Suatu ketika Al-Kisa’i mendatangi suatu kaum, dan dia merasa sangat letih dan lelah. Maka dia pun berkata kepada orang-orang di sana, “Qad ‘ayîtu (maksudnya aku lelah).”
Mendengar perkataan ini, salah satu dari kaum itu menimpali, “Engkau akan mengadakan majelis dengan kami, sedangkan engkau sendiri salah dalam berbicara!” maksudnya, salah dalam hal nahwu dan perkataannya.
“Bagaimana aku salah?” Tanya Al-Kisa’i.
“Jika engkau ingin mengatakan lelah, maka katakanlah A’yaitu. Namun jika engkau ingin mengatakan berhenti dari tipu daya dan kebingungan, maka katakanlah, ‘Ayîtu,” jelas orang itu.
Al-Kisa’i pun tampak tersinggung dan tidak suka dengan hal itu, dia pun langsung berdiri dan bertanya tentang orang yang ahli ilmu nahwu di wilayah itu. “Di manakah ia?” tanyanya. Lalu orang-rang menunjukkan kepada salah seorang guru nahwu yang bernama Mu’adz Al-Farra’. Maka dia pun menemui Mu’adz dan belajar dengan tekun kepadanya.
Kemudian ketika dia pergi ke Bashrah, dia bertemu dengan Al-Khalil bin Ahmad, ahli nahwu masyhur waktu itu (guru Imam Syibawaih), dan menimba ilmu darinya. Tidak cukup dengan Khalil saja, akan tetapi Al-Kisa’i pergi ke padang sahara di Hijaz, ke Najd dan Tihamah. Kemudian dia kembali lagi ke negerinya (Kufah) dan telah menghabiskan lima belas botol tinta.
Tak mengherankan jika Al-Kisa’i (120-189 H) kemudian dikenal sebagai ahli nahwu yang fasih, di luar sangat masyhur sebagai pahlawan Al-Qur’an, yaitu salah satu qari’ terbesar dari tujuh qari’, selain ‘Ashim bin Abi Nujûd, Abdullah bin Amir (Ibnu Amir), Abdullah bin Katsir (Ibnu Katsir), Abu Amr bin ‘Alla, Hamzah bin HUbaib, dan Nafi’ bin Abdurrahman.
Begitulah seorang ulama, karena kritik memacunya untuk memperbaiki diri. Belajar dengan sungguh-sungguh, hingga menjadikannya sebagai ahli dalam bidang yang menjadi kekurangannya.
No comments:
Post a Comment