Monday, February 29, 2016

Alhamdulilah, 2016 UIN Maliki Malang Buka Fakultas Kedokteran

[caption id="attachment_489" align="alignleft" width="250"]UIN Maliki Malang UIN Maliki Malang[/caption]

Untuk tahun pertama tahun 2016 ini, UIN Maliki hanya akan menerima 40 mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK). “Mereka itu harus benar-benar cerdas, pintar, dan berkualitas,” kata Rektor UIN Maliki, Mudjia Raharjo beberapa waktu lalu.


Sebagaimana diketahui, sebenarnya pembukaan FK ini adalah tahun lalu, 2015, namun dikarenakan ada kendal teknis, maka baru sekarang bisa menerima mahasiswa baru.


“Sebenarnya, Fakultas Kedokteran akan dibuka pada tahun lalu, 2015. Namun, karena ada aturan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) bahwa setiap kampus yang memiliki FK harus mempunyai rumah sakit, pembukaan FK tersebut diurungkan,” ucap guru besar yang masih aktif ngaji ihya ulumuddin di KH. Tolchah Hasan ini.


Setelah ada kebijakan baru, lanjut Mudjia, bahwa tidak harus memiliki rumah sakit sendiri, tetapi menggandeng rumah sakit (RS), kerjasama dengan rumah sakit milik TNI pun dilakukan. Kerjasama itu di bidang penyediaan fasilitas bagi mahasiswa kedokteran, tempat praktik, dan para dokter yang bisa mengajar di FK UIN Maliki.


“RS Soepraoen bertipe B dan belum bekerja sama dengan perguruan tinggi lain. Maksimal satu rumah sakit ada dua kerjasama dengan kampus, jadi kami pilih Soepraoen karena faktor itu," ucap mantan santri kalong di Pondok Mangunsari (Tulungagung) dan Pondok Miftahul Huda (Malang) ini.


Kerja sama dengan rumah sakit milik TNI itu, kata Mudjia, di antaranya di bidang penyediaan fasilitas bagi mahasiswa kedokteran, tempat praktik serta dokter-dokter di RS Soepraoen bisa mengajar di FK UIN Maliki. Dan, lima tahun ke depan, diharapkan FK UIN Maliki sudah memiliki peralatan sendiri, termasuk fasilitas laboratorium yang lengkap.


"Ditargetkan tahun 2020 itu UIN sudah memiliki RS sendiri," tegasnya.


Sedangkan untuk raung perkuliahan, sudah di siapkan gedung di Kecamatan Junrejo, Kota Batu Malang. (viva-berbagai sumber)

Bagaimana Studi S2 dan S3 di Jerman?

Oleh Syafiq Hasyim
--Banyak anak Indonesia yang ingin melanjutkan jenjang perguruan tinggi di Jerman, baik untuk S1, S2 dan S3. Secara pribadi saya menganjurkan sebaiknya sekolah di Jerman untuk jenjang S2 dan S3. Mengapa, karena jenjang S1 terlalu berat dan pada kenyataannya, menurut informasi tidak resmi yang saya terima, kegagalan mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan S1 di Jerman relatif cukup tinggi yaitu lebih 50 persen. Setiap tahun ada sekitar 700-an anak Indonesia yang melanjutkan S1 namun sekitar 350 sampai 400 yang dipulangkan kembali ke Indonesia karena gagal, baik gagal mendapatkan universitas maupun gagal di tengah studi mereka. Meskipun kegagalannya sangat tinggi, minat untuk jenjang S1 yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena sekolah di Jerman gratis dan juga iming-iming lembaga jasa pengiriman sekolah yang seringkali terlalu manis di depan dan pahit setelah sampai di Jerman.


***


Kali ini saya ingin menuliskan soal S2 dan S3 saja. Saya mulai tulisan ini dari jenjang doktor (S3). Bagi mereka yang berminat untuk melanjutkan studi doktor di Jerman harus menamatkan dulu jenjang strata 2 terutama yang menulis tesis. Jika lulus S2 tanpa tesis, maka nanti akan menimbulkan persoalan sendiri bagi calon S3 tersebut karena pihak universitas dimana mereka akan diterima untuk jenjang S3 tersebut akan mensyaratkan S2 dengan tesis. Indek Prestrasi Komulatif (IPK) harus bagus, namun demikian, ada saja profesor yang lebih mengutamakan pada riset proposal sang calon doktor tersebut. Meskipun demikian, bukan berarti kita menganggap remeh soal IPK, namun IPK bagus tidak menjadi jaminan. Yang terbaik adalah baik IPK maupun proposal studi sama-sama bagus.


Selain itu, tentu saja calon mahasiswa S3 harus mempersiapkan kecakapan berbahasa. Ada 2 bahasa yang umumnya biasa dipakai di dunia akademik Jerman untuk studi doktoral yaitu bahasa Inggris dan Jerman. Kenapa saya tulis pada umumnya, karena di beberapa universitas di Jerman, seseorang bisa menulis di luar 2 bahasa tersebut –Arab dan Prancis- dengan catatan pembimbing (supervisor) yang ada pada universitas tersebut menguasai bahasa si kandidat doktor tersebut.


Apapun jenus pilihan bahasanya levelnya harus tinggi. Sekarang hampir rata-rata universitas di Jerman menerapkan score 600 untuk TOEFL dan 7 untuk IELTS bagi mereka yang ingin menempuh studi tingkat doktoral. Lebih tinggi lebih baik. Bagi mereka yang dulunya mengambil S2 di negara yang berbahasa Inggris atau di kampus yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar studinya ketika di tingkat S2, maka persyaratan TOEFL atau IELTS bisa ditangguhkan. Untuk bahasa Jerman, mereka juga harus memiliki sertifikat kefasihan (proficiency) bahasa Jerman yang memadai untuk menulis disertasi S3. Mereka harus mendapat sertifikat Test Deutsch als Fremdsprache, ujian bahasa Jerman standar untuk non-Jerman. Test DAF ini bisa diambil di sekitar 95 negara, termasuk di Indonesia.


Persoalan yang sering muncul adalah apakah proficiency bahasa asing tersebut sebagai segala-galanya untuk diterima di bangkau S3? Bagaimana jika ide riset kita bagus, tapi bahasa asing kita kurang. Perlu diketahui bahwa seorang profesor yang berminat atas riset kita, bisa saja menerima mereka yang ide risetnya menarik, namun masih kurang dalam persyaratan bahasa. Itu semua bisa terjadi dan tapi ini sangat jarang. Kenapa jarang? Karena si profesor tidak mungkin menolong terus menerus mahasiswanya. Penguasaan bahasa tidak hanya berguna bagi penulisan disertasi tapi juga sosialisasi riset kita. Si profesor yang mau menerima mahasiswa yang kurang syarat bahasanya biasanya berasumsi jika nanti si kandidat doktor bisa diperbaiki bahasa Inggris atau Jerman selama proses belajar dan menulis disertasi.


Lalu dimana letak peran Admission Office (kantor penerima) di sini? Untuk mahasiswa S3, Admission Office sangat mendengarkan apa yang direkomendasikan oleh sang profesor. Di Jerman, profesor memiliki posisi penting dalam menerima atau menolak kandidat doktor. Admission Office biasanya meneliti persyaratan yang bersifat administratif dan prosedural, misalnya kelengkapan dokumen-dokumen yang dibutuhkan oleh universitas untuk jenjang doktoral. Dalam bidang life sciences dan natural sciences, peran menentukan si profesor lebih terlihat karena biasanya mereka akan merekrut mahasiswa doktoral yang dekat dengan riset yang sedang mereka kerjakan. Di Jerman, mahasiswa S3 pada dasarnya adalah asisten riset profesor mereka.


Apakah semua mahasiswa S3 akan melakukan proses yang sama? Perlu diketahui bahwa jenjang doktoral ini (promotion, dalam sebutan Jerman) bisa ditempuh lewat dua jalur. Pertama, studi doktoral yang bersifat individual dan kedua studi doktoral yang terstruktur. Mayoritas mereka yang mengambil doktoral di Jerman adalah menempuh jalur ini, tak terkecuali kebanyakan mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa dari DAAD (Der Deutsche Akademische Austauschdienst). Mereka yang memilih jalan ini harus mencari supervisor atau investigator yang bergelar profesor universitas. Perlu saya ingatkan jika tidak semua mereka yang bergelar profesor akan bisa menjadi pembimbing, hanya mereka yang bergelar profesor universitaslah yang diizinkan merekrut mahasiswa. Lama studi doktoral model ini tergantung dengan kontrak mereka dengan profesor, tapi biasanya berkisar 3 sampai 5 tahun. Kelebihan “individual doctoral studies” adalah mereka bisa mengerjakan doktoralnya pada universitas, pada kantor riset dan pada sektor industri.


Mereka yang menempuh cara kedua –sistem terstruktur— akan mengambil kelas yang terstruktur. Cara ini diadopsi dari model Anglo Saxon sebagai konsekwensi dari Bologna Agreement yang ditandatangani 29 negara di Eropa tahun 1999 tentang pendidikan tinggi di Universitas Bologna, Italia. Salah satu kandungan Bologna Agreement adalah model penjenjangan pendidikan tinggi menjadi S1, S2 dan S3. Mereka ini biasanya bergabung di Graduate School dan dibimbing oleh sekumpulan profesor yang membentuk tim. Karakter umum dari Graduate School adalah kurikulum yang sudah ditentukan atau didiskusikan dengan mahasiswa dan pendekatannya yang interdisipliner dan multidisipliner (lihat: https://www.daad.de/deutschland/promotion/doktoranden/en/14754-two-ways-to-do-your-phd/) Di sini biasanya, rektrutmen mahasiswa doktoral ditentukan oleh tim profesor dari Graduate School tersebut.


Meskipun profesor memiliki pengaruh yang kuat dalam proses admission, namun ada kasus juga dimana seorang profesor sudah setuju menerima, namun universitas menolak dengan alasan tertentu, biasanya adalah alasan nomenklatur. Sebagai misal, mereka yang bergelar S2 dalam bidang pertanian, sangat sulit untuk diterima untuk belajar di bidang sosiologi di Jerman meskipun profesor menyepakatinya.


Bagaimana supaya studi doktoral kita dibiayai? Banyak lembaga-lembaga Jerman yang memberikan beasiswa pada studi S3 dan semua informasi ini bisa didapatkan dari DAAD, DFG, BMBF dan masih banyak lagi. Di samping lembaga Jerman, pemerintah Indonesia kini, lewat Dikti dan LPDP juga menyediakan beasiswa. Jadi, sekarang kemungkinan mendapat kesempatan belajar di Jerman lebih terbuka dibandingkan keadaan sepuluh tahun lalu.


Jika anda punya semua persyaratan, maka mulailah mencari kesempatan dan juga berkorespondensi dengan profesor-profesor di Jerman yg sesuai dengan arah riset dan kajian anda. Jika sudah ketemu profesor yang cocok, nyatakan kepadanya anda ingin S3 dengannya dan minta dia mengeluarkan surat rekomendasi. Biasanya profesor akan bertanya soal beasiswa, selain soal topik penelitian. Katakan padanya, beasiswa akan dicari ke DAAD atau DIKTI. Ini terjadi untuk “individual doctoral studies.” Jika surat rekomendasi keluar, gunakan surat ini juga untuk mencari kemungkinan beasiswa dari sumber lain. Ada yang bilang, beasiswa yang sumber dari lembaga Jerman lebih keren dari pada beasiswa dari negara kita sendiri. Saya tidak sepenuhnya setuju anggapan itu, meskipun saya peraih beasiswa dari German Research Foundation, namun kelemahan utama beasiswa dari negara kita terutama Dikti (Kementerian Pendidikan Nasional) adalah tidak dimasukkannya komponen biaya keluarga (istri dan anak) ke dalamnya. Beasiswa dari Jerman pada umumnya memberikan tunjangan pada keluarga. Namun saya dengar sekarang pemerintah Indonesia juga mulai memikirkan untuk memberi tunjangan pada anak.


Apakah bisa pakai uang sendiri untuk PhD? Bisa sekali, untuk sekolah di Jerman, setelah kita mendapatkan admission letter kita harus punya uang ± 8.300 euro pertahun untuk disimpan di bank-bank Jerman. Bukti penyimpanan ini lalu dibawa ke kantor perwakilan Jerman (Kedutaan Jerman) di Indonesia sebagai salah satu syarat untuk mengajukan visa. Duit kita gunakan untuk hidup selama setahun dan itu cukup. Angka tersebut untuk biaya hidup satu orang saja. Pada dasarnya, sekolah pasca sarjana di Jerman hampir gratis. Kenapa saya katakan hampir, karena kita hanya berkewajiban membayar sekitar 70 Euro uang semester dan sekitar 200 Euro untuk tiket semester per 6 bulan.


