Pada zaman dahulu, lokasi Pesantren Nahdlatul Ulama Al-Manshuriyah Ta’limusshibyan sangat terpencil dengan bangunan pertama sebuah masjid sebagai pusat pendidikan dan dakwah. Pesantren yang didirikan Tuan Guru Haji Abbas ini kemudian berkembang sebagai satu-satunya pusat kegiatan Islam di kawasan selatan yang meliputi hampir 27 desa di empat kecamatan.
Menurut TGH A Taqiyuddin Manshur, cucu sang pendiri yang sekarang memangku pesantren, era keemasan Al-Manshuriyah hingga menjadi pusat kegiatan Islam itu saat dipimpin bapaknya, yakni TGH Manshur Abbas, putra pendiri pesantren tersebut. Pesantren ini menjadi salah satu institusi pendidikan, dakwah, dan lembaga sosial kemasyarakatan di selatan Lombok Tengah.
Keberadaannya sebagai pusat pengembangan Islam, lanjut Taqiuddin, telah dirasakan sejak akhir abad ke-19. Berdirinya pesantren berawal dari kepedulian sang perintis, TGH Abbas, untuk mendakwahkan Islam yang ramah, serta atas desakan untuk memperbaiki akhlak masyarakat.
Menurut Taqiyuddin, ada dua sisi masyarakat yang melatarbelakangi pendirian pesantren. Pertama, sudut keagamaan. Hampir 80 persen masyarakat menganut paham “wetu telu”, yakni sebuah kepercayaan bersumber dari ajaran Hindu, Budha, dan Animisme.
[caption id="attachment_818" align="alignright" width="241"]
“Kedua, dari sisi sosial kemasyarakatan, penduduk merupakan komunitas perburuan yang hidup berkabilah atau berkelompok. Orang sini nyebutnya ‘repok-repok’ yang nomaden dari satu tempat ke tempat lain. Mata pencaharian mereka petani tadah hujan dan peternak,” ungkapnya.
Taqiuddin menuturkan, karena lokasi pesantren sangat terpencil, TGH Abbas menaiki kuda untuk “blusukan” menjalankan misinya. “Sebelum itu, beliau dalam kurun kurang lebih 17 tahun jalan kaki naik turun gunung menyusuri pesisir pantai membangun puluhan masjid dan musholla,” terangnya.
Tak heran, lanjut TGH Taqyiuddin, jika dalam rentang waktu tiga dasawarsa hampir 90 persen penganut kepercayaan “wetu telu” berangsur surut. Sementara sistem masyarakat yang semula berkabilah-kabilah dan hidup berpindah-pindah relatif berubah.
“Mereka kemudian hidup menetap di suatu tempat menjadi penduduk yang bersatu, berbaur satu sama lain, berbudaya, dan berperadaban. Penduduk semakin tercerahkan dengan dakwah TGH Abbas itu tadi,” ujarnya.
Sejumlah Fasilitas Pesantren
Menurut salah seorang pengajar, saat ini Pesantren NU Al-Manshuriyah Ta’limusshibyan memiliki sejumlah fasilitas gedung berlantai 1, 2, dan 3 yang berdiri di atas tanah seluas 50 ribu hektar. Gedung tersebut antara lain MI, MTs, SMP, MA, SMK, Perpustakaan ATQIA, dan Institut Agama Islam Qamarul Huda, dua buah masjid, gedung koperasi pesantren , dan tentunya asrama santri putra dan putri.
Selain mengaji aneka kitab kuning, para santri juga dibekali berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang positif mulai pencak silat, marching band, seni qasidah, organisasi kesiswaan, hingga Tahfidzul Quran dan Seni Baca Tulis Al-Quran.
Uniknya, Al-Maarif disematkan di semua nama lembaga pendidikan di bawah pesantren ini. Hal ini seolah ingin mengabarkan kepada siapapun bahwa semuanya di bawah LP Maarif NU. Ditanya tentang pencantuman NU sebagai nama resmi pesantren, TGH Taqiyuddin tertawa sumringah. “Kami dari kecil NU. Taunya ya NU itu. Bagi kami, NU menjadi ruh perjuangan dakwah di sini,” ujar Ketua PWNU NTB ini mantap.
[caption id="attachment_815" align="aligncenter" width="409"]
Seluruh gedung merupakan milik sendiri dan permanen. MA Al-Maarif, misalnya, telah dilengkapi berbagai fasilitas penunjang pembelajaran. Antara lain laboratorium bahasa dan komputer sebanyak 20 unit yang dipergunakan para siswa untuk beradaptasi dengan teknologi. Perpustakaan, aula pertemuan, dan musholla juga terlihat bersih di lingkungan pesantren ini.
Sebelumnya, pesantren ini tahun 2015 kemarin dipercaya sebagai tempat kedua pelaksanaan pra-Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama. Pesantren tersebut berdiri megah di Jl TGH Moh Shaleh Hambali Sangkong, Desa Bonder, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Padatnya jadwal kegiatan pondok tak membuat 1500-an santri merasa terbebani. Mereka justru menikmati segala aktivitas dengan ikhlas dan gembira. Hal tersebut setidaknya tergambar saat menjelang pembukaan acara pra-muktamar, Kamis (9/4) pagi. Mereka tampak bahu-membahu membersihkan sekaligus merapikan tempat acara.
Sementara santri putri dengan “Semangat 45” membantu tim pemasak di dapur umum yang disediakan pesantren. Pasukan tim marching band pesantren terlihat sedang pemanasan menyambut kedatangan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan para kiai dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di sepanjang jalan menuju pesantren, para santri membentuk pagar betis didampingi anggota Banser yang tampak berjaga-jaga di beberapa titik.(Musthofa Asrori)
No comments:
Post a Comment