dengan ideologi jihad yang dipahami sebagai perang melawan kaum Zionis-Kafir, telah menambah deretan sikap radikal. Sehingga aksi kekerasan apapun yang dilakukan umat untuk menghancurkan Zionis-Kafir, yang mereka sebut sebagai musuh-musuh Islam, adalah perjuangan agama yang paling luhur (syahid). Pada dasarnya, pengajaran seperti ini tidak murni sebagai kesadaran otentik masyarakat Islam Nusantara, melainkan pengaruh dari jaringan intelektual dan ideologis yang dibawa dari Timur Tengah.



Moderatisme Pesantren


Karakter otentik pesantren dari zaman awal berdirinya pesantren sesungguhnya menampilkan wajahnya yang toleran dan damai. Di pelosok-pelosok pedesaan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, banyak ditemukan performance pesantren yang berhasil melakukan dialog dengan budaya masyarakat setempat. Pesantren-pesantren yang ada di Jawa, terutama yang bermazhab Syafi'i dan memiliki hubungan dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) menampilkan sikap akomodasi yang seimbang dengan budaya setempat. Sehingga pesantren mengalami pembauran dengan masyarakat secara baik. Keberhasilan pesantren seperti ini kemudian menjadi model keberagamaan yang toleran di kalangan umat Islam pada umumnya. Tak heran, jika karakter Islam di Indonesia seringkali dipersepsikan sebagai Muslim yang ramah dan damai. Karena itu, hampir tidak pernah terjadi proses radikalisasi di kalangan santri atas nama doktrin agama dalam bentuk aksi kekerasan.


Fakta menunjukkan bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara. Sesungguhnya upaya islamisasi yang telah ditempuh oleh peran walisongo merupakan ekspresi Islam kultural. Proses ini telah membutuhkan rentang waktu yang demikian panjang secara gradual dan berhasil mewujud dalam satu tatanan kehidupan masyarakat santri yang saling damai berdampingan, peaceful coexistence (Abdurrahman Mas’ud, 2004).


Dalam konteks inilah, pesantren mesti melakukan introspeksi terhadap ajaran dasarnya agar tidak terlalu literal dan kaku dalam merespon perubahan zaman. Bukankah radikalisme pesantren justru menambah citra negatif masyarakat Muslim di tanah air? Dengan demikian, pesantren mesti dikembalikan ke dalam format awalnya sebagai pusat pendidikan agama yang mampu melakukan adaptasi dengan kebudayaan masyarakat setempat secara baik, tanpa harus saling menafikan. Dalam konteks selanjutnya, pesantren diharapkan dapat mencetak kader-kader muda beragama yang tidak bersikap apatis terhadap zaman, melainkan memunculkan optimisme terhadap masa depan kehidupan umat manusia yang mencerminkan toleransi dan perdamaian. Tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Siddiq, KH Sahal Mahfudh adalah tokoh-tokoh pesantren dari generasi awal hingga sekarang yang tidak mengalami radikalisasi, tetapi justru menunjukkan sikap akomodasi dalam setiap perubahan zaman sehingga memunculkan karakter yang toleran dan damai. (*)


Khamami Zada (Alumni PP. Nurul Ummah Yogyakarta. Pengajar di UIN Syarif Hidayatullah dan sedang menempuh studi di University of Perpignan Prancis)

No comments:

Post a Comment