***


Sekarang saya akan sedikit singgung soal program S2. Langkah pertama, persiapkan segala persyaratan akademik untuk mendapatkan surat penerimaan. Pilihan studi untuk S2 juga sudah banyak yang menggunakan bahasa Inggris, namun lebih banyak lagi yang menggunakan bahasa Jerman. Ada dua jalan yang disediakan untuk menempuh jenjang S2 di Jerman; pertama, melalui sekolah kejuruan tinggi dan kedua, melalui universitas. S2 yang dilakukan di Sekolah Kejuruan (university of applied sciences) untuk mereka yang berorientasi pada dunia kerja. Sementara S2 di universitas untuk mereka yang berorientasi pada dunia akademik. Dulu lulusan S2 Sekolah Tinggi kejuruan tidak bisa melanjutkan S3, namun sekarang pintu terbuka bagi mereka dengan persyaratan tertentu. Jika anda sebagai dosen atau berencana menjadi dosen, sebaiknya ambil S2 di Universitas, supaya nanti lebih aman utk mengambil S3 nya.


Fenomena S2 sendiri adalah hal baru bagi sistem pendidikan Jerman, dulu S1 & S2 menyatu, lulusannya diberi gelar diplom, masa pendidikan juga lama dan ini merupakan konsekwensi dari Bologna Agreement di atas. Dalam perjanjian ini, sistem diplomsecara pelan-pelan dihapus, dan Jerman mengikuti kesepakatan tersebut dengan mengadakan sistem S2.


Jerman adalah negara raksasa pendidikan Eropa yang agak lambat menerima model ini, atau melakukannya secara selektif dan pelan. Saya tidak tahu alasannya apa, namun model penjejangan tersebut adalah benar-benar mengadopsi model Amerika. Apakah kesan "pelan" terkait dengan ini? Pada satu sisi model S2 adalah lebih irit, namun pada sisi lain, model ini dianggap kurang mendalam. Apapun kritiknya, nyatanya sekarang seluruh universitas di Jerman menyediakan jenjang S2. Semua pendidikan S2 dalam bahasa Jerman hampir gratis, namun ada yang bayar juga, jika kuliah diselenggarakan dalam bahasa Inggris.


Beda dengan S3 dimana seorang profesor (doktorvater) memiliki peran tinggi, S2 tidak demikian halnya. Bahkan surat rekomendasi dari profesor tidak selalu menjadi syarat. Untuk S2 yg dibiayai oleh DAAD mereka mendapat kursus bahasa Jerman lebih dahulu. Demikian halnya dengan S3.


Lalu sejak kapan kita resmi menjadi mahasiswa? Untuk tahu apakah seseorang sudah diterima S2 di Jerman itu bisa dibuktikan dengan adanya “immatrikulations-bescheinigung” (certificate for registration). S2 harus daftar di permulaan semester (winter & summer), namun S3 bisa mendaftar nanti di saat disertasi sudah selesai. Meskipun sudah mengikuti model S2 di Amerika, namun masa tempuh S2 di Jerman sangat lama, bisa saja 5-6 tahun, terutama yang memakai bahas Jerman. Ini tidak untuk menakuti-nakuti, tapi saya melihat banyak kenyataan seperti ini. Apabila S3 butuh derai airmata, S2 di Jerman butuh ketabahan.


***


Terakhir, bagaimana dengan keluarga kita? Jika ingin keluarganya ikut, tidak ada kesulitan sama sekali untuk peraih beasiswa Jerman. Ada sedikit upaya lebih untuk peraih beasiswa dalam negeri, tapi biasanya mereka bisa, meskipun melalui tahap sulit. Hukum Jerman menjamin penuh family reunion (penyatuan kembali keluarga) sebagai hak setiap orang. Atas dasar ini, jika persyaratan keuangan dipenuhi, kemungkinan besar visa untuk keluarga kita dikeluarkan dan berkumpullah kita dengan keluarga. Sekolah anak-anak kita gratis dan istri atau suami yang ikut serta bisa ikut kursus bahasa Jerman yang disediakan untuk para imigran. Semoga bermanfaat.


Syafiq Hasyim, Meraih gelar Dr Phil dari Berlin Graduate School Muslim Cultures and Societies, Freie Universitat (FU), Berlin atas biaya Germany Research Foundation.

Belajar dari Moderatisme Pesantren

[caption id="attachment_480" align="alignleft" width="250"]Khamami Zada Khamami Zada[/caption]

Potret pesantren di Indonesia sejak dekade terakhir menampilkan coraknya yang lebih beragam. Fenomena ini tentu saja seiring dengan potret gerakan Islam di Indonesia mutakhir yang sangat kaya dengan polarisasi. Sejak dahulu, Islam sudah menunjukkan wajahnya yang beraneka ragam. Jika ditarik dari label yang inheren di dalam komunitas Islam, banyak sekali memunculkan nama/label. Ada Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam abangan, Islam puritan, Islam skripturalis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrem, Islam militan, dan lain sebagainya. Kentalnya polarisasi ini menunjukkan semakin berkembangnya gerakan Islam di Indonesia.


Hal ini tentu saja membenarkan polarisasi yang pernah dibuat oleh Martin Van Bruinessen (1995) bahwa pesantren sebagai institusi keagamaan yang memiliki “great tradition” (tradisi agung) untuk mentransmisikan Islam di Indonesia mengalami polarisasi ke dalam pola tradisional, modernis, reformis dan fundamentalis mengikuti aliran-aliran Islam yang berkembang. Karena itulah, pesantren sudah bukan lagi menjadi karakter khas kelompok tradisional yang selama ini memiliki jaringan pesantren terbesar di wilayah Nusantara. Kini, pesantren sudah dimiliki oleh setiap aliran keagamaan (Islam) di Indonesia, baik yang tradisional, modernis, dan bahkan yang berhaluan radikal.



Radikalisme Pesantren


Sejak terungkapnya para pelaku aksi pengeboman Bali yang melibatkan alumni santri pesantren tuduhan radikalisme pesantren mulai marak. Pesantren dituduh sebagai sarang teroris. Padahal, para pelaku bom Bali hanyalah sebagian kecil dari polarisasi pesantren seperti yang telah digambarkan Martin van Bruinessen; modernis-fundamentalis. Tentu saja bukan mereprsentasikan pesantren secara keseluruhan. Hal ini hanyalah deviasi yang terjadi di pesantren.


Fenomena radikalisme pesantren sesungguhnya sesuatu yang aneh, dan baru belakangan ini terjadi. Pesantren sebagai institusi keagamaan sebenarnya tidak didirikan untuk melahirkan radikalisme. Pesantren bertugas untuk mencetak kader-kader ulama yang berpengetahuan luas. Karena itu, pesantren mengajarkan semua hal yang ada di dalam agama; dari tauhid, syariat, hingga akhlak. Kesemuanya ini bertujuan agar selepas dari pesantren kelak, para santri dapat melakukan dakwah agama ke tengah-tengah masyarakat secara mumpuni.


Namun demikian, seiring dengan beragamnya corak pesantren di wilayah Nusantara; dari yang namanya pesantren Salaf/tradisonal; pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, khususnya Islam klasik, sampai kemudian dimarakkan dengan pesantren Khalaf/modern, yang sudah mengajarkan mata pelajaran umum, wajah pesantren perlahan-lahan berubah. Pesantren tidak lagi menjadi agen perubahan sosial dengan kemampuannya beradaptasi dengan tradisi lokal, melainkan melakukan purifikasi yang luar biasa. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti di Lamongan dan Ngruki, pesantren justru memproduksi proses radikalisasi secara doktrinal. Inilah yang kemudian ikut mempersubur gejala radikalisme di kalangan pesantren.


Di sinilah radikalisme pesantren harus dimaknai sebagai gugatan terhadap wajah pesantren pada umumnya yang telah mengajarkan agama tidak seperti yang diajarkan Rasulullah Saw di masa-masa awal Islam. Gugatan demi gugatan dilakukan dengan melakukan purifikasi ajaran dan praktek keagamaan yang dianggap sinkretik secara besar-besaran. Dalam hal ini, mereka menginginkan agar semua pesantren tidak begitu saja menyesuaikan dengan tradisi lokal yang berbau bid'ah. Pada tahap selanjutnya, terjadilah radikalisme dalam wilayah doktrinal dan praktek keagamaannya.


Ada dua hal yang menyebabkan proses radikalisasi di pesantren. Pertama, jaringan intelektual yang dilakukan pesantren modern berasal dari kawasan Timur Tengah yang berwatak keras, militan dan radikal, terutama ajaran Wahabisme yang dibawa secara literal ke wilayah Nusantara. Purifikasi adalah produk nyata dari jaringan intelektual Wahabisme dalam bentuk pemberantasan takhayul, bid'ah, dan khurafat. Dalam proses selanjutnya, jaringan intelektual ini meluas, tidak saja berpatokan pada mazhab Wahabisme, tetapi juga mengambil ideologi radikal sejumlah intelektual; seperti Hasan al-Bana, Al-Maududi, Sayyid Qutb, Hasan Turabi, dll. Itu sebabnya, psikologi radikalisme yang bergolak di Timur Tengah benar-benar dipraktikkan di tanah air sebagai perjuangan luhur agama.


Kedua, pengajaran agama yang ekslusif dan dogmatik telah melahirkan sikap permusuhan dengan kelompok di luarnya. Istilah Zionis-Kafir seakan menjelma menjadi kesadaran keagamaan untuk melawannya dalam bentuk apa pun. Ditambah lagi dengan ideologi jihad yang dipahami sebagai perang melawan kaum Zionis-Kafir, telah menambah deretan sikap radikal. Sehingga aksi kekerasan apapun yang dilakukan umat untuk menghancurkan Zionis-Kafir, yang mereka sebut sebagai musuh-musuh Islam, adalah perjuangan agama yang paling luhur (syahid). Pada dasarnya, pengajaran seperti ini tidak murni sebagai kesadaran otentik masyarakat Islam Nusantara, melainkan pengaruh dari jaringan intelektual dan ideologis yang dibawa dari Timur Tengah.



Moderatisme Pesantren


Karakter otentik pesantren dari zaman awal berdirinya pesantren sesungguhnya menampilkan wajahnya yang toleran dan damai. Di pelosok-pelosok pedesaan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, banyak ditemukan performance pesantren yang berhasil melakukan dialog dengan budaya masyarakat setempat. Pesantren-pesantren yang ada di Jawa, terutama yang bermazhab Syafi'i dan memiliki hubungan dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) menampilkan sikap akomodasi yang seimbang dengan budaya setempat. Sehingga pesantren mengalami pembauran dengan masyarakat secara baik. Keberhasilan pesantren seperti ini kemudian menjadi model keberagamaan yang toleran di kalangan umat Islam pada umumnya. Tak heran, jika karakter Islam di Indonesia seringkali dipersepsikan sebagai Muslim yang ramah dan damai. Karena itu, hampir tidak pernah terjadi proses radikalisasi di kalangan santri atas nama doktrin agama dalam bentuk aksi kekerasan.


Fakta menunjukkan bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara. Sesungguhnya upaya islamisasi yang telah ditempuh oleh peran walisongo merupakan ekspresi Islam kultural. Proses ini telah membutuhkan rentang waktu yang demikian panjang secara gradual dan berhasil mewujud dalam satu tatanan kehidupan masyarakat santri yang saling damai berdampingan, peaceful coexistence (Abdurrahman Mas’ud, 2004).


Dalam konteks inilah, pesantren mesti melakukan introspeksi terhadap ajaran dasarnya agar tidak terlalu literal dan kaku dalam merespon perubahan zaman. Bukankah radikalisme pesantren justru menambah citra negatif masyarakat Muslim di tanah air? Dengan demikian, pesantren mesti dikembalikan ke dalam format awalnya sebagai pusat pendidikan agama yang mampu melakukan adaptasi dengan kebudayaan masyarakat setempat secara baik, tanpa harus saling menafikan. Dalam konteks selanjutnya, pesantren diharapkan dapat mencetak kader-kader muda beragama yang tidak bersikap apatis terhadap zaman, melainkan memunculkan optimisme terhadap masa depan kehidupan umat manusia yang mencerminkan toleransi dan perdamaian. Tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Siddiq, KH Sahal Mahfudh adalah tokoh-tokoh pesantren dari generasi awal hingga sekarang yang tidak mengalami radikalisasi, tetapi justru menunjukkan sikap akomodasi dalam setiap perubahan zaman sehingga memunculkan karakter yang toleran dan damai. (*)


Khamami Zada (Alumni PP. Nurul Ummah Yogyakarta. Pengajar di UIN Syarif Hidayatullah dan sedang menempuh studi di University of Perpignan Prancis)

Sunday, February 28, 2016

Wanggita Sierfefa, Anak Papua Pertama di MAN Insan Cendekia Serpong

[caption id="attachment_476" align="alignleft" width="300"]17 Wanggita Sierfefa, siswi MAN Insan Cendekia dari Papua, sedang tersenyum ceria Wanggita Sierfefa siswi MAN Insan Cendekia Serpong dari Papua sedang tersenyum ceria[/caption]

Siti Adijatiningsih Wanggita Sierfefa membuat catatan sejarah baru bagi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong, Banten. Ia adalah siswa asal Papua pertama yang belajar dan tinggal di asrama salah satu madrasah favorit di Indonesia itu.

