[caption id="attachment_327" align="aligncenter" width="628"]
Dengan gembira ia mendekati temannya itu dan menyapanya. Sebutlah namanya Rusydi. Namun, dengan wajah gugup dan sikap panik, Rusydi tampak tidak pede menemui Saifuddin.
“Apa kabar?” Tanya Saifuddin.
“Kabarku baik. Kamu bisa lihat sendiri, aku sekarang menjadi pelayan hotel,” jawab Rusydi dengan suara rendah.
“Tidak masalah kawan, yang penting halal,” timpal Saefuddin.
Tetapi mendengar perkataan Saefuddin, Rusydi tampak agak kurang senang.
“Kalau aku tahu cuma bakal menjadi pelayan hotel, mengapa dulu aku belajar di pesantren,” katanya menyesali.
“Mengapa begitu?” tukas Saefuddin tidak setuju. “Pelayan hotel pun pekerjaan penting. Dan kau tentu bukan sembarang pelayan. Kau toh bisa jadi kiai-nya para pelayan hotel.”
Rusydi mengakui kebenaran perkataan Saefuddin. Memang, faktanya ia tidak sekedar pelayan di hotel itu.
“Kamu benar, Saefuddin. Aku memang diserahi tugas pemeliharaan rohani di kalangan karyawan hotel. Jadi kiai buat mereka,” jawab Rusydi senang.
Memang, tidak ada ruginya belajar di pesantren. Kalau ia kelak menjadi tukang sayur, biarlah jadi kiainya tukang sayur. Kalau ia kelak menjadi supir, biarlah ia menjadi kiainya supir-supir. Jika kelak ia jadi direktur atau jenderal sekalipun, ia toh akan menyesuaikan dirinya sebagai kiainya para direktur dan kiainya jenderal-jenderal. Jelas, taka da ruginya mengecap pendidikan dalam pesantren.
No comments:
Post a Comment