Thursday, March 31, 2016

Dari Pesantren Ini, Sejumlah Ulama Besar Dilahirkan

[caption id="attachment_901" align="aligncenter" width="342"]Salah satu bangunan Pesantren Al-Hamdaniyah Salah satu bangunan kuno Pesantren Al-Hamdaniyah Sidoarjo, Jawa Timur[/caption]

Selain menjadi saksi sejarah perjuangan merebut kemerdekaan NKRI, Pesantren Al-Hamdaniyah telah banyak melahirkan ulama-ulama besar pendiri NU di negeri ini. Pesantren ini berdiri sejak abad ke-18 di Siwalan, Panji, Sidoarjo, Jawa Timur.


Dari pesantren ini, telah lahir para ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama seperti Hadratusy Syekh KH M Hasyim Asy’ari, KH Alwi Abdul Aziz, KH A Wahid Hasyim, KH Cholil, KH Nasir (Bangkalan), KH As’ad Syamsul Arifin, dan KH Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU).


“Lalu, KH Wahab Hasbullah, KH Umar (Jember), KH Usman Al Ishaqi, KH Abdul Majid (Bata-bata Pamekasan), KH Dimyati (Banten), dan lain-lain,” kata Pengasuh Ponpes Al-Hamdaniyah, M Hasyim Fahrurrozi.


Selain banyak melahirkan ulama besar, pesantren yang terletak di desa Siwalan Panji Buduran Sidoarjo itu terbilang pesantren tertua di Jawa Timur setelah Pesantren Sidogiri Pasuruan. Pesantren yang didirikan tepatnya pada tahun 1787 M oleh KH Hamdani itu hingga kini masih menjadi catatan sejarah bagi republik ini.


“Salah satu ulama besar yang pernah menuntut ilmu agama atau menjadi santri di pesantren ini yakni KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU. Mbah Hasyim Asy'ari menjadi santri di pesantren Al-Hamdaniyah ini sekitar 5 tahun lamanya,” ungkap Gus Hasyim, sapaan akrab M Hasyim Fahrurrozi.


Untuk mengenangnya, hingga saat ini kamar pendiri NU di pesantren Al-Hamdaniyah itu masih tetap terawat seperti dahulu. “Kamar Mbah Hasyim ini sengaja tak pernah dipugar, tetap seperti dahulu agar menjadi pelajaran bagi santri bahwa untuk menjadi tokoh besar tak harus dengan fasilitas mewah,” tegas Gus Hasyim.


Tidak hanya menjadi santri, lanjut Gus Hasyim, KH Hasyim Asy'ari bahkan pernah juga dijadikan menantu oleh Kiai Ya’qub, pengasuh pesantren waktu itu. "Sayangnya, pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Karena Nyai Khodijah, istri KH Hasyim Asy'ari wafat lebih dahulu di Makkah saat hamil. Jenazahnya disemayamkan di Makkah," tutur Gus Hasyim.


Markas para Pejuang Kemerdekaan


Pesantren Al-Hamdaniyah didirikan sejak 1787 oleh KH Hamdani, ulama besar asal Pasuruan. Kini usia ponpes ini telah mencapai usia 228 tahun atau dua abad lebih. KH Hamdani sendiri merupakan seorang ulama keturunan Rasulullah SAW, yakni silsilah ke-27.


“Daerah ini dulu asalnya rawa. Lalu beliau (KH Hamdani) berdoa kepada Allah SWT, semoga tanah yang asalnya rawa bisa menjadi tanah,” cerita Gus Hasyim.


Pondok ini memiliki bentuk bangunan yang masih asli dan unik. Terutama keunikan bangunan "gothakan" para santri. Berdinding anyaman bambu dan diberi jendela pada setiap kamarnya serta bangunan yang disangga dengan kaki-kaki beton, membuat asrama santri ini nampak seperti rumah Joglo. Bahkan ada beberapa asrama santri yang kondisinya sangat memprihatinkan. Namun, pengasuh pondok masih mempertahankan keunikan pondok tertua di Jawa Timur ini.




[caption id="attachment_908" align="aligncenter" width="315"]Salah satu bangunan Pesantren Al-Hamdaniyah2 Salah seorang kiai melintasi bangunan kuno Pesantren Al-Hamdaniyah[/caption]

Setiap asrama dibagi dalam beberapa kamar yang diisi dua hingga tiga santri dengan ukuran ruangan 2 x 3 meter. Di dalam kamar kecil itulah para santri belajar dan beristirahat.


“Selain mengajarkan berbagai ilmu agama, pondok ini pernah menjadi saksi sejarah perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Menjadi tempat pertemuan antara Presiden Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo yang pada akhirnya melahirkan Laskar Hizbullah,” kata Agus Muchlis Asyari, wakil pengasuh pesantren.


Sayangnya, keunikan pondok yang juga sebagai kunci sejarah dan warisan kebudayaan tertua ini belum mendapat perhatian pemerintah maupun pihak-pihak terkait. Harusnya, pondok tertua seperti Ponpes Al-Hamdaniyah dilestarikan dan dijaga keasliannya.


Menurut riwayat, pada waktu KH Hamdani membangun pondok, ia datangkan kayu dari daerah Cepu Jawa Tengah dengan dinaikkan kapal. Namun, di tengah jalan perahunya pecah berantakan. Akan tetapi, Allah Maha Besar. Kayu-kayu tersebut berjalan sendiri melewati sungai dan berhenti persis di depan area pondok.


Di pondok ini, dulu juga sering dibuat pertemuan tokoh-tokoh Nasional pada Zaman Revolusi, di antaranya Bung Karno, Bung Hatta, KH Wahab Hasbullah, KH A Wahid Hasyim, KH Idham Chalid, Buya Hamka, Bung Tomo, dan tokoh-tokoh besar lainnya.


Berikut ini urutan para pengasuh pondok dari masa ke masa:


Periode II: KH Ya’qub dan KH Abd Rohim (Putra dari KH Hamdani)


Periode III: KH Hasyim Abd Rohim dan KH Khozin Fahruddin


Periode IV: Kiai Faqih Hasyim, KH Sholeh Hasyim, dan KH Basuni Khozin


Periode  V: KH Abdullah Shiddiq dan KH Hayyi Asmu’i


Periode  VI: KH Rifa’i Jufri, KH Abdul Haq, dan KH Asmu’i


Periode VII: Hingga Tahun 2013 KH Asy’ari Asmu’i, KH Mastur Shomad, KH Abdurrahim Rifa’i, dan Agus Taufiqurrahman R. (Musthofa Asrori)


 Sumber: NU Online (Rabu, 25 November 2015)


No comments:

Post a Comment