Tita keturunan asli Papua karena ayahnya berasal Papua Barat. Kaimana termasuk kabupaten berbatas laut yang meliputi wilayah datar hingga berbukit-bukit, bahkan bergunung dengan kemiringan lereng bervariasi. Kaimana berada di sepanjang pantai yang berbatasan langsung dengan bukit tinggi yang berbaris memanjang. Adat istiadat masyarakat juga masih cukup kuat, kendati belakangan lebih cair akibat hadirnya budaya luar lewat pelabuhan.

Tita memang terlahir di Jakarta pada tahun 1999. Namun demikian, orang tua berasal dari sebuah kampung kecil bernama Wanggita, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Tita dibesarkan dari keluarga muslim yang taat, meskipun kakek dan neneknya masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.

“Sampai saat ini (2014, red), kampung kakek saya belum ada penerangan listrik dan jalan beraspal. Orang di kampung jika menyaksikan tayangan TV harus numpang di rumah warga yang punya antena parabola atau rumah Bapak Camat. Karena itu saya harus belajar giat, agar kelak bisa membangun Papua, saya ingin menjadi ahli matematika dan ekonomi,” tutur Tita.

Ia mengaku sangat jarang pulang ke kampung halaman di Papua lantaran letaknya yang sangat jauh dan berbiaya tinggi. Ongkos hidup di sana pun di atas rata-rata kota/kabupaten lainnya sebagai imbas dari infrastruktur dan transportasi yang belum sepenuhnya memadai. Tita terakhir ke sana pada tahun 2010 saat sekolah libur panjang.

Kondisi sosial ekonomi penduduk wilayah Kabupaten Kaimana umumnya bergerak dalam bidang perikanan dan pertanian yang sifatnya subsistem, perkebunan tradisional, buruh bangunan dan buruh pelabuhan.

Menembus Seleksi Ketat


MAN IC Serpong yang sebelumnya bernama SMU Insan Cendekia didirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atas prakarsa BJ Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi sekaligus kepala BPPT. Sekolah ini digadang menjadi lembaga pendidikan menengah ke atas unggulan yang memadukan etos mendalami ilmu agama (Imtak) dan dunia sains (Iptek).

Tak mudah untuk masuk ke madrasah ini. Begitu juga dengan Siti A. Wanggita Sirfefa atau yang akrab disapa Tita. Ia mesti bersaing dengan ratusan, bahkan mungkin ribuan, calon siswa dalam tes ketat yang digelar Kementerian Agama. Proses seleksi tergolong sulit karena sedari awal madrasah ini diperuntukkan untuk para siswa pilihan dengan potensi akademik di atas rata-rata.

Menurut Tita, soal yang diujikan untuk masuk MAN IC Serpong levelnya tiga kali lebih tinggi dari soal Ujian Nasional (UN). Dengan standar seperti itu persaingan dipastikan menegangkan. Namun melalui kerja keras dan persiapan yang matang, Tita diumumkan lolos pada tes seleksi MAN IC Serpong 2014. Hatinya gembira. Dan di titik inilah babak baru pengalamannya dimulai.

Kebanggaan dirasakan oleh sang ayah, Moksen Idris Sirfefa. Dia merasa haru dan bahagia karena perjuangan yang dilakukan anakanya dengan belajar tekun salama di MTs telah membuahkan hasil. “Saya selalu berpesan agar anak saya tetap menjaga akhlak, mengejar prestasi dan tetap semangat karena MAN IC itu bukan tujuan akhir melainkan gerbang menuju cita-cita sesungguhnya. MAN IC adalah kawah candradimuka yang akan menggodok anak saya menjadi manusia bertaqwa, berprestasi, menguasai sains teknologi dan berakhlak mulia,” jelas Mohsen Sirfefa.

Lingkungan Baru, Tantangan Baru


MAN IC dibangun dalam bentuk boarding school atau madrasah berasrama. Para peserta didik di pagi hari menjalani rutinitas belajar formal di kelas-kelas hingga pukul sekitar 15.00 WIB. Di samping kultur religius yang begitu kental, di madrasah ini yang terasa adalah kompetisi akademik sesama siswa. Sebagaimana siswanya, guru-guru juga terdiri dari orang-orang pilihan hasil seleksi ketat dari berbagai daerah.

Di MAN IC Serpong, Tita bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang ekonomi dan budaya yang beragam. Ia mesti bergaul dengan teman-teman baru yang mungkin tak selaras dengan gaya hidupnya selama ini. Di luar hubungan pertemanan, suasana berbeda juga dirasakannya dari berbagai kebijakan institusi sekolah yang ia singgahi.

Kebiasaan Tita sebagai “anak mama di rumah” membuatnya sedikit terkejut dengan suasana baru MAN IC yang mengharuskannya jauh dari rumah. Sempat terbesit perasaan tidak kerasan. Lebih-lebih beberapa rekannya yang berasal dari berbagai daerah pelan-pelan meminta pulang selamanya dari asrama karena tidak betah. Pulang dari asrama berarti keluar dari MAN IC. Putus belajar di tengah jalan semacam ini terjadi rutin tiap tahun di MAN IC. Karena didorong komitmennya untuk serius belajar, Tita berusaha tak merengek dan secara bertahap ia mulai beradaptasi.

Ketegarannya melawan ketidakerasanan sukses. Rasa penat berubah menjadi nikmat. Memang, sebelum masuk madrasah aliyah favorit ini, ia tidak sereligius sekarang. Ngaji di rumah hanya ia lakukan sesekali sehabis maghrib dan dilakukan sering tanpa pendampingan guru. Shalat dan serentetan ritual ibadah lainnya juga berlangsung longgar. Tapi justru di MAN IC lah ia menemukan oase baru, dan karenanya ia merasa senang dan tercerahkan.

Belum lagi ia mendapatkan kesempatan-kesempatan hebat di MAN IC ini, seperti KBS (Klub Bidang Studi) yang memungkinkan dirinya lebih fokus pada keahlian bidang tertentu, atau bahkan mengikuti kontes sains tingkat nasional maupun internasional. Di sekolah ini, Tita juga belajar melancarkan bahasa asing, terutama Arab dan Inggris. Setiap Rabu, Kamis, dan Jumat, seluruh pelajar di MAN IC Serpong diwajibkan berkomunikasi degan dua bahasa asing tersebut, di bawah pengawasan organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Yang melanggar akan mendapat hukuman, biasanya dengan public speaking atau penampilan lain yang mendidik dan menantang.

Mendapatkan peringkat satu di MAN IC Serpong, bagi Tita tak semudah lagi ketika ia di MTs. Persaingan nilai tajam karena mesti berhadapan dengan para siswa di atas rata-rata. Standar belajar pun otomatis meningkat drastis dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Inilah mengapa Tita tak lagi juara 1 di kelas MAN IC, tapi cukup puas dalam 20 nilai teratas. Sebuah tantangan yang tak hanya memotivasinya untuk giat beribadah tapi juga kian rajin dan tekun berlipat-lipat dalam belajar.

Ingin Jadi Ekonom


Sejak awal Tita menggemari pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), meski dalam penjurusan di MAN IC ia akhirnya lolos sebagai siswa IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Namun hal tersebut tak menyurutkan kegemaran Tita pada mata pelajaran IPS ini, khususnya ekonomi. Bagi kakak perempuan dari dua bersaudara ini, bidang ekonomi adalah masa depan studinya.

Tita memendam cita-cita kelak menjadi pengacara dan pengamat ekonomi. Selepas dari MAN IC ia berniat melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia (UI), salah satu perguruan tinggi favorit di Tanah Air. Jurusan yang hendak Tita ambil juga selaras dengan kecenderungan minatnya: ekonomi. Ia terlihat tak main-main dengan cita-citanya ini. Tita juga pernah aktif di pelatihan Olimpiade Sains Nasional (OSN) bidang ekonomi, sebuah wadah pendidikan bagi siswa yang dimungkinkan aktif di ajang olimpiade. Tapi Tita belum pernah tampil di olimpiade mana pun selama di MAN IC.

Mengapa tidak ingin kuliah di luar negeri saja? Menurut Tita, kampus di dalam negeri belum kalah mutu dengan dengan kampus luar negeri. Bahkan, kata dia, dengan kuliah di Indonesia jaringan di dalam negeri akan terbina dengan baik dan hal ini positif bagi masa depan karir kelak. Ia menilai ketika ia belajar di negara orang, bisa saja ia malah kehilangan relasi sekembalinya di Indonesia. Tapi ia pasrah soal karir ke depan. “Yang sekarang belajar, berusaha, dan berdoa,” tuturnya.

Dalam pandangan Kepala MAN IC Serpong, Dra. Persahini Sidik, Tita yang hobi membaca dan menggambar ini termasuk anak yang baik dan cekatan. Ia sanggup memimpin teman-temannya. Menurutnya, ia termasuk anak yang rajin dan bisa diandalkan untuk bidang-bidang tertentu. Di sekolah, Tita aktif di organisasi siswa intra sekolah (OSIS. Bagi Tita, OSIS menjadi tempat yang baik untuk melatih diri berorganisasi. Apalagi OSIS di MAN IC tergolong cukup otonom dalam memutuskan kebijakan-kebijakan internal sehingga bisa lebih berkreasi. Tita juga rajin dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga basket dan English Club. [Red: Anam]

Saturday, February 27, 2016

Bagaimana Mengajar Efektif dengan Metode Ice Breaker?

Seorang guru sama sekali tidak bisa mengabaikan kondisi siswanya saat berada di ruang kelas. Peran fasilitator dari guru membuat guru harus melakukan langkah-langkah tertentu agar proses pembelajaran mempunyai timbal balik (feedback). Artinya, bagaimana membuat siswa juga terlihat aktif di kelas.

Di dalam proses pembelajaran, sering terjadi kondisi di mana siswa terlihat lelah, ngantuk, tidak semangat, dan tidak siap mengikuti pembelajaran. Kondisi siswa seperti tidak serta merta membuat guru menjadi acuh. Justru sebaliknya, guru harus mampu membuat mereka kembali segar dan bersemangat untuk mengikuti mata pelajaran di kelas.

Cara atau metode seperti apa yang harus dilakukan seorang guru ketika kondisi yang kurang kondusif tersebut terjadi di kelas?

Sigit Setyawan dalam bukunya Nyalakan Kelasmu: 20 Metode Mengajar dan Aplikasinya (2013) mengisahkan, ada seorang guru yang dihadapkan pada kondisi di mana para siswa terlihat tidak bersemngata, tidak siap menerima pelajaran, dan mengantuk. Guru tersebut lalu meminta para siswa untuk berdiri dan melakukan gerakan-gerakan.

Ia meminta para siswa merentangkan tangan, mengepalkan tangan, mengayun-ayunkan lengan, bergerak ke kanan dan ke kiri, dan masing-masing memijit punggung teman sebangkunya. Sebagian siswa tertawa dan bercanda, sebagian yang lain melakukannya dengan bersemangat.

Setelah kira-kira satu atau dua menit, ia mempersilakan para siswa untuk duduk kembali. Selanjutnya, si guru tersebut menyajikan sebuah cerita lucu yang pernah ia dengar. Para siswa tertawa, mereka tidak mengantuk lagi. Akhirnya dalam waktu lima menit, ia berhasil mendapatkan perhatian dari seluruh siswa. Dampaknya sangat signifikan, para siswa terlihat telah siap menerima materi pelajaran.

Cara yang dilakukan oleh guru tersebut merupakan metode Ice Breaker. Dari ilustrasi cerita di atas, dapat diartikan bahwa Ice Breaker yaitu metode yang dapat menyiapkan kondisi yang lebih baik bagi siswa agar lebih segar dan siap menerima pelajaran.

Metode ini dapat dilakukan di awal maupun di tengah-tengah proses pembelajaran untuk mencairkan suasana, membangun kesiapan belajar, atau memacu motivasi belajar siswa. Ice Breaker dapat dilakukan dalam durasi kurang lebih lima hingga sepuluh menit.

Ice Breaker sangat berguna untuk mengarahkan perhatian siswa yang baru saja mengkuti mata pelajaran lain agar tetap fokus dan siap menerima mata pelajaran selanjutnya. Metode ini juga dapat menggungah kembali motivasi belajar siswa agar termotivasi untuk melanjutkan pelajaran dan tugas-tugas selanjutnya.

