Perempuan kelahiran 4 Oktober 1988 ini termasuk orang yang percaya bahwa keterbatasan ekonomi bukan kendala serius. Selama ada kemauan, pasti ada jalan. Jargon populer ini juga sanggup ia buktikan. Tanpa aksi nekad dan kepasrahan yang tinggi, mungkin ia tak akan pernah belajar di madrasah terpandang, merasakan studi di fakultas kedokteran, hingga menjadi dokter relawan di daerah-daerah pelosok dan terpinggirkan.
Semua ia mulai dari madrasah. Nia yakin, melalui lembaga pendidikan Islam basis keilmuannya akan terbina dengan baik, secara intelektual dan terutama spiritual. Nia pun tak asal pilih madrasah. Jatuh cintanya tertuju pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong, Tangerang Selatan, Banten, salah satu madarah favorit binaan Kementerian Agama. Lagi pula, rumah Nia hanya sekitar 500 meter dari madrasah tersebut.
Bercita-cita Jadi Dokter
Sejak SD Nia selalu bercita-cita ingin menjadi dokter. Alasannya sederhana: dengan menjadi dokter ia dapat membantu orang sakit dan menolong orang susah. Nia Nuraeni ingin menjadi orang yang berguna untuk keluarga, agama, dan negara. Jiwa sosial ini terus terpupuk hingga ia menempuh pendidikan di jenjang aliyah.
Cita-citanya semakin bulat ketika di madrasah aliyah Nia mendapatkan hal menarik dari forum “Career Day”, semacam seminar seputar karir di masa depan yang diadakan IC. Di acara yang diperuntukkan bagi kelas 3 aliyah tersebut, Nia bertemu dengan dr. Jose Rizal Sp.Ot, pendiri MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), sebagai tamu undangan. Jose menceritakan pengalamannya sebagai dokter di daerah-daerah konflik seperti Afganistan dan Maluku. Dari cerita tersebut, obsesinya menjadi dokter kian tak terbendung. Kehendak kuat untuk menjadi tenaga kesehatan terus ia bawa hingga lulus dari IC tahun 2005.
Begitu lulus pada 2005, ia langsung mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Lampung (Unila). Lagi-lagi, kendala ekonomi membayangi langkahnya. Jika untuk mendaftar di madrasah aliyah saja ia sempat dibuat akan mundur, bagaimana ia akan menempuh pendidikan tinggi dengan jurusan yang terkenal super mahal itu? “Membayangkan ayah saya gajinya keci begitu, saya rasa tidak mungkin kuliah di kedokteran. Tapi Alhamdulillah, dengan tekad kuat, akhirnya Allah memberi jalan.”
Agustus 2005 pengumuman hasil ujian SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pun keluar. Nama Nia Nuraeni tercatat dan lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Kerja kerasnya menyiasati keterbatasan ekonomi terus ia lakukan. Biaya kuliah kedokteran terlalu besar untuk disikapi bersantai ria. Nia bukan anak pejabat negara ataupun pengusaha. Dalam perjalanan, ia bahkan mesti harus meminjam uang kepada orang lain untuk keluar dari kebuntuan ekonomi tersebut. Ia beruntung banyak kawan dan dosen yang mau membantunya.
Lolosnya Nia dalam program pemuda beprestasi di kampus juga membuat ongkos kuliahnya terasa ringan. Hingga enam tahun kuliah kedokteran di Unila, ia tinggal menambal biaya kebutuhan hidup sehari-hari. Nia pun akhirnya bekerja paruh waktu yang ia jalani tiap selesai kuliah sebagai guru privat anak autis dan asisten dokter di sebuah klinik. Nia sadar, tidak mungkin dia hidup bergaya hedonis seperti sebagian mahasiswa kaya. Ia harus menjalani hari-harinya sebagai pelajar dan pekerja, berbeda dari sejumlah teman-temannya yang kebanyakan anak walikota, bupati, pengusaha, atau lainnya.
