Monday, April 4, 2016

Muhammad Assad Sukses di Usia Muda

[caption id="attachment_928" align="aligncenter" width="300"]Muhammad Assad bersama mantan perdana menteri Malaysia, Mahatir Muhammad Muhammad Assad bersama mantan perdana menteri Malaysia, Mahatir Muhammad[/caption]

Masa kecil Muhammad Assad dihabiskan di lembaga pendidikan Islam. Kini ia mengukir kesuksesan di usianya yang masih muda. Perjuangannya yang tak mudah kini telah berbuah. Pria kelahiran Jakarta, 16 Januari 1987, ini mendapat full scholarship untuk studi S1 dan S2. Beasiswa S1 diberikan oleh Petronas dan S2 dari Emir (Raja) Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani. Karirnya meroket. Assad kini adalah seorang wirausahawan muda yang sukses, praktisi keuangan syariah, pembicara internasional, dan penulis buku-buku national bestseller.

Assad lulus S1 Program Business Information Systems dengan predikat first-class student honours dari University of Technology Petronas, Malaysia, dan meraih tiga penghargaan saat kelulusan: Rector's Gold Award, The Best International Student Award, dan Chancellor Award, penghargaan tertinggi dari Universitas yang diberikan langsung oleh Mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Mohamad. Ia melanjutkan studi S2 Program Islamic Finance di Hamad bin Khalifa University, Doha-Qatar. Assad lulus S2 (Msc) dengan predikat summa cum-laude pada tahun 2012. Saat kelulusan S2 inilah Assad mendapat penghargaan dari First Lady Qatar, Her Highness Sheikha Moza bint Nasser.

Selain produktif menulis, Assad sekarang juga sibuk sebagai CEO Rayyan Capital, perusahaan yang didirikan bersama temannya Edwyn Rahmat yang bergerak di bidang investasi dan keuangan serta menjadi Chairman NFQ Group, yang fokus dalam membuat program-program edukatif dan inspiratif bagi anak muda. Lima buku telah lahir dari tangannya dan semuanya menyandang predikat terlaris nasional, antara lain Notes From Qatar 1, Notes From Qatar 2, Sedekah Super Stories, Good Morning Qatar, dan 99 Hijab Stories.

Perjuangan Tanpa Henti


Ia belajar sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama di Al-Azhar 6 Jakapermai, Bekasi, Jawa Barat. Lalu pendidikannya bersambung ke jenjang berikutnya di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Di madrasah inilah, Assad menimba banyak pengalaman, mulai dari perluasan wawasan keagamaan, sains, hingga beragam keterampilan.

MAN IC Serpong merupakan sekolah berbasis asrama yang menekankan peserta didik pada penguasaan Iptek dengan bekal imam dan takwa (Imtak). Madrasah yang semula bernama SMU Cendekia berdiri pada tahun 1997/1997 didirikan atas prakarsa Menristek/Kepala BPPT B.J Habinie pada 1996 dengan gengsi yang tinggi. Ia hanya menampung para lulusan terbaik MTs atau sederajat dari berbagai daerah di Indonesia melalui tes seleksi yang sangat ketat. Assad beruntung bisa masuk madrasah favorit ini, yang meski dengan demikian ia harus menaklukkan soal-soal dengan tingkat kesulitan di atas rata-rata sekaligus bersaing dengan pelajar-pelajar andal dari beragam penjuru di Indonesia.

Menurut salah satu gurunya di MAN IC Serpong, Dra. Persahini Sidik, M.Si, selama di madrasah Assad termasuk anak yang percaya diri dan mudah bergaul dengan teman-temannya. Sebagiamana teman-temannya, di MAN IC ia mendapatkan pendidikan agama yang ketat, di samping kegiatan ektrakurikuler yang bebas dipilih menurut minat dan bakat masing-masing siswa. Assad, kata perempuan yang setahun terahir menjadi Kepala MAN IC Serpong ini, juga pernah mendapatkan apresiasi sebagai siswa teladan dari Honda.

Di sini ia ditempa dengan standar dan target nilai yang berbeda dari madrasah pada umumnya. Guru-guru yang membimbingnya pun adalah orang-orang pilihan, yang direkrut berdasarkan kualifikasi yang tinggi. Assad mengaku bangga dengan madrasahnya ini. Ia bahkan mampu memberikan bukti bahwa madrasah mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum dalam memperbutkan beasiswa penuh dari perguruan tinggi-perguruan tinggi top luar negeri. Proses dan buah pendidikan yang diterima masih membekas dan terkenang dalam diri Assad. Ia dalam sebuah lembaran kertas karton pada 2013 lalu pernah memberikan testimoninya tentang madrasahnya ini: “Insan Cendekia Serpong sekolah terbaik yang melahirkan generasi terbaik Indonesia. Sukses terus almamaterku tercinta. All the best!!”.