Langkah terakhir bagi guru, dia dapat melakukan sebuah evaluasi terhadap keberhasilan metode Ice Breaker. Guru dapat melakukan sebuah pengamatan terhadap berbagai respon yang keluar dari para siswa. Jika penggunaan Ice Breaker membawa pengaruh yang signifikan, maka metode ini dapat diterapkan kembali di kemudian hari. (Fathoni Ahmad)

Friday, February 26, 2016

Bangga akan Kenangan di Pesantren

Bagi yang pernah pernah mondok atau belajar di pesantren, pasti punya segudang kenangan, baik manis atau pun “perihatin”. Sekarang semua memori itu terasa begitu menyenangkan. Apa saja kenangan itu?

  1. Masak dan “Ngetel” Bareng
    1. memasak
    Memasak nasi, ngetel, dan membuat sambel terong sebagai “sayur” adalah aktivitas wajib para santri menyiapkan tenaga untuk aktifitas kesehariannya. Memasak ini dilakukan secara bersama dan berkelompok.



  1. Makan Bareng
    2. makan barengSetelah memasak, makan pun tidak sendir-sendiri namun makan rame-rame dalam satu nampan. Siapa cepat dia dapat….!


 

 

 

  1. Tidur bareng
    3. tidur barengDikarenakan tidak ada kasur dan dipan, tidur pun dilakukan secara bersama-sama. Sebelum tidur, biasanya bercerita, curhat dan bercanda.


 

 



  1. Tidur berbantal Kayu
    4. bantal kayuBantal seakan menjadi alas wajib bagi kepala ketika tidur. Bantal kapas apalagi dacron menjadi barang “mahal” baik harga namun perawatannya. Bantal kayu adalah solusinya yang bebas maintenance.


 

 

  1. Sepak Bola pakai sarung
    5. sepak bola sarungApapun aktifitasnya tetap memakai sarung, termasuk bermain bola.


 

 

 

 

  1. Antri mandi
    6. antri-mandi
    Tradisi ngantri sejatinya adalah tradisi santri karena kebiasaan ini sering dilakukan terutama ketika akan beraktifitas ke “belakang” (MCK).


 



  1. Antri makan
    7. antri makan
    Kebiasaan makan pun juga ngantri, bagi santri yang majeg, makan dengan sistem jatah dengan biaya tertentu.


 

 

  1. Jemuran sempit di pesantren
    8. berbagi jemuran
    Berbagi jemuran adalah didikan berbagi sejak dini. Fasilitas yang terbatas ini menjadikan santri makin kreatif menjemur bajunya.


 

 

 

  1. Digunduli karena ghosob sandal
    9. dugunduli
    Ta’zir, hukuman ringan yang kerap dijalani santri bila melanggar hukum, termasuk memakai sandal teman tanpa ijin. Ghosob namanya. Hukumannya adalah dicukur gundul.


 



  1. Ngaji dan tertidur
    10 ngaji tertidur
    Saking capeknya beraktifitas seharian, terkadang ngaji pun kadang sampai tertidur.


 

 

 

  1. Ngaji di depan komplek
    11. ngaji didepan komplek
    Dikarenakan keterbatasan ruang belajar, depan kamar pun bisa digunakan menyimak kyai yang lagi membaca kitab berikut penjelasannya. Ini namanya Bandongan.


 

 

  1. Sorogan
    12. sorogan
    Mengaji privat dengan bimbingan ustadz, sorogan. Metode inilah yang paling tepat untuk mengukur tingkat pemahaman terhadap kitab kuning.


 

 

 

Banyak yang berubah sekarang. Beberapa pesantren menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Tapi apapun pengalaman saat belajar di pesantren selalu menjadi kenangan yang menyenangkan.

Thursday, February 25, 2016

Pendaftaran Online MAN Insan Cendekia Dimulai 1 Maret

[caption id="attachment_445" align="alignleft" width="244"]MAN Insan Cendekia MAN Insan Cendekia[/caption]

JAKARTA, PENDIDIKANISLAM.ID Pendaftaran online Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia akan dimulai pada 1 Maret 2016. Masa pendaftaran online berlangsung selama satu bulan, atau paling lambat 1 April 2016.

Informasi disampaikan oleh Kasubdit Kesiswaan Direktorat Madrasah Kementerian Agama RI Ida Noor Qosim di Jakarta, Kamis (25/2/2016). Adapun teknis pendaftaran lebih lanjut online akan disampaikan kemudian.

Seperti diinformasikan sebelumnya tahun pelajaran 2016-2017 ini MAN Insan Cendekia (IC) tidak hanya ada di Serpong, Gorontalo dan Jambi. Kementerian Agama akan membuka MAN IC di 17 lokasi sebagai berikut.

  1. MAN IC Serpong, Banten

  2. MAN IC Jambi

  3. MAN IC Gorontalo

  4. MAN IC Aceh, Aceh Timur

  5. MAN IC OKI, Sumatera Selatan

  6. MAN IC Siak, Riau

  7. MAN IC Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung

  8. MAN IC Paser, Kalimantan Timur

  9. MAN IC Kota Pekalongan, Jawa Tengah

  10. MAN IC Kota Batam, Kepulauan Riau

  11. MAN IC Padang Pariaman, Sumatera Barat

  12. MAN IC Bengkulu Tengah, Bengkulu

  13. MAN IC Sambas, Kalimantan Barat

  14. MAN IC Sorong, Papua Barat

  15. MAN IC Tanah Laut, Kalimantan Selatan

  16. MAN IC Kota Kendari, Sulawesi Tenggara

  17. MAN IC Palu, Sulawesi Tengah


MAN IC adalah salah satu Madrasah Aliyah favorit di Indonesia yang diburu oleh banyak alumni MTs/SMP. Pasalnya, MAN IC memiliki banyak kelebihan. Pertama, dari sisi akademik, peserta didik akan dididik dan dipantau selama 24 jam, karena MAN IC menggunakan sistem asrama atau pesantren.

Kedua, selama ini siswa-siswinya banyak yang meraih prestasi akademik baik tingkat nasional dan internasional. Prestasi-prestasi yang diraih merupakan bukti keberhasilan proses pembelajaran.

Ketiga, lulusan MAN IC diincar oleh perguruan tinggi terkemuka baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Keempat, peserta didik mendapatkan beasiswa. Artinya, peserta didik tidak dipungut biaya. Namun sejak tahun 2015, peserta didik MAN IC tidak mendapat beasiswa full. Mereka hanya gratis tidak dikenai biaya belajar, sementara biaya personal (kebutuhan sehari-hari) ditanggung sendiri oleh siswa. [Hamam Faizin]

Alhamdulilah, PP. Darul Ulum Jombang Punya “Komplek” ala Rusun

[caption id="attachment_437" align="alignleft" width="250"]Rusun Darul Ulum Rusun Darul Ulum[/caption]

JAKARTA, PENDIDIKANISLAM.ID – Dengan 7,6 Milyar dari Kementerian PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat), akhirnya Pondok Pesantren Darul Ulum, Kepuhdoko, Jombang, Jawa Timur memiliki “komplek mewah”-kamar santri ala rusun (rumah susun).


“Rusun 3 lantai, luas 1.520 m2 tersebut dibangun dari APBN Kementerian PUPR 2015, dibangun sejak 26 Juni sampai 31 Desember 2015. Terdiri atas 6 barak besar dan 6 barak kecil, rusun tersebut dan akan diisi 348 santri. Barak besar dihuni 32 santri, barak kecil 20.” terang Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, Sabtu (20/2/2016).


Fasilitas yang ada di rusun tersebut, lanjut alumnus Teknik Geologi UGM ini, adalah tempat tidur bertingkat, lemari pakaian untuk setiap unitnya, kipas angin, MCK (Mandi Cuci Kakus) di ujung kanan dan kiri setiap lantai. Kamar mandinya pun dengan sistem shower.


“Pemberian fasilitas ini dimaksudkan agar santri melaksanakan kegiatan belajar dengan tenang dan nyaman, karena santri menjadi bagian dari tumpuan masa depan bangsa ini,” kata peraih Magister di Colorado State University USA.


rusun jombang_4Pembangunan rusun ini, jelas mantan tim penanggulangan lumpur Lapindo,  adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam membantu masyarakat.


“Semoga bisa menjadi kontribusi bagi santri untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Karena santri itu harus pintar. Tetapi pintar saja tidak cukup, harus ditambah akhlakul karimah. Keberadaan kita harus bisa menjadi sangat bermanfaat bagi orang banyak,” kata Doktor Teknik Sipil, Colorado State University, Amerika Serikat.


rusun jombang_2Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, KH. Mustain Hasan bersyukur atas dibangunnya gedung asrama ini karena memang yang menempati nantinya adalah santri dari golongan tidak mampu.


“Rata rata santri yang me-santren di sini masyarakat ekonomi lemah, Darul Ulum tidak bisa minta bantuan kepada wali muridnya. Selain dari pemerintah, bantuan juga datang dari masyarakat,” jelas Mustain. (viva-berbagai sumber)

Siswa MTs di Madura ini Pernah Meraih Medali Matematika di Korea Selatan

[caption id="attachment_432" align="alignleft" width="300"]Amiril Haq Tengah (lima dari kiri) meraih medali di Korea Selatan Amiril Haq Tengah (lima dari kiri) meraih medali di Korea Selatan[/caption]

Usai lulus bangku sekolah SDN 1 Rongtengah Sampang, Amiril Haq mengikuti arahan orangtuanya untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Bustanul Ulum di satu desa di Kabupaten Pamekasan. Setahun kemudian ia membuktikan bahwa pilihan orang tuanya itu sangat tepat. Madrasah mengantarkannya berprestasi keliling dunia.

MTs Bustanul Ulum berada di Kecamatan Waru, daerah pantai utara Pamekasan. Daerah tersebut jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Pamekasan. Juga, daerah yang sangat asing baginya karena terbiasa hidup di ibukota Kabupaten Sampang.

Haqi—panggilan akrabnya, termasuk siswa berprestasi di Kabupaten Sampang. Ia pernah mewakili Sampang dalam ajang O2SN di Provinsi Jawa Timur. Kehormatan mewakili kota kelahirannya itu didapatkan setelah keluar sebagai juara pertama O2SN dari ratusan siswa SD se-Sampang.

Tak heran, ketika disarankan melanjutkan sekolah ke MTs Bustanul Ulum, Haqi mengaku sempat protes pada orang tuanya. Satu-satunya alasan ia menerima tawaran orang tuanya, setelah disajikan kliping koran yang memuat prestasi siswa Bustanul Ulum berhasil membawa pulang medali dari ajang Wizard at Mathematics International Competition (WIZMIC) 2011.

Gemar Detektif


Matematika bagi Haqi, seperti jalan hidupnya. Kegemarannya menonton film detektif dalam memecahkan permasalahan, diakuinya mengisi relung inspirasi hidupnya. Keinginan untuk menjadi detektif sangat kuat membara, sehingga ditanam sebagai cita-cita.

“Matematika adalah memecahkan persoalan dengan logika. Sangat menarik untuk mengajak berpetualang sebagaimana cita-cita saya yang ingin menjadi detektif,” ulas Haqi.

Semangat kuat untuk menjadi detektif dengan mempelajari matematika memang tidak sia-sia. Menginjak bangku kelas I MTs Bustanul Ulum, Haqi langsung tampil moncer dari siswa-siswa lainnya. Hanya berselang tiga bulan tercatat sebagai siswa Bustanul Ulum, Haqi sudah terlihat menonjol dengan mengungguli teman-teman di sekolahnya. Haqi akhirnya ditunjuk untuk mewakili MTs Bustanul Ulum dalam ajang olimpiade matematik tingkat Kelompok Kerja Madrasah (KKM) Sumber Bungur.

Pertamakali mewakili MTs Bustanul Ulum, Haqi tidak mampu keluar sebagai juara di tingkat KKM itu. Haqi mengaku sempat kecewa. Pijakan untuk bangkit kegagalan dari ajang Olimpiade Matematika tingkat KKM, diakui Haqi adalah dorongan dari Kepala Madrasah Bustanul Ulum kala, No’man Afandi.

“Kakeh pokok teros ajher paggun juara. Mun tak juara, kettok tang tanang. Kakeh andik kalebbian bisa cepet hapal (Asal terus belajar, kamu pasti juara. Kalau tidak juara, potong tangan saya. Kamu punya sisi lebih, bisa cepat hafal),” ucap Haqi, menirukan perkataan No’man Afandi yang sudah dianggap sebagai orang tuanya.

Apa yang disampaikan No’man Afandi mulai terbukti. Tiga bulan berselang dari olimpiade matematika tingkat KKM, Haqi mulai berprestasi di tingkat Kabupaten Pamekasan. Dalam ajang Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten Pamekasan, Haqi keluar sebagai juara harapan I.

Lolos ke WMI


[caption id="attachment_434" align="alignleft" width="300"]Amiril Haq Tengah (lima dari kiri) meraih medali di Korea Selatan Amiril Haq Tengah (lima dari kiri) meraih medali di Korea Selatan[/caption]

Hanya berselang seminggu dari ujian kenaikan kelas di MTs Bustanul Ulum, Haqi mendapatkan kabar lolos sebagai salah satu peserta World Mathematics Invitational (WMI) yang diadakan oleh Korean Gifted Students Evaluation Association (KGSEA).

