Monday, April 18, 2016

Quo Vadis Kesejahteraan Guru

Oleh Aris Adi Leksono*

Sebagai salah satu komponen masyarakat, guru telah menunjukkan peran pentingnya terutama dalam mewujudkan generasi bangsa yang lebih baik. Begitu pentingnya guru dalam penyelenggaraan pendidikan, serta keberlangsungan kehidupan bangsa, maka memperhatikan nasib kesejahteraan guru adalah keniscayaan.

Tapi jika kita perhatikan, sampai saat ini nasib guru masih banyak yang memperihatinkan. Masih banyak guru yang mendapatkan kesejahteraan di bawah standar kehidupan yang layak. Sebagian Guru DKI Jakarta misalnya, masih ada yang mendapatkan honor 300 ribu/bulan. Penerapan regulasi untuk kesejahteraan guru masih tebang pilih, masih membedakan guru swasta dan negeri,

guru dinas pendidikan dan guru kementerian agama. Acapkali kesenjangan kesejahteraan itu mempengaruhi etos pengabdian guru.

 

[caption id="attachment_1098" align="aligncenter" width="300"]Ilustrasi: Para guru ini sedang menyusun kisi-kisi soal UN dan US Ilustrasi: Para guru ini sedang menyusun kisi-kisi soal UN dan US[/caption]

Kalau dalam amanat UUD  1945 penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab negara dan pemerintah daerah, maka guru sebagai unsur penting dalam pendidikan juga merupakan bagian yang harus dijamin oleh negara dan pemerintah daerah. Layaknya pendidikan yang bersifat universal, maka perhatian kepada guru juga harus universal, tanpa dikotomik swasta atau negeri, Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama.

Seringkali undang-undang otonomi daerah dijadikan landasan dalam menelurkan kebijakan pendidikan, terutama menyangkut kesejahteraan guru. Padahal mestinya tidak demikian, dalam disiplin hirarki penerapan peraturan, undang-undang penempati posisi tertinggi, dan menjadi rujukan utama dalam memutuskan peraturan dan kebijakan di bawahnya, termasuk peraturan daerah dan produk hukum daerah lainnya. Ketika penyelenggaraan pendidikan merujuk pada amanat UUD 1945 merupakan tanggung jawab pemerintah secara universal, maka harusnya peraturan daerah juga mengikuti undang-undang. Dengan memberikan perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan yang holistik, berkeadilan, tanpa dikotomi.

Faktanya tidak demikian, masih banyak pemerintah daerah yang menerbitkan produk hukum terkait penyelenggaraan pendidikan yang tidak sejalan spirit universal undang-undang. Pemenrintah provinsi DKI Jakarta misalnya, dalam peraturan daerah tentang sistem pendidikan provinsi DKI Jakarta secara subtantif memang bersifat universal, tapi tataran praktis seringkali membeda-bedakan swasta dan negeri, madrasah dan sekolah, dan lain sebagainya.

Baru ini pemprov DKI Jakarta juga mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 253 Tahun 2015 tentang upah minimum provinsi untuk guru honorer di Sekolah Negeri di bawah Dinas Pendidikan. Jelas sekali Pergub tersebut tidak bersifat universal, sehingga bertentangan dengan undang-undang. Mau dikemanakan nasib guru honorer lembaga pendidikan swasta, bagaimana nasib guru di bawah pembinaan Kementerian Agama. Ditambah lagi, selama ini tunjangan kesejahteraan daerah (TKD) pemprov DKI Jakarta, juga tidak bisa diberikan menyeluruh kepada guru DKI Jakarta.

Notabene Guru DKI Jakarta adalah warga Jakarta yang mendidik anak-anak Jakarta. Guru yang setiap hari mengabdi untuk keberlangsungan kehidupan di Jakarta. Guru yang telah mengikhlaskan waktunya untuk lahirnya generasi yang dapat melanjutkan pembangunan Jakarta. Tetapi nasib mereka masih belum mendapatkan jaminan yang universal. Hanya soal perda, hanya soal pergub, hanya soal otonomi daerah, guru harus berjuang hidup di tengah ketidakpastian.

Dalam perspektif agama yang dijabarkan dalam kaidah usul fikih disebutkan bahwa "Memerintahkan sesuatu, berarti juga memerintahkan sesuatu yang menyempurnakan perintah utama tersebut," maka kalau penyelenggaraan pendidikan itu amanat dan pemerintah undang-undang, maka memperhatikan kesejahteraan guru adalah kewajiban. Karena guru adalah pilar utama dalam suksesnya penyelenggaraan pendidikan. Tanpa guru, maka pelaksanaan pendidikan tidak akan sempurna. Maka dikotomi terhadap kesejahteraan guru, termasuk mengabaikan amanat undang-undang. Melanggar undang-undang adalah "haram" hukumnya,layaknya melanggar hukum syariah yang termaktub dalam nash universal.

Ke depan, dalam momentum hari pendidikan nasional, 1 Mei 2016, penyelenggaraan pendidikan harus berjalan secara universal, tanpa dikotomi. Pendidikan bukan lagi alat pencitraan politik semata. Universalitas pendidikan bukan sekedar jargon pendidikan untuk semua, bukan sekedar afirmasi anggaran 20% APBN atau APDB, tetapi pada penerapannya perlu memperhatikan kesejahteraan pilar utama penyelenggaraan pendidikan, yaitu guru.

Universalitas pendidikan juga tidak dibatasi undang-undang otonomi daerah, peraturan daerah, peraturan gubernur atau bupati, atau produk hukum lainnya, karena UUD '45 sebagai payung hukum tertinggi negara telah mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan untuk semua menjadi tanggung jawab pemerintah, maka guru sebagai komponen utama pendidikan harus mendapatkan perhatian dari pemerintah, karena keberadaan guru adalah faktor utama kemajuan pendidikan.

Pada akhirnya, kesejahteraan guru akan berimbas pada peningkatan kompetensi guru. Kompetensi guru akan menghasilkan maha karya pengabdian untuk mewujudkan generasi mas bangsa dan Negara.

*Penulis adalah Guru MTsN 34 Jakarta/ Ketua PW Persatuan Guru Nahdlatul Ulama DKI Jakarta

No comments:

Post a Comment