Dalam blog pribadinya, Assad pernah bersyukur atas apa yang selama ini ia terima, termasuk jalan untuk memperoleh beasiswa penuh di perguruan tinggi-perguruan tinggi  top dunia. Tapi dia membantah bahwa semua itu ia terima dengan mudah. “Kalau ada yang bilang mendapatkan beasiswa mudah itu bohong. Life is tough. Perasaan kecewa, sedih, di bawah tekanan, dan bahagia semua pernah dialami dalam prosesnya. Mungkin kombinasi itu yang akhirnya membuat saya berhasil mendapatkan beasiswa,” katanya.

Begitu Assad lulus MAN Insan Cendekia Serpong, langkah pertama yang dilakukan adalah mulai mencari informasi tentang universitas yang memberikan beasiswa. Saat itu tak banyak universitas yang memberikan beasiswa S1. Tapi gayung bersambut, Assad menemukan tiga universitas top luar negeri yang menawarkan beasiswa S1, yaitu Nanyang Technological University (NTU) di Singapore, National University of Singapore (NUS) di Singapore, dan University of Technology Petronas (UTP) di Malaysia. Impian pertama adalah masuk NTU jurusan bisnis, selanjutnya antara NUS atau UTP, juga jurusan bisnis. “Maklum, jiwa berdagang sudah tumbuh sejak kecil. Hehe...”

Ia kemudian membuat daftar dari ketiga universitas tersebut tentang persyaratan apa saja yang dibutuhkan. Tes pertama yang ia ikuti diadakan oleh NUS di Kedutaan Besar Singapura di Jakarta dan hasilnya gagal. Assad merasa soal-soal yang diujikan cukup berat, persiapan kurang matang, dan kompetitornya kebanyakan berpengalaman di ajang olimpiade. Kemudian, tes kedua diadakan NTU. Di sini Assad bersaing dengan ribuan pendaftar dan pihak universitas hanya melihat nilai rapor sebagai tiket masuk. Sementara, sebagai madrasah bergengsi MAN Insan Cendekia terkenal “pelit” dalam hal nilai. Pada titik ini, Assad mengaku menemukan sebuah hambatan. Ternyata terbukti. Di seleksi awal NTU yang menentukan bisa ikut tes atau tidak, namanya tidak masuk. Sempat melobi dan diizinkan mengikuti tes tapi lagi-lagi tidak lolos.

Perasaan shock tentu muncul. Apalagi NTU sedari awal adalah kampus tujuan yang paling diidamkan dari yang lain. Tapi kesediahan tersebut tak berlangsung lama. Assad bangkit dan mengejar peluang ketiga di UTP.  Dari MAN Insan Cendekia ada 7 orang yang ikut tes di perguruan tinggi ini. Kata orang yang mengurus beasiswa ini, pelamar beasiswa UTP ini ada sekitar 1000 orang. Seleksi kemudian mengerucut menjadi 60 orang, lalu terakhir dipilihlah 7 orang dari Indonesia. Hasilnya, memuaskan! Assad diterima dan mendapatkan beasiswa penuh di UTP dengan jurusan yang diinginkan, Business Information Systems.  “I’m so happy! Setelah dua kali gagal, akhirnya dapet juga. Hehe.. Mungkin inilah tempat terbaik yang telah ditentukan oleh Allah SWT.”

Benar. Di UTP Assad justru merasakan banyak kesempatan dan hal-hal baik yang saya dapatkan selama di UTP yang mungkin tidak akan didapatkan jika kuliah di tempat lain. Pikiran bahwa NTU adalah universitas paling ideal baginya perlahan berubah. Puncaknya, ia mengakhiri studi 3,5 tahun dengan membawa nama baik Indonesia saat menjadi satu-satunya mahasiswa dalam sejarah UTP yang mendapatkan triple awards saat kelulusan: “Rector’s Gold Award 2009 for Business Information Systems”, “The Best International Student Award for The Year 2009”, dan “Chancellor Award for The Best Graduate for the Class of 2009”.

Nasib Berbalik Arah


Satu semester menjelang kelulusan di UTP, Asad sudah mulai memikirkan apa rencana ke depan. Kala itu sudah ada sekitar 2-3 perusahaan yang menawarkan bekerja. Tawaran itu ia tolak demi melanjutkan kuliah S2. Persiapannya lebih matang: ada Plan A dan Plan B. Dalam Plan A terdapat 10 Universitas yang menjadi tujuan utama. Selanjutnya di plan B ada 5 universitas yang menjadi tujuan kedua. Ke-15 universitas tersebut tersebar di berbagai negara, dari Singapore, Australia, Amerika Serikat, UK hingga Qatar.