Bayang-bayang akan bersaing dengan 700 peserta dari 12 negara peserta, makin membulatkan tekad bahwa ajang WMI bukan sekedar ajang antar-siswa. WMI oleh Haqi ditetapkan sebagai ajang mempertaruhkan nama baik Indonesia.

“Saya menetapkan diri sebagai duta madrasah dan duta Indonesia. Saya makin percaya diri, bahwa saya bisa,” ucap Haqi.

Selain giat belajar, sejatinya Haqi mengaku memikirkan biaya keberangkatannya ke Korea Selatan. Kabar bahwa keberangkatannya ke Korea Selatan tidak dibiayai negara membuatnya sempat gundah. Bayang-bayang gagal berangkat ke Korea Selatan diakuinya sempat menghantui.

Untungnya, biaya keberangkatan ke Korea Selatan sudah ditegaskan oleh pihak madrasah, bahwa akan ditanggung madrasah tempat ia menimba ilmu. Semangat yang sempat pudar kembali membuncah di hatinya. Selama tiga bulan lebih, Haqi terus berkutat dengan rumus-rumus matematika.

Pandangan sebelah mata terhadap siswa madrasah, diakui Haqi sempat dirasakan saat baru dimondokkan ke Bustanul Ulum. Teman sejawatnya di SDN I Rongtengah diakui Haqi sempat menanyakan apa cita-citanya melanjutkan pendidikan ke madrasah. Bahkan, guru semasa di SDN Rongtengah juga sempat menanyakannya.

Namun, pertanyaan yang bernada sangsi dari teman sejawat dan sebagian gurunya di SDN I Rongtengah berubah total setelah Haqi lolos ke ajang WMI. Teman sejawatnya yang semula sering mempertanyakan, ikut mendukungnya dan mengaku bangga. Bahkan, Haqi makin semangat untuk mengkampanyekan madrasah sebagai sekolah terbaik membaca sejarah tokoh muslim yang jadi ahli Matematika.

“Ibnu Sina, Aljabar, dan beberapa tokoh muslim lainnya banyak yang ahli matematika. Cikal bakal matematika adalah di madrasah. Makanya, kami makin bangga dengan madrasah. Itu lah yang sering saya sampaikan pada teman-teman yang sekolah di sekolah umum,” ulas Haqi.

Panitia WMI kala itu, menyajikan sebagian soal dengan bahasa lokal Korea Selatan. Kondisi itu diakui Haqi sempat membuatnya panik. Bahkan, rasa kecewa sempat hadir ketika membaca soal-soal yang disajikan.

Meski harus dihadapkan dengan sebagian soal yang menggunakan Bahasa Lokal Korea Selatan, Haqi ternyata mampu menjawab tantangan dengan baik. Haqi mampu menjadi salah satu peserta yang berhasil meraih medali perunggu. Haqi mampu menjadi salah satu yang terbaik dari 700 peserta yang berasal dari 12 negara.

Haqi memang patut berbangga. Sebab, raihan medali perunggu di ajang World Mathematics Invitational (WMI) yang diselenggarakan oleh Korean Gifted Students Evaluation Association (KGSEA) menjadi simbol keberhasilan siswa madrasah di bidang sains.

Pulang dengan Kawalan Konvoi


Sejatinya, raihan Amiril Haq di ajang WMI adalah raihan kesekian kalinya yang ditorehkan siswa MTs Unggulan Bustanul Ulum, Tagangser Laok, Waru. Sebelumnya, terdapat lima siswa yang sudah mengawali tradisi meraih medali di ajang kompetisi matematika tingkat internasional.

Sebelumnya, sebanyak tiga siswa Bustanul Ulum berhasil meraih medali perunggu di Beijing, Cina. Disusul, dua siswa kembali mendapat perunggu di India. Raihan yang diukir Amiril Haq di ajang bergengsi WMI yang digelar di Seoul, Korea Selatan pada 14-18 Agustus 2013 itu menjadi saksi rentetan prestasi yang telah dipersembahkan siswa-siswi MTs Bustanul Ulum untuk Indonesia.

Untuk mengapreasi prestasi yang telah diraih oleh siswanya, MTs Unggulan Bustanul Ulum menggelar penyambutan khusus. Bentuk sambutannya pun khas sebagaimana dilakukan warga Madura. Yakni, mengarak siswa berpretasi dengan konvoi dari Ibu Kota Kabupaten hingga ke Madrasah.

Khusus tradisi arak-arakan dengan sepeda motor ini, masyarakat Madura menganggap sebagai ritual penyambutan orang suci dan pembesar negara. Arak-arakan di Madura, bisa dilakukan guna menyambut kedatangan jamaah haji, kedatangan ulama yang diundang khusus untuk berceramah atau kedatangan pejabat negara yang sangat dihormati.

Nah, kedatangan putra dari pasangan Moh Ramli dan Siti Khoiriyah dari Kota Pemekasan ke sekolah tercinta diarak dengan puluhan kendaraan. Tak hanya siswa, sejumlah warga terlibat dalam arak-arakan tersebut. Termasuk jajaran muspika Pamekasan. Haqi   memang pantas mendapatkan kehormatan itu, karena ikut serta membawa nama baik MTs Bustanul Ulum.

Saat acara penyambutan tersebut, siswa-siswi berbaris menggelar selebrasi musik ul-daul, hadrah, dan drum band. Aksi tersebut digelar di depan MTs Unggulan Bustanul Ulum. (Red: Anam)

Wednesday, February 24, 2016

Pesantren Maslakul Huda Cetak Pakar Ushul Fiqih

Maslakul HudaPondok Pesantren Maslakul Huda (PMH) Putra yang terletak di Polgarut Utara Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, merupakan peninggalan Almaghfurlah KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh yang pernah memimpin Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia. Beliau meneruskan kepemimpinan pesantren ini dari paman dan ayahnya.<>


Rintisan cikal bakal PMH dapat dipastikan sudah muncul sekitar tahun 1910-an. Waktu itu, Kiai Mahfudh Salam (ayah Kiai Sahal Mahfudh) selesai menimba ilmu dari Makkah. Ia lalu menyempatkan diri tabarukan (belajar ulang) sebentar kepada Hadratusy Syeikh KH M Hasyim Asy’ari Tebuireng.


Saat itu, Kiai Mahfudh sudah diberikan kesempatan mengajar oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Ketika ia minta diri pulang kampung untuk merintis pesantren di Kajen, beberapa santri yang dulu menjadi muridnya di Tebuireng mengikutinya dan menjadi santri pertama di Maslakul Huda.


Dalam perjalanannya, pesantren ini mengalami tiga kali pergantian pengasuh. Setelah KH Mahfudh Salam wafat, lalu digantikan adiknya, KH Ali Mukhtar. Kemudian, kendali pesantren dipegang KH MA Sahal Mahfudh.


Kiai Sahal dikenal melalui sejumlah karyanya sebagai ulama ushul (ahli Ushul Fiqh). Kiai nyentrik ini merupakan satu dari sedikit ulama yang memberi perhatian khusus bagi perkembangan Ushul Fiqh.


Hal tersebut terlihat dari dua karyanya di bidang Ushul Fiqh: al-Bayanul Mulamma’ ‘An Alfadzil Luma’ yang merupakan catatan tambahan (hasyiah) atas kitab al-Luma’ karya Imam al-Syairazi (w. 476 H) dan kitab Thariqatul Hushul ‘ala Ghayatil Wushul. Karya kedua ini merupakan hasyiah atas kitab Ghayatul Wushul karya Syeikh Zakariya al-Anshari (w. 926 H).


Selain menelurkan dua karya penting di bidang Ushul Fiqh tersebut, Mbah Sahal juga giat menggalakkan pendalaman ilmu ini bagi civitas pesantren. Dalam pelbagai makalahnya yang dibukukan dalam “Nuansa Fiqh Sosial”, misalnya, sangat jelas menunjukkan bahwa bagi pemerhati Fiqih, mendalami Ushul Fiqh merupakan keniscayaan untuk menjaga agar hukum Fiqih tetap dinamis dan kontekstual.


Tanpa Ushul Fiqh, lambat laun Fiqih akan jatuh ke jurang rigiditas dan kejumudan. Melalui Ushul Fiqh dimungkinkan kontekstualisasi dalam melakukan istinbath dan ilhaq hukum Fiqh. Ushul Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu pokok dalam konstelasi keilmuan Islam, khususnya di bidang hukum Islam atau hukum syariah.


Melalui pendalaman ilmu Ushul Fiqh, diyakini mampu membangun konstruksi pemikiran hukum fiqh secara benar, sistematis, dan utuh. Pasalnya, dalam ilmu Ushul Fiqh dikaji landasan-landasan hukum Fiqih, metodologi penggalian hukum (istinbath al-hukm) dan standarisasi elemen-elemen yang terlibat dalam pengambilan hukum Fiqh.


Tidak hanya berkarya soal Ushul Fiqh, Kiai Sahal tiap pengajian Ramadhan juga membaca kitab-kitab Fiqh, misalnya, al-Asbah wa al-Nadzair di bidang Qawaid Fiqhiyah, sebagai perangkat utama mengkaji Fiqh. Para santri sangat antusias menyimak pembacaan kitab tersebut tiap tahunnya.
Takhassus Ushul Fiqh


PMH Putra yang didirikan oleh Kiai Sahal sudah sewajarnya memiliki ikatan keilmuan dan emosional yang sangat kuat terhadap cicit Syeikh Ahmad Mutamakkin ini. Terobosan penting yang digagas pesantren ini agar para santri lebih mengenal pemikiran dan gagasan Kiai Sahal adalah menginisiasi “Pesantren dengan Program Khusus Pendalaman dan Pengembangan Fiqh dan Ushul Fiqh”.


Penerus PMH Putra KH Abdul Ghoffar Rozien mengatakan, pesantren ini hendak menindaklanjuti gagasan dan warisan ide Kiai Sahal tersebut. Pesantren takhassus ini merupakan upaya untuk menggali pemikiran dan meneruskan ide Kiai Sahal tentang gagasan Fiqh Sosial.


Bagi Gus Rozien, sapaan akrabnya, ke depan pesantren perlu mengembangkan kekhasan (distinction) masing-masing karena hampir semua pesantren memiliki potensi tersebut. “Jadi, kekhasan itu bisa di bidang keilmuan, keahlian, pemikiran, atau lainnya,” ujarnya.


Pesantren Maslakul Huda, lanjut Gus Rozien, melihat bahwa Ushul Fiqh di samping menjadi bidang keahlian Kiai Sahal, juga sangat penting untuk para santri melatih cara berpikir logis-sistematis. Pasalnya, mempelajari Ushul Fiqh berarti juga mempelajari ilmu pendukungnya seperti nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, dan qawaid. “Kesemuanya itu sangat rasional,” tegasnya.


Menurut Gus Rozien, menguasai dasar ilmu Ushul Fiqh sama saja membekali para santri perangkat riset keilmuan Islam yang sangat dibutuhkan saat ini. “Saya berharap, pesantren takhassus ini mencetak para santri yang tidak hanya menguasai ilmu hukum Islam dengan kepakaran di bidang fiqh dan ushul fiqh. Namun juga menjadi penggerak masyarakat,” harapnya.


Ketua PP Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU ini menambahkan, pesantren ini dikhususkan bagi para santri yang sudah menguasai teks-teks keagamaan yang membutuhkan pendalaman dalam memahami Fiqih dan Ushul Fiqh. [Musthofa Asrori]

Tuesday, February 23, 2016

Madrasah Tsanawiyah Ungguli SMA di Indonesian Science Project Olympiad

Medali “Gold” disabet MTsN 1 Malang dari 34 medali yang digondol oleh peserta yang mayoritas merupakan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini di Indonesian Science Project Olympiad (ISPO) 2016. Event bergengsi yang digelar di Semarang pada beberapa hari lalu (20–21/02/2016) ini, otomatis hanya MTsN 1 Malang lah satu-satunya madrasah (dibawah Kementerian Agama) yang berhasil mengalahkan kakak kelasnya pada kategori fisika.




[caption id="attachment_415" align="alignleft" width="262"]Putri Wulandari & Nalita Livia Chandradevi Putri Wulandari & Nalita Livia Ch. devi[/caption]

Adalah Amelia Putri Wulandari dan Nalita Livia Chandradevi yang berhasil menciptakan alat terapi untuk membunuh bakteri pada sapi perah yang terkena penyakit mastisis hingga medali emas layak mereka peroleh.


“Dengan menggunakan alat ini, susu yang dihasilkan sapi akan bebas bakteri. Alat ini juga lah yang menjadi solusi terbaik bagi peternakan sapi dan produksi susu,” kata keduanya sebagaimana dikutip dari www.kemenag.go.id.


