Tuesday, October 4, 2016

Menanti Kontribusi Daerah untuk Pendidikan Islam

12-foto-kenangan-siti-aminah-dan-teman-temannya-di-insan-cendekiaLembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Kementerian Agama menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang sah dan diakui oleh negara. Berbagai produk hukum dari tingkat pusat hingga daerah secara eksplisit juga menyebutkan bahwa Madasah Ibtidaiyah (MI) setara dengan SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan SMP dan Madrasah Aliyah (MA) setara dengan SMA. Lulusan lembaga pendidikan Islam juga berhak menduduki jabatan publik atau pekerjaan yang mempersyaratkan harus berijazah formal.

Artinya tidak ada persolan dari sisi legalitas negara. Namun ketika berbicara tentang sistem penganggaran, lembaga pendidikan Islam mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Lembaga pendidikan Islam berada di bawah Kementerian Agama yang disebut sebagai institusi vertikal, sebagaimana kejaksaan dan kepolisian. Anggaran untuk instansi vertikal hanya berasal dari pusat. Namun di sinilah letak ketidakadilannya. Padahal dana pendidikan yang disalurkan melalui transfer daerah, jumlahnya sangat besar, mencapai lebih dari separuh total anggaran pendidikan nasional.

Besaran anggaran pendidikan yang disalurkan melalui pemerintah daerah mencapai angka 63,9% dari total anggaran pendidikan nasional, mencapai Rp.267,887 triliun. Dana sebesar ini mestinya harus bisa disalurkan untuk lembaga pendidikan Islam.

Alokasi Anggaran

Persoalan alokasi anggaran pemerintah daerah untuk instansi vertikal mestinya sudah selesai menyusul keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri dalam Negeri nomor 2667 Tahun 2007. Melalui SE ini, Kementerian Agama yang merupakan salah satu dari Instansi vertikal sebagaimana Kejaksaan dan Kepolisian behak mendapatkan dana hibah dari pemerintah daerah.

anggaran-pendidikan-melalui-transfer-daerahDalam SE tersebut disebutkan bahwa transfer berupa barang atau dana dilakukan “langsung” kepada penerima hibah, yakni instansi vertikal yang mengajukan proposal hibah kepada Pemda. Dengan aturan tersebut tentunya bisa menjadikan dua institusi Pemerintah Daerah dan Instansi vertikal bisa melakukan sharing dan sinergitas program.

Sementara dalam SE Mendagri Nomor 903/210/BKAD tanggal 27 Februari 2006 terkait dengan pembiayaan di lembaga pendidikan Islam lainnya seperti di Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, pemerintah daerah juga bisa mendanai kegiatan proses belajar di satker Kementerian Agama tersebut.

Tidak hanya sebatas mengacu SE Mendagri saja. Lebih tinggi dari itu adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

Persoalan lainnya yang sering diangkat adalah terkait persoalan duplikasi penganggaran. Pada masa pemerintahan periode lalu, kebijakan anggaran masih berpedoman pada prinsip money follow function. Anggaran digelontorkan begitu saja kepada sesuai dengan jumlah yang telah dianggarkan. Namun era pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang berubah menjadi money follow program. Karena pendidikan adalah salah satu program pemerintah pusat dan daerah, maka dengan perubahan prinsip ini Kemenag berhak dan bisa atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga tidak ada lagi istilah duplikasi penganggaran.

Jadi sebenarnya persoalannya bukan pada regulasi, tapi pada soal komitmen pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan pendidikan Islam. Langkah membangun pendidikan Islam bukan persoalan ada atau tidaknya payung hukum, tetapi pada persoalan komitmen dan keberanian seorang kepala daerah dalam mengambil kebijakan. (*)

*Disarikan dari Artikel Utama, Majalah Pendis Edisi VI 2016

No comments:

Post a Comment