Keberuntungan berpihak pada dirinya. Setelah melalui semua proses, dari 10 Universitas di Plan A, Assad diterima di 4 universitas: 2 di Singapore, 1 di UK dan 1 di Qatar. Sisa 6 universitas yang lain, beberapa menolak dan beberapa lagi tidak ada kabarnya. Menariknya, dari empat universitas tersebut, terdapat NUS (memberikan full scholarship) dan NTU (memberikan partial scholarship), dua universitas yang pernah menolaknya sewaktu memburu beasiswa S1 beberapa tahun yang lalu. “Jadi senyum-senyum sendiri dan berkata, ‘dulu gue yang berharap dapet beasiswa, sekarang gantian malah ditawarin’.”

Assad menerima tawaran beasiswa dari NUS dan menolak universitas di UK karena tidak sesuai jurusannya, dan juga menolak NTU karena hanya memberikan partial scholarship. Meski kesempatan kuliah di NUS sudah dalam genggaman, tapi dambaan utama Assad ada di Qatar. “Ada cerita menarik. Beasiswa NTU saya tolak karena mereka hanya memberikan partial scholarship. Setelah mengirim email memberitahukan hal tersebut, tiba-tiba beberapa hari kemudian seseorang dari bagian admission NTU menelepon langsung dari Singapore dan straight to the point mengatakan, “Assad, we will give you full scholarship. Please accept our offer!” hahahaha.. Saya kaget tapi juga agak ngeri, kok bisa-bisanya sebuah universitas internasional berkelas dunia tiba-tiba mengubah kebijakannya begitu cepat.”

Lain lagi cerita dari NUS. Setelah Assad mengirim email menerima tawaran beasiswa mereka, beberapa hari kemudian pihak NUS mengirimkan tiket pesawat Jakarta-Singapura ke rumah dengan tanggal keberangkatan akhir Juli. Ini tentu mengagetkannya karena pengumuman dari Qatar baru keluar tanggal 1 Agustus. Di hatinya sedang bergejolak antara memilih NUS dan kampus idaman di Qatar yang belum memberi kepastian. “Jika menolak NUS, sudah tidak ada satu universitas pun yang saya pegang, sementara Qatar belum memberikan pengumuman. Tapi jika saya menerima NUS dan ternyata Qatar juga menerima, maka runyam juga.”

Setelah beberapa kali shalat Istikharah, akhirnya timbul dalam diri Assad keyakinan yang kuat bahwa ia akan diterima di Qatar. Dengan demikian, ia harus menolak tawaran NUS sambil menunggu pengumuman dari Hamad bin Khalifa University, Doha-Qatar. Keputusan ini mungkin akan dianggap aneh sebagian orang. Bagaimana tidak? Tiga tawaran beasiswa pasti dari perguruan tinggi top dilepas begitu saja, lalu menunggu diterima di perguruan tinggi lain yang masih dalam bayangan. “Kalau dipikir-pikir lucu juga ya, dulu mereka (NTU dan NUS) yang menolak saya, sekarang gantian saya yang menolak mereka hehehe.. Saya berani berbuat demikian karena sangat yakin dan positif Insha Allah diterima di Qatar. Bukankah Allah SWT yang memerintahkan hambaNya agar selalu berprasangka baik dan tidak pernah berputus asa dari rahmat-Nya?”

Saat pengumuman dari Qatar pun tiba. Pada 1 Agustus itu, sebuah email berbahasa Arab dari Qatar Foundation masuk. Saat-saat mendebarkan dimulai. Assad seketika bersujud dan mengucap syukur tanpa henti-hentiNya begitu ia tahu isi surat elektronik tersebut memberinya selamat bahwa ia diterima kuliah S2 Program Keuangan Islam di Qatar dan mendapatkan beasiswa penuh dari Raja Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani.

Kini Assad terkenal sebagai seorang penulis produktif yang telah menulis lima buku terlaris di Indonesia. Dia juga pernah jadi pembicara internasional di empat benua, yakni Asia, Afrika, Australia, dan Eropa. Beberapa organisasi  yang pernah mengundangnya antara lain United Nations, UNESCO, Islamic Development Bank, dan G20 Youth Summit. Assad juga pernah dikontrak TVOne menjadi kontributor seluruh kawasan Timur Tengah dan saat ini dipercaya menjadi Duta Wakaf Al-Azhar untuk hubungan internasional.

“Sewaktu lulus MAN, impian saya adalah melanjutkan kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh! Papa selalu meyakinkan bahwa saya pasti mampu, asalkan dengan persiapan yang baik dan matang. Beliau sering berkata, “Success is when preparation meets the opportunity,kenang Assad. [Red: Anam]

*Artikel ini dimuat di buku “Madrasah Mencetak Generasi Emas” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (2015).

No comments:

Post a Comment