Menurut situs resminya, http://ispo.or.id, penyelenggra ISPO adalah Association of Indonesian Bilingual Boarding Schools (IBBS), perkumpulan sekolah bilingual berasrama yang dikelola oleh beberapa yayasan di Indonesia. Pada kesempatan kali ini, melombakan 6 kategori yaitu; Biologi, Kimia, Fisika, Lingkungan, Teknologi, dan Komputer.  (viva)

Alhamdulillah, MAN Insan Cendekia Akan Ada di 17 Daerah

Jakarta,Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia (IC) Serpong lulus dengan kualifikasi A untuk seluruh mata pelajaranPENDIDIKANISLAM.ID — Kabar gembira bagi para orang tua dan calon siswa Madrsah Aliyah, kini MAN unggulan Insan Cendekia (IC) tidak hanya ada di Serpong, Gorontalo dan Jambi. Tidak lama lagi Kementerian Agama akan membuka pendaftaran peserta didik baru 2016 di 17 MAN IC yang tersebar di berbagai daerah, yakni:

  1. MAN IC Serpong, Banten

  2. MAN IC Jambi

  3. MAN IC Gorontalo

  4. MAN IC Aceh, Aceh Timur

  5. MAN IC OKI, Sumatera Selatan

  6. MAN IC Siak, Riau

  7. MAN IC Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung

  8. MAN IC Paser, Kalimantan Timur

  9. MAN IC Kota Pekalongan, Jawa Tengah

  10. MAN IC Kota Batam, Kepulauan Riau

  11. MAN IC Padang Pariaman, Sumatera Barat

  12. MAN IC Bengkulu Tengah, Bengkulu

  13. MAN IC Sambas, Kalimantan Barat

  14. MAN IC Sorong, Papua Barat

  15. MAN IC Tanah Laut, Kalimantan Selatan

  16. MAN IC Kota Kendari, Sulawesi Tenggara

  17. MAN IC Palu, Sulawesi Tengah


Rencananya sosialisasi PPDB MAN IC ini dilaksanakan pada Februari-Maret ke Kepala Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag di setiap provinsi. Sedangkan pendaftaran online akan dimulai pada 1 Maret - 1 April 2016. Pendaftaran online bisa dilakukan di website madrasah.kemenag.go.id atau bisa dilihat di masing-masing website MAN IC.

Namun, sampai saat berita ini ditulis, aplikasi online belum bisa ditayangkan. Informasi update dan detail, bisa ditelisik di website MAN IC masing-masing.

Sedangkan seleksi berkas akan dilakukan pada 3 Maret – 20 April 2016 dan pengumuman Tes tanggal 29 April 2016, pelaksanaan test 14 Mei 2016 dan Pengumuman Kelulusan 14 Juni 2016. Informasi ini bisa berubah sewaktu-waktu tergandung dengan keadaan. Oleh sebab itu, calon peserta disarankan agar senantiasa memantau website-website MAN IC, wesbsite madrasah.kemenag.go.id, dan pendidikanislam.id ini.

MAN IC adalah salah satu Madrasah Aliyah favorit di Indonesia yang diburu oleh banyak alumni MTs/SMP. Pasalnya, MAN IC memiliki banyak kelebihan. Pertama, dari sisi akademik, peserta didik akan dididik dan dipantau selama 24 jam, karena MAN IC menggunakan sistem asrama atau pesantren.

Kedua, selama ini siswa-siswinya banyak yang meraih prestasi akademik baik tingkat nasional dan internasional. Prestasi-prestasi yang diraih merupakan bukti keberhasilan proses pembelajaran. Ketiga, lulusan MAN IC diincar oleh perguruan tinggi terkemuka di dalam dan luar negeri.

Keempat, peserta didik mendapatkan beasiswa. Artinya, peserta didik tidak dipungut biaya. Sejak tahun 2015, peserta didik MAN IC tidak mendapat beasiswa full. Mereka hanya gratis tidak bayar biaya belajar, namun biaya personal (kebutuhan personal) ditanggung sendiri. [Hamam Faizin]

Gambar: Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia (IC) Serpong berfoto bersama setelah dinyatakan lulus dengan kualifikasi A untuk seluruh mata pelajaran

Monday, February 22, 2016

Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK): Makhluk Apakah Gerangan?

Oleh: Faried Wijdan


MENTERI Agama Republik Indonesia, melaui Direktorat Pendidikan Madrasah, belum lama ini meluncurkan agenda pembagian madrasah menjadi empat kelompok. Yaitu madrasah dengan spesialisasi kegamaan (MA-PK), madrasah spesialisasi keilmuan sains dipegang oleh Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia, madrasah spesialisasi vokasi (mirip SMK), dan madrasah reguler yaitu madrasah negeri dan swasta pada umumnya.




[caption id="attachment_358" align="aligncenter" width="1600"]Pembelajaran di Madrasah Aliyah Program Khusus ( MAPK) MAN 1 Surakarta Pembelajaran di Madrasah Aliyah Program Khusus ( MAPK) MAN 1 Surakarta. Photo: MAPK Solo[/caption]

Di tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi soal Madrasah dengan spesialisasi keagamaan. Barangkali Madrasah dengan spesialisasi adalah metamorfosa dari Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), sebagaimana diprakarsai oleh Menteri Agama, Munawir Sadzali (1988-1983). Madrasah Aliyah Program Khusus digagas pada tahun 1987, sebagai sebuah proyek prestisius Departeman Agama untuk mengantisipasi akutnya persoalan madrasah, terutama menyangkut pengkaderan ulama (program tafaqquh fid-din).


MAPK dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1987 adalah sebuah pilot project membentuk generasi baru untuk dipersiapkan menjadi pegawai kementerian agama  yang lebih profesional dan berwawasan luas serta moderat agar mampu memahami perbedaan pemikiran keagamaan di tengah-tengah masyarakat sehingga bisa mewarnai berbagai wacana perkembangan bangsa dan Negara. Meminjam Istilah yang sinis dari Karen Steenbrik, sebagai white collar job.


Di sekolah ini diterapkan kurikulum yang padat agama dan bahasa (Arab dan Inggris) serta pembelajaran yang intensif dengan sistem asrama seperti pesantren. Mula-mula dibuka di lima tempat: Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Jember dan Ujung Pandang. Pada tahun 1990 dibuka lagi di Lampung, Surakarta, Mataram dan Martapura. Dengan seleksi ketat dan pendanaan memadai (didukung proyek), MAPK dinilai telah berhasil menyiapkan lulusan kader ulama dengan wawasan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan yang menawan.


Program yang diusung MAPK adalah program tafaqquh fi al-din (pendalaman ilmu agama). MAPK adalah lembaga pendidikan formal non-pesantren yang berperan sebagai penyambung (setidaknya sebahagian dari) ‘tradisi pesantren’ yang tujuannya adalah untuk ber-tafaqquh fiddin, dengan trade mark dan unsur utamanya adalah mengkaji kitab kuning.


Secara substantif, hubungan MAPK dan tafaqquh fiddin bagaikan wadah dan isi, MAPK merupakan wadah sedangkan isinya adalah tafaqquh fiddin. MAPK adalah bagian dari madrasah (MA) yang ada pada saat ini dengan struktur program kurikulum yang porsi pelajaran agamanya 70 %. Setiap siswa MAPK juga dituntut untuk menguasai Tujuh Kecakapan untuk Bertahan Hidup (The Seven Survival Skills) ala Tony Wagner (2008) dalam buku The Global Achievement Gap, meliputi: 1.) berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah, 2.) bekerja sama dalam jaringan dan memimpin dengan pengaruh, 3.) ketangkasan dan mampu beradaptasi. 4.) berinisiatif dan kewirausahaan, 5.) komunikasi efektif baik lisan maupun tulis, 6.) mengakses dan menganalisa informasi), 7.) rasa ingin tahu dan daya imajinasi.


Sejak didirikan sampai saat ini, MAPK telah meluluskan ribuan alumni. Alumni MAPK umumnya memiliki kualitas lebih baik dibandingkan yang lain terutama dalam penguasaan materi agama dan bahasa Arab dan Inggris. MAPK berhasil menelurkan intelektual yang agamawan handal dan dan saat ini alumninya menempuh studi ke seantero perguruan-perguruan tinggi elit di Eropa, Amerika Serikat, Australia dan Timur Tengah.Banyaknya alumni yang melanjutkan pendidikan di luar negeri itu memberikan gambaran bahwa MAPK benar-benar telah mampu meluluskan alumni yang memiliki kualitas yang memadai.


‘Pesantren Negeri’ ini sudah melahirkan pribadi dan nama-nama besar, sebut saja: Dr. Asrorun Niam Saleh, Ketua Komite Syariah WAFC (World Halal Food Council), Habiburrahman El Shirazy, sastrawan Asia Tenggara, Burhanuddin Muhtadi, pengamat poltiik sohor di republik ini, Teuku Kemal Pasha (antropolog) dan masih banyak nama lainnya yang berkiprah bagi negeri ini. Alumni MAPK telah terbukti mampu berkiprah di semua matra kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya, media dan militer.



MAPK: Sebuah ‘Proyek Sisipan’ Departemen Agama


Paska Menteri Munawir Sadzali dan Tarmizi Taher, MAPK bak ‘anak yatim’ yang ‘kurang terawat’ dan ‘diperhatikan’, eksistensinya nyaris tak terdengar, tidak speaks out. MAPK hanya semacam ‘program sisipan’ dan ‘bayangan’. Berbeda misal  dengan SMA Taruna Nusantara, sekolah yang digagas oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Jenderal LB Moerdani, yang kemudian diresmikan oleh Pangab saat itu, Jenderal Try Sutrisno pada tahun 1990. Padahal usia MAPK 2 tahun lebih tua daripada SMA Taruna Nusantara.


Ganti menteri, kebijakan pun berubah. MAPK kurang diperhatikan oleh menteri-menteri agama yang menjabat selanjutnya. Program MAPK mengalami restrukturisasi. Puncaknya adalah dengan keluarnya Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 371 Tahun 1993, restrukturisasi madrasah dilakukan dengan perubahan MAPK menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Memang secara substansial, antara MAPK dengan MAK tidak ada perbedaan yang berarti, kecuali beban kurikuler MAPK agak lebih berat ketimbang MAK.


Dari segi operasional, MAPK didukung proyek, sedangkan MAK tidak. Ditambah dengan KMA 371 Tahun 1993 ini Kanwil Depag diberi wewenang membuka MAK sesuai kebutuhan dan bagi MA yang mau melaksanakan, bukan saja di MAN tetapi juga di MAS. Maka jumlah MAK menjadi semakin banyak dan massif. Cilakanya, pertambahan jumlah yang sangat besar ini tidak dibarengi dengan dukungan dana, sarana, prasarana dan tenaga yang memadai. Meskipun penyelenggaraan program MAPK memperoleh anggaran tersendiri dari pemerintah, namun anggaran yang digulirkan tidak memadai bahkan jauh dari mencukupi.


Bahkan di beberapa tahun terakhir, anggaran yang digulirkan oleh pemerinah semakin mengecil dan jauh dari mencukupi kebutuhan. Pemerintah mulai melepaskan tanggung jawab dari penyelenggaraan program MAPK justru ketika program ini telah berhasil.  Kondisi MAPK saat ini benar-benar hidup segan matipun tak mau. Padahal biaya operasional penyelenggaraan program ini cukup besar, mengingat padatnya mata pelajaran yang diajarkan dan menuntut hasil yang lebih baik dari MA regular.


Terlebih guru-guru yang mengajar di MAPK sebagian besar merupakan guru honorer yang tentu saja harus diberikan honor yang pantas setiap bulan. Karena memang pemerintah belum pernah mengangkat guru PNS bagi program MAPK. Akibatnya, kualitas MAK mengalami degradasi yang semakin lama semakin buruk. Pada gilirannya, animo masyarakat untuk mendaftar ke sekolah ini menurun drastis. Bahkan sejumlah MA akhirnya harus rela undur diri dari penyelenggaraan program ‘tafaqquh fid-din negeri’ karena tidak lagi mendapat murid. Banyak MAK yang bubar jalan!


Tidak hanya sampai di sini, dikeluarkannya UU No 20/2003 tentang Sisdiknas (UUSPN 2003) nyata-nyata memunculkan persoalan baru bagi eksistensi MAPK/MAK. Beberapa klausul (UUSPN 2003) yang mengatur tentang jenis pendidikan, penyelenggaraan dan penjurusan (Pasal 15, 18, 30 ) tidak memberikan indikasi yang jelas tentang apa, bagaimana dan di mana status hukum dan legalitas MAK. Artinya, bukan saja masalah degradasi kualitas dan animo masyarakat terhadap MAK, status kelembagaan MAK pun menjadi sangat problematis.


Pada tanggal 1 Agustus 2006 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI membuat kebijakan yang mengagetkan, khususnya bagi mereka para penyelenggara MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan)[2] melalui surat edaran Nomor: DJ.II.1/PP.00/ED/681/2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi, di sana terdapat klausul mulai tahun 2007 MAK tidak lagi diizinkan menerima siswa baru. Artinya, sejak tahun itu MAK mulai berhenti beroperasi dengan kata lain dibubarkan.