Meski berpayah-payah, semua berjalan sesuai rencana. Nia Nuraeni lulus bangku kuliah di Fakultas Kedokteran Unila tepat waktu pada tahun 2011. Sumpah dokter dan ujian kompetensi dokter ia lalui dengan mulus. Sebagai dokter umum ia lantas membantu sang ayah menjadi tulang punggung keluarga, termasuk menyekolahkan adik-adiknya. Ia terlibat dalam banyak aktivitas kesehatan, baik yang bersifat profit maupun relawan. “Selain pengalaman yang saya cari, jujur saya juga mencari uang untuk membayar utang biaya wisuda,” ungkapnya.
Nia mengaku bergabung di MER-C pada 2012 untuk mendapatkan program PTT (pegawai tidak tetap) di Papua. Selama dua tahun di sana, Nia berhadapan dengan banyak pengalaman unik, dari perbedaan kultur hingga pola hidup yang mudah terjangkit penyakit semacam HIV/AID dan Malaria. Menurutnya, masyarakat Papua masih kekurangan dari segi ekonomi, kebersihan, pendidikan, bahkan kesulitan dalam berbahasa, kendatipun di tempat tugasnya, kota emas, Timika. Ironi memang, di daerah yang terkenal dengan aktivitas penambangan emas PT Freeport itu masih banyak dijumpai masyarakat yang kekurangan gizi. Di sinilah, Nia harus menghadapi keluh kesah, serta mencarikan jalan keluar, bagi masyarakat Timika yang punya keterbatasan akses di banyak hal, termasuk informasi. “Bahkan mereka tidak mengetahui siapa Presiden Indonesia yang sedang menjabat. Masyarakat juga masih mudah terprovokasi dan memiliki budaya perang,” cerita Nia.
Bermanfaat Bagi Orang Lain
Ia mantap jadi tenaga medis di Papua meski sedang meninggalkan sang ibu yang tengah sakit. “Saya percaya, Allah menciptakan kita keluarga, Allah pasti pula akan menjaganya. Lagi pula apa yang saya lakukan adalah untuk tujuan manfaat bagi orang lain.”
Selain di Papua, Nia juga sempat bekerja secara sosial selama setahun di sebuah daerah sangat terpencil di Kalimantan Timur, sekitar 12 jam perjalanan bila ditempuh dari ibu kota Kaltim, Samarinda, atau 6 jam dengan perjalanan darat dari Kota Sangata, Kalimantan Timur.
Di tempat barunya ini ia juga menemukan pelajaran tak kalah seru. Di wilayah dengan akses transpotasi yang terbatas dan minus sinyal komunikasi tersebut, Nia mesti berhadapan dengan orang-orang adat yang kepercayaan mistisnya sangat kuat. Di sini ia merasa tertantang secara akidah, dan Insan Cendekia menurutnya sudah memberi bekal untuk itu.
Di Kaltim, Nia menangani empat klinik dan hampir 4.000 karyawan beserta keluarga. Dengan sedikit sarana serta jarak tempuh ke kota yang jauh, ia juga harus belajar menjadi dokter yang berani mengambil resiko dan melakukan yang terbaik buat pasien dan karyawan. Pasien yang melahirkan di ambulance saat perjalanan menuju rumah sakit, atau menangani pasien-pasien histeria karena daerah Kalimantan yang masih didominasi hutan dan budaya mistisnya. Bahkan pernah ia mendapati pasien histeris seperti sedang kesurupan dan tidak bisa ditangani secara medis. Nia pun mencoba meruqyah dengan mebacakan ayat suci al-Qur’an. “Alhamdulillah yang semula mengamuk pasien akhirnya sadar dan sembuh.”
Dari semua pengalaman itu, Nia lalu mengajak teman-teman sesama dokter satu angkatan di Insan Cendekia untuk membuat klinik sosial bagi masyarakat di lingkungan sekitar Serpong. Tahun 2014, ia dan rekan-rekannya berhasil mendirikan klinik bersama FN (Felzhiro Nexard). FN bekerja secara swadaya dan lebih banyak memberi keringanan bagi masyarakat tak mampu yang berobat. Sejumlah pengobatan berbayar, sebagian lain gratis bagi kalangan miskin. Program sunatan gratis massal juga menjadi program sosial dari klinik rintisan ini. (Khoirul Anam)
No comments:
Post a Comment