Berbicara santri adalah berbicara tentang pondok pesantren. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan semata-mata perayaan atau sekedar kebanggaan bahwa kaum santri telah berjasa besar dalam mendirikan negara ini. Selain pengakuan terhadap peran santri, negara juga perlu memberikan hak yang sepadan kepada pesantren sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan lembaga pendidikan umum. Mari kita lihat besaran anggaran negara untuk pesantren dan pendidikan Islam secara umum.
Pendidikan adalah sektor paling penting yang mendapatkan perhatian paling besar dari negara. Anggaran pendidikan nasional mencapai 20% atau sebesar Rp.419,173 triliun dari total APBN Tahun 2016 yang mencapai Rp. 2 ribu triliun lebih. 34,89 % dari anggaran pendidikan itu disalurkan melalui pemerintah pusat yang dibagi untuk Kementerian Pendidikan dan kebudayaan sebesar 11,74%, Kementerian Ristek dan Dikti 9,42%, dan Kementerian Agama 11,02%. Sisanya, 2,55% dibagi untuk sektor pendidikan di 17 kementerian negara/lembaga lainnya.
Kementerian Agama hanya mengelola 11,02% anggaran penddikan nasional atau setara Rp.46,84 triliun untuk pengelolaan pendidikan Islam di seluruh Indonesia. Itu pun termasuk untuk perguruan tinggi Islam. Sementara untuk pendidikan umum, ada alokasi dari Kementerian Pendidikan dan kebudayaan sebesar 11,74% untuk pendidikan dasar dan menengah, serta dari Kementerian Ristek dan Dikti 9,42% untuk perguruan tinggi umum.
Namun lebih penting dari itu, anggaran pendidikan nasional yang disalurkan melalui transfer daerah jumlahnya cukup fantastis hingga mencapai angka 63,9% dari total anggaran pendidikan nasional atau setara RP.267,887 triliun. Sangat tidak adil jika dana pendidikan di daerah sebesar itu hanya disalurkan untuk lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan kebudayaan yang sudah mendapatkan alokasi dari pusat. Sangat tidak adil jika dana pendidikan di daerah tidak boleh disalurkan untuk lembaga pendidikan Islam yang legal dan diakui oleh negara.
Sebenarnya setelah terbit UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian disusul keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sudah merupakan landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya secara otonom khususnya dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di daerah. Peningkatan mutu tersebut bisa diwujudkan dengan pengalokasian dana, infrastruktur (sarana/prasarana), tenaga pengajar serta akses pendidikan.
Dalam semua produk undang undang dan regulasi apapun yang menyinggung soal pendidikan dan kompetensi akademis, lembaga pendidikan Islam selalu disebutkan secara eksplisit dan setara serta diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Lulusan lembaga pendidikan Islam berhak dan sah menduduki jabatan-jabatan publik, sama seperti lulusan lembaga pendidikan umum. Maka atas nama otonomi daerah pun tidak ada alasan bagi daerah untuk membeda-bedakan perlakukan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang sah dan diakui oleh negara.
Sebagian besar kepala daerah beranggapan bahwa pendidikan Islam merupakan ranah dari Kementerian Agama saja karena kementerian ini dianggap bukan bagian dari desentralisasi. Akibatnya, banyak madrasah di daerah-daerah yang terbengkalai bahkan roboh karena kurang perhatian dari kepala daerah. Bahkan robohnya madrasah itu terletak di dekat sekolah mewah yang dibangun wali kota atau bupati.
Undang-undang memang memberikan payung hukum bagi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan Islam, namun belum berkekuatan “memaksa”. Muljani, konsultan pada Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), mengatakan, salah satu yang mempunyai kekuatan menerobos kelemahan undang-undang adalah Instruksi Presiden (Inpres) tentang pendanaan pendidikan, terutama pendanaan wajib belajar 12 tahun, karena permasalahan alokasi anggaran terutama ada di jenjang pendidikan dasar dan menengah, bukan pada perguruan tinggi.
Karena sangat tergantung pada kemauan pemerintah daerah, biasanya pihak perguruan tinggi Islam juga lebih mudah melakukan pendekatan dan diplomasi. Ini bisa karena banyak faktor, termasuk nilai tawar akademis dan jenjang yang lebih tinggi dibanding lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah.
Akhirul kalam, secara bertahap ketimpangan anggaran pendidikan harus diatasi. Masyarakat kita yang didukung dengan perkembangan media informasi semakin kritis dengan berbagai kebijakan pemerintah, terutama dalam soal anggaran. Berbagai pihak terkait secara sadar dan bertanggungjawab perlu duduk bersama untuk membicarakan persoalan ini daru hulu sampai hilir demi keberlangsungan pendidikan bagi generasi bangsa. [Red: Anam]
No comments:
Post a Comment