MAPK: Pilar Penting Program Revolusi Mental


Sebagai lembaga pendidikan pesantren negeri, keberadaan MAPK/MAK merupakan salah satu pilar penting untuk mendukung revolusi mental sebagaimana digelorakan oleh Presiden Joko Widodo. Sudah saatnya pemerintah memberikan porsi perhatian lebih terhadap MAPK/MAK dalam dunia pendidikan, sehingga revolusi mental dapat berjalan dan membuahkan hasil yang baik.


MAPK/MAK mengajarkan budi pekerti, akhlakul karimah, sikap dan nilai-nilai luhur manusia. Tidak cukup di sini, MAPK/MAK selain menyemaikan ajaran tentang agama dan budi pekerti, MAPK/MAK juga menjadi basis penyemaian ajaran semangat kebangsaan, kebhinekaan, moderatisme, dan nilai-nilai Islam Nusantara. Siswa MAPK berasal dari berbagai provinsi, lintas mazhab dan ragam pemikiran. MAPK adalah miniatur Islam Indonesia.


Meminjam istilah Burhanudin Muhtadi: MAPK adalah pasar raya ide yang dipenuhi oleh kios-kios yang menjajakan tafsir Islam yang warna-warni. Lulusan MAPK/MAK bisa dikaryakan di berbagai lembaga seperti KPK, Densus 88, BNPT, BNN, dan MUI untuk menjadi garda terdepan memerangi korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan Napza, radikalisme dan ekstremisme.


Semoga Departemen Agama benar-benar serius memodernisasi” MAPK/MAK. Persoalan yang dihadapi MAPK/MAK, seperti gonjang-ganjing tentang kualitas, animo masyarakat, administrasi dan manajemen, status hukum mendesak untuk diperhatikan. MAPK idealnya dibentuk sebagai program mandiri, dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) sendiri, dikelola dengan sarana dan prasarana pendukung yang memadai, memiliki standarisasi yang baku serta dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan yang jelas.


Penyelenggaraan MAPK melalui SK Menteri Agama jangan lagi hanya bersifat susulan dan pelaksanaannya dititipkan dan menginduk ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Sudah saatnya struktur dan tata kelola organisasi MAPK berdiri sendiri, terpisah dari lembaga lainnya termasuk dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Selanjutnya, perihal ketidakjelasan status program MAPK menyebabkan administrasi dan manajemen penyelenggaraan program juga tidak jelas, tidak terarah dan tidak mandiri.


Hal ini menimpa hampir seluruh MAPK di Indonesia, terutama yang berstatus negeri. Intinya: di samping faktor finansial, tata organisasi dan penyelenggaraan yang tidak mapan, MAPK juga dihadapkan dengan problematika legalitas dan undang-undang. Restrukturisasi MAPK/MAK merupakan sebuah keniscayaan. Semoga ada political will dari sang penentu kebijakan dan MAPK tidak hanya menjadi ‘program sisipan’. Semoga MAPK tidak menuju sandyakala sehingga berefek pada terganggunya kaderisasi ulama plus (ulama intelek dan intelek yang ulama). Saya tidak lebay!


Faried Wijdan, Alumnus MAPK Surakarta

Ijtihad Sebuah Keniscayaaan

Madzhab Syafii memiliki seorang intelektual besar dan disegani dalam dunia Islam. Yaitu Jalâl ad-Dîn Abd ar-Rahmân as-Suyûthî, ia lahir di Kairo bulan Rajab 849 H dan meninggal 911 H. Sejak kecil ayahnya telah mengjarinya ilmu agama dan menyuruh untuk menghafalkan Al-Quran. Menginjak umur lima tahun sang ayah menghadap Sang Pencipta. Ia dijuluki ibn al-kutub, karena konon katanya ia lahir di atas tumpukkan buku.




[caption id="attachment_395" align="alignright" width="200"]Kitab Taisir al Ijtihad Kitab Taisir al Ijtihad[/caption]

Saat ayahnya meninggal si kecil Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî baru hafal Al-Quran sampai surat At-Tahrîm. Tetapi karena kecerdasannya, tak sampai umur delapan tahun ia sudah selesai menghafal Al-Quran. As-Suyûthî belajar pada banyak ulama yang tekenal pada zamannya. Di antaranya ia belajar fikih pada ‘Alam ad-Dîn al-Balqînî dan tafsir pada Muhyî ad-Dîn al-Kâfîjî.


Dari tangannya lahir lebih dari tiga ratus buku. Sedang karya yang sanpai pada kita di antaranya ialah Tafsîr al-Jalâlain, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Mu’tarak al-Aqrân, ad-Dur al-Mantsûr fi at-Tafsîr al-Ma`tsûr, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, al-Iklîl fi isthimbâth at-Tanjîl, al-Jâmi’al-Kabîr, al-Jâm’ ash-Shagîr, al-Asybâh wa an-Nadhâir, Taisir al-Ijtihâd, dan masih banyak karya lainnya.


Kitab yang disebut terakhir, yaitu Taisir al-Ijtihad merupakan sebuah buku kecil yang mengkupas tentang ijtihad. Ijtihad sebagaimana yang kita ketahui ialah mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menghasilkan hukum Allah. Namun apakah setiap orang wajib melakukan ijtihad? Di sinilah as-Suyûthî tampil memberikan jawaban yang sangat memuaskan, bahwa ijtihad adalah kewajiban kolektif (fardh al-kifâyah). Jadi, ketika sudah ada orang yang melakukannya maka gugurlah kewajiban setiap orang.


Untuk mendukung pendapatnya as-Suyûthî menyebutkan beberapa pendapat ulama. Di antaranya pendapat az-Zarkasyî yang menyatakan bahwa ijtihad adalah kewajiban kolektif [H. 21].


Selanjutnya, as-Suyûthî menyatakan bahwa ijthad sangat penting karena realitas tak penah berhenti sedang teks itu berhenti. Karenanya, ijtihad harus selalu ada. Dan pada setiap generasi musti harus ada mujtahid. Untuk meneguhkan hal ini as-Suyûthî mengutip beberapa pendapat ulama. Di antaranya ialah pendapat para pengikut madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa zaman tak pernah lekang dari seorang mujtahid muthlaq atau muqayyad. Sebab, Rasul bersabda, “Akan ada salah satu kelompok umatku yang selalu membela kebenaran sampai datangnya kiamat” [H. 25].


Dalam kacamata as-Suyûthî mujtahid ialah pembaharu agama.  Pendapat ini ia sandarkan pada hadits nabi yang menyatkan, “Sungguh, setiap seratus tahus sekali Allah mengutus pada umat ini seorang yang memperbaharui agama mereka”.Tetapi menurutnya, tak harus satu orang yang diutus sebagai pembaharu pada satu masa, bisa jadi lebih. [H. 51]. Demikian pendapat para komentator hadits, sebagaiman yang dikutip oleh as-Suyûthî.


Dalam buku ini as-Suyûthî juga menjelaskan syarat-syarat ijtihad menurut para  ulama. Seperti menurut asy-Syahrastanî, Rafi’i, Nawawî, al-Ghazali, Abu Manshûr at-Tamîmî. Dari semua persayaratan yang disebutkan oleh para ulama tersebut tak memasukan pengetahuan tentang teologi filsuf (ilmu kalam) sebagai ilmu yang musti dikuasi oleh seorang mujtahid [H. 31-38]. Bisa jadi, karena ilmu kalam termasuk yang dibenci oleh Imam Syafii, sedang dia adalah seorang penganut Madzhab Syafii, meski dalam ar-Risâlah-nya secara eksplisit kita bisa merasakan aroma teologi Syafii.


Setelah menyebutkan syarat-syarat ijtihad menurut para ulama, kemudian as-Suyûthî menjelaskan syarat ijtihad versi dirinya. Yaitu,  seorang mujtahid harus menguasi pengetahuan tentang Al-Quran, sunnah, ushul fikih, ilmu bahasa, nahw, sharf, ma’ânî, bayân, badî’, pengetahuan tentang konsensus dan perbedaan, ilmu matematika, fiqh an-nafs, menguasi sebagian besar kaidah-kaidah syara’, dan ilmu akhlak [H. 39-41].


Sedang cara yang ditempuh untuk berijihad untuk menyelesaikan sebuah kasus ialah dengan mencari dalil dari Al-Quran, jika tak ditemukan maka harus dicari dalam sunnah. Dan bila sunnah juga masih tak memberikan jawaban atas kasus yang ada maka harus cari dalam ijmak. Dan jika tak ditemukan juga maka harus menggunakan qiyas. Inilah hirarki cara berijtihad yang ditawarkan oleh as-Suyûthî [H. 49-50].


Demikianlah secuil dari upaya as-Suyûthiî untuk selalu membuka pintu ijtihad dan menutup pintu taklid. Sebab, wahyu sudah tak turun lagi sdang realitas terus bergerak maju. Di sinilah kemampuan nalar kita musti digunakan untuk menghadapi realitas yang terus bergerak. Selamat berijtihad!! (Mahbub Ma’afi)


Tentang Buku:
Judul        : Tasir al-Ijtihâd
Penulis     : Jalâl Abd ar-Rahmân as-Suyûthî
Penerbit   : Al-Maktabah at-Tijâriyyah, Makkah al-Mukarramah
Editor       : DR. Fuad Abd al-Mun’im Ahmad
Tebal        : 84 hlm

Madrasah Wujudkan Mimpi Anak Satpam Ini Jadi Dokter, Bantu Masyarakat

5 Nia NuraeniBerdoa, berusaha, tawakkal. Demikian moto hidup yang tertancap dalam diri Nia Nuraeni. Di kepalanya sempat terbesit pikiran, bagaimana mungkin anak satpam seperti dirinya akan jadi seorang dokter? Tapi keraguan itu perlahan musnah. Alumni madrasah ini membuktikan, cita-cita bisa diraih dengan tekad, kerja keras, dan niat tulus.

Perempuan kelahiran 4 Oktober 1988 ini termasuk orang yang percaya bahwa keterbatasan ekonomi bukan kendala serius. Selama ada kemauan, pasti ada jalan. Jargon populer ini juga sanggup ia buktikan. Tanpa aksi nekad dan kepasrahan yang tinggi, mungkin ia tak akan pernah belajar di madrasah terpandang, merasakan studi di fakultas kedokteran, hingga menjadi dokter relawan di daerah-daerah pelosok dan terpinggirkan.

Semua ia mulai dari madrasah. Nia yakin, melalui lembaga pendidikan Islam basis keilmuannya akan terbina dengan baik, secara intelektual dan terutama spiritual. Nia pun tak asal pilih madrasah. Jatuh cintanya tertuju pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong, Tangerang Selatan, Banten, salah satu madarah favorit binaan Kementerian Agama. Lagi pula, rumah Nia hanya sekitar 500 meter dari madrasah tersebut.

Bercita-cita Jadi Dokter


Sejak SD Nia selalu bercita-cita ingin menjadi dokter. Alasannya sederhana: dengan menjadi dokter ia dapat membantu orang sakit dan menolong orang susah. Nia Nuraeni ingin menjadi orang yang berguna untuk keluarga, agama, dan negara. Jiwa sosial ini terus terpupuk hingga ia menempuh pendidikan di jenjang aliyah.

Cita-citanya semakin bulat ketika di madrasah aliyah Nia mendapatkan hal menarik dari forum “Career Day”, semacam seminar seputar karir di masa depan yang diadakan IC. Di acara yang diperuntukkan bagi kelas 3 aliyah tersebut, Nia bertemu dengan dr. Jose Rizal Sp.Ot, pendiri MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), sebagai tamu undangan. Jose menceritakan pengalamannya sebagai dokter di daerah-daerah konflik seperti Afganistan dan Maluku. Dari cerita tersebut, obsesinya menjadi dokter kian tak terbendung. Kehendak kuat untuk menjadi tenaga kesehatan terus ia bawa hingga lulus dari IC tahun 2005.

Begitu lulus pada 2005, ia langsung mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Lampung (Unila). Lagi-lagi, kendala ekonomi membayangi langkahnya. Jika untuk mendaftar di madrasah aliyah saja ia sempat dibuat akan mundur, bagaimana ia akan menempuh pendidikan tinggi dengan jurusan yang terkenal super mahal itu? “Membayangkan ayah saya gajinya keci begitu, saya rasa tidak mungkin kuliah di kedokteran. Tapi Alhamdulillah, dengan tekad kuat, akhirnya Allah memberi jalan.”

Agustus 2005 pengumuman hasil ujian SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pun keluar. Nama Nia Nuraeni tercatat dan lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Kerja kerasnya menyiasati keterbatasan ekonomi terus ia lakukan. Biaya kuliah kedokteran terlalu besar untuk disikapi bersantai ria. Nia bukan anak pejabat negara ataupun pengusaha. Dalam perjalanan, ia bahkan mesti harus meminjam uang kepada orang lain untuk keluar dari kebuntuan ekonomi tersebut. Ia beruntung banyak kawan dan dosen yang mau membantunya.

Lolosnya Nia dalam program pemuda beprestasi di kampus juga membuat ongkos kuliahnya terasa ringan. Hingga enam tahun kuliah kedokteran di Unila, ia tinggal menambal biaya kebutuhan hidup sehari-hari. Nia pun akhirnya bekerja paruh waktu yang ia jalani tiap selesai kuliah sebagai guru privat anak autis dan asisten dokter di sebuah klinik. Nia sadar, tidak mungkin dia hidup bergaya hedonis seperti sebagian mahasiswa kaya. Ia harus menjalani hari-harinya sebagai pelajar dan pekerja, berbeda dari sejumlah teman-temannya yang kebanyakan anak walikota, bupati, pengusaha, atau lainnya.

Meski berpayah-payah, semua berjalan sesuai rencana. Nia Nuraeni lulus bangku kuliah di Fakultas Kedokteran Unila tepat waktu pada tahun 2011. Sumpah dokter dan ujian kompetensi dokter ia lalui dengan mulus. Sebagai dokter umum ia lantas membantu sang ayah menjadi tulang punggung keluarga, termasuk menyekolahkan adik-adiknya. Ia terlibat dalam banyak aktivitas kesehatan, baik yang bersifat profit maupun relawan. “Selain pengalaman yang saya cari, jujur saya juga mencari uang untuk membayar utang biaya wisuda,” ungkapnya.

Nia mengaku bergabung di MER-C pada 2012 untuk mendapatkan program PTT (pegawai tidak tetap) di Papua. Selama dua tahun di sana, Nia berhadapan dengan banyak pengalaman unik, dari perbedaan kultur hingga pola hidup yang mudah terjangkit penyakit semacam HIV/AID dan Malaria. Menurutnya, masyarakat Papua masih kekurangan dari segi ekonomi, kebersihan, pendidikan, bahkan kesulitan dalam berbahasa, kendatipun di tempat tugasnya, kota emas, Timika. Ironi memang, di daerah yang terkenal dengan aktivitas penambangan emas PT Freeport itu masih banyak dijumpai masyarakat yang kekurangan gizi. Di sinilah, Nia harus menghadapi keluh kesah, serta mencarikan jalan keluar, bagi masyarakat Timika yang punya keterbatasan akses di banyak hal, termasuk informasi. “Bahkan mereka tidak mengetahui siapa Presiden Indonesia yang sedang menjabat. Masyarakat juga masih mudah terprovokasi dan memiliki budaya perang,” cerita Nia.

Bermanfaat Bagi Orang Lain


Ia mantap jadi tenaga medis di Papua meski sedang meninggalkan sang ibu yang tengah sakit. “Saya percaya, Allah menciptakan kita keluarga, Allah pasti pula akan menjaganya. Lagi pula apa yang saya lakukan adalah untuk tujuan manfaat bagi orang lain.”

Selain di Papua, Nia juga sempat bekerja secara sosial selama setahun di sebuah daerah sangat terpencil di Kalimantan Timur, sekitar 12 jam perjalanan bila ditempuh dari ibu kota Kaltim, Samarinda, atau 6 jam dengan perjalanan darat dari Kota Sangata, Kalimantan Timur.

Di tempat barunya ini ia juga menemukan pelajaran tak kalah seru. Di wilayah dengan akses transpotasi yang terbatas dan minus sinyal komunikasi tersebut, Nia mesti berhadapan dengan orang-orang adat yang kepercayaan mistisnya sangat kuat. Di sini ia merasa tertantang secara akidah, dan Insan Cendekia menurutnya sudah memberi bekal untuk itu.

Di Kaltim, Nia menangani empat klinik dan hampir 4.000 karyawan beserta keluarga. Dengan sedikit sarana serta jarak tempuh ke kota yang jauh, ia juga harus belajar menjadi dokter yang berani mengambil resiko dan melakukan yang terbaik buat pasien dan karyawan. Pasien yang melahirkan di ambulance saat perjalanan menuju rumah sakit, atau menangani pasien-pasien histeria karena daerah Kalimantan yang masih didominasi hutan dan budaya mistisnya. Bahkan pernah ia mendapati pasien histeris seperti sedang kesurupan dan tidak bisa ditangani secara medis. Nia pun mencoba meruqyah dengan mebacakan ayat suci al-Qur’an. “Alhamdulillah yang semula mengamuk pasien akhirnya sadar dan sembuh.”

Dari semua pengalaman itu, Nia lalu mengajak teman-teman sesama dokter satu angkatan di Insan Cendekia untuk membuat klinik sosial bagi masyarakat di lingkungan sekitar Serpong. Tahun 2014, ia dan rekan-rekannya berhasil mendirikan klinik bersama FN (Felzhiro Nexard). FN bekerja secara swadaya dan lebih banyak memberi keringanan bagi masyarakat tak mampu yang berobat. Sejumlah pengobatan berbayar, sebagian lain gratis bagi kalangan miskin. Program sunatan gratis massal juga menjadi program sosial dari klinik rintisan ini. (Khoirul Anam)

Friday, February 19, 2016

Dilema Santri Urban

Oleh: Nur Khalik Ridwan


Kaum muda Nahdliyin yang ada di kota-kota besar saat ini, umumnya bisa disebut santri urban, berpindah dari desa ke kota. Oleh sebagian NU sendiri, eksistensi mereka dikritik karena dianggap tidak peduli dengan pesantren, bahkan berbeda dengan khazanah-khazanah pesantren sendiri. Pikiran-pikirannnya yang kritis, kadang malah berbenturan dengan dunia pesantren.

Apakah sesederhana itu santri urban “dihakimi”? Ataukah sepicik itu jati diri kalangan santri urban? Menurut penulis, fenomena santri urban bukan suatu yang mudah dan sederhana untuk dihadapkan dengan desa/pesantren, hanya dengan bendasarkan kekesalan pada pikiran-pikiran mereka yang kritis, atau dianggap tidak lagi peduli dengan dunia pesantren.

Dalam hal ini, santri urban sendiri perlu dipahami bahwa memang mereka pernah dididik di pesantren dan berasal dari desa. Kalau tidak benar-benar dari desa, mereka berasal dari pinggiran kota, yang juga tetap pernah dididik di pesantren ataupun langgar. Ketika di kota besar mereka bermetamorfosis dalam dunia politik praktis (PKB,PPP, dan sejenisnya), NGO, dan profesi lain yang tidak terwadahi dalam keduanya.

Sebagai santri urban yang hidup di kota tetapi asal usulnya dari desa/pesantren,dalam dirinya tentu mengalami pergolakan batin dua dunia. Pergolakan batin ini, satu sisi mewadahi pertarungan dalam dirinya yang berasal dari desa yang agraris. Sisi lain, santri urban mengalami tantangan hidup di kota, pengetahuannya ditambah dari pendidikan tinggi dan pencarian-pencarian otodidak lain. Percampuran antara ta’limul muta`alim, dan khazanah pesantren lain, dengan bacaan teori-teori sosial kritis semacam marxisme, hermeneutika, teori globalisasi dan lain-lain, bukan suatu yang mudah untuk disintesakan.

Jauh lebih sederhana dari itu, sebenarnya pergolakan batin yang rumit dan keengganan kembali ke pesantren dan desa, juga disebabkan oleh kecenderungan didikan zamannya Soeharto yang mempengaruhi santri urban dalam bidang tani. Pada masa Soeharto, desa dan pertanian menghasilkan didikan bahwa menjadi petani itu hina, tidak cukup untuk hidup layak, dan harus ditinggalkan untuk mencari peruntungan di kota-kota besar.


Imajinasi orang-orang tua santri urban kadang juga mempersulit pengambilan posisi santri urban. Pada umumnya, orang-orang tua mereka lebih melihat bahwa “keberhasilan” ketika mereka pergi ke kota adalah menjadi semacam PNS, pulang harus membawa mobil, dan sejenisnya. Ini telah menyulitkan ruang santri urban untuk mengabdikan ilmunya di desa, meskipun sangat bisa dipahami karena orang tua berharap anaknya berhasil.

Di tengah situasi itu, hanya ada pilihan terbatas bila ingin kembali ke desa dan bisa diperhitungkan di dalam formasi social desa: membentuk pesantren juga, dan ini suatu yang tidak mudah baik dari sisi imajinasi kritis ataupun dari sisi kontestasi dengan pesantren yang hampir ada di setiap desa; membentuk NGO lokal, yang tentu tidak semua santri urban bisa melakukannya, baik karena alasan substansi gerakan atau jaringan, yang berarti ruang arenanya juga kecil; dan kalau tidak demikian, adalah kembali dengan sebuah keberhasilan sebagai pengusaha, dan pilihan dilematis lain.


Di tengah pilihan yang terbatas itu, bagi mereka yang hanya pernah dididik di pesantren, dan bukan bagian dari keluarga pesantren, jauh lebih sulit untuk kembali ke desa/pesantren. Kembali ke pesantren/desa, akan dengan jelas mempengaruhi kontestasi sosial justru dengan kiai-kiai pesantren dan kiai-kiai langgar, yang notabene adalah guru-guru mereka sendiri. Ada kesungkanan; ada persepsi di kalangan desa bahwa bukan keluarga darah biru pesantren tidak cukup banyak didengarkan suaranya; pikiran-pikiran kritis, meskipun disesuaikan dengan keadaan desa sekalipun, akan banyak berbenturan dengan kalangan pesantren sendiri.


Lagi-lagi, ini semua mempengaruhi pergolakan batin santri urban: antara mau kembali dan mewakili murni pesantren dan desa, ataukah tetap hidup di kota dengan konteks sosial di kota dan tantangan yang juga kompleks. Satu sisi, idealnya memang untuk memberdayakan Nahdliyin, harusnya berawal dari memberdayakan desa dan pesantren,dan itu berarti santri urban perlu ke desa dan kembali ke pesantren. Sisi lain, pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan di atas menjadi titik krusial tersendiri.

Dengan krusial yang demikian, imajinasi bahwa di kota lebih banyak memberikan peluang, terutama bagi mereka yang sedikit memiliki kemampuan professional, tentu akan dilihat lebih menjanjikan. Santri urban jenis ini tidak memiliki harapan untuk kembali ke desa sebelum menunjukkan “keberhasilan” di kota. Mereka akan memilih jalan lain, yaitu menjadi elit menengah jenis lain di kalangan Nahdliyin selain elit kiai, yaitu elit muda.


Meski begitu harus diakui bahwa di kota yang menjadi pusat-pusat NGO, sumber-sumber (eksploitasi) ekonomi, pusat politik, dan pusat mobilitas sosial, bukan berarti pertarungan santri urban di kota menjadi mudah. Santri urban harus berhadapan dengan kelompok kepentingan lain yang jauh lebih kompleks daripada formasi sosial di desa: dengan kalangan santri non-NU yang bertradisi di kota; kalangan sosialis yang tradisi intelektualnya sudah diberikan landasan oleh para sesepuhnya sejak dahulu; kalangan nasionalis, dan kelompok-kelompok lain. Tapi bagi kaum muda ini menjanjikan dan menantang.


Di sinilah titik masalah akan muncul. Tantangan di kota yang kompleks itu, berarti santri urban tidak mungkin ngotot hanya berbasiskan khazanah pesantren. Ditambah pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan tinggi, belajar otodidak, pertarungan sosial, dan konteks sosial di kota, jelas mensyaratkan adanya kemampuan yang harus melampui khazanah murni pesantren. Lalu, muncullah pikiran-pikiran kritis dari santri urban, yang sebagiannya digelisahkan oleh kalangan pesantren sendiri.


Perbenturan antara santri urban dengan dunia pesantren, kadang-kadang cukup tajam,terutama dalam soal pemikiran, meskipun tujuan mereka sama-sama ingin mengangkat derajat kaum Nahdliyin. Perbenturan itu diperparah karena kurang adanya saling percaya satu sama lain: mereka adalah sama-sama ingin mengembangkan dan membangun peradaban Nahdliyin.

Kalau santri urban dan pesantren bisa memahami kelebihan dan kelemahannya tentu perbenturan itu justru akan menimbulkan kreatifitas yang saling mengisi. Sebaliknya kalau keduanya tidak bisa memahami kelebihan/kekurangannya, hanya menghasilkan perbenturan tanpa kebijaksanaan: yang satu mengatakan konservatif, yang satunya mengatakan telah keluar dari pikiran Nahdliyin. Padahal mereka yang dianggap keluar itu, dalam bahasa Kang Thohari, yang penulis temui pada Mei lalu di Purwokerto ia menyebutkan: “mereka keluar dari Nahdliyin menuju Nahdliyin yang lain.”***


Nur Khalik Ridwan, pengarang buku NU dan Neoliberalisme dan beberapa buku lain, anak dari buruh tani NU di Banyuwangi.