Menurut data Kementerian Agama, siswa Madrasah Aliyah yang mengikuti Ujian Nasional (UN) tahun 2016 ini sekitar 410.000 siswa. Sedangkan menurut data Pusat Pendidikan Kemdikbud, secara keseluruhan, ada sebanyak 3.302.673 siswa SMA/MA/SMK yang mengikuti UN tahun ini. Sedangkan lembaga pendidikan yang telah melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) naik signifikan, dari hanya 594 sekolah, tahun ini mencapai 4.402 sekolah atau sekitar 927.000 siswa.
Berdasarkan data tersebut, bisa dibilang tidak sedikit calon generasi pembangun bangsa dengan berbagai gaya, sikap, dan ekspresi yang nampak dilakukan mereka, baik sebelum menghadapi UN maupun sesudahnya. Beberapa kondisi mental dan psikologis tersebut diaktualisasikan oleh para siswa berdasarkan instruksi guru untuk melakukan doa bersama (istighotsah) dalam rangka menghadapi UN.
Dalam ritual doa bersama itu, banyak siswa yang merasa tenang sehingga seolah dapat mengingat seluruh memori belajarnya selama kurang lebih 3 tahun menjalani proses belajar di sekolah atau madrasah. Memori ini terekam siswa jika itu memang benar-benar direnunginya, baik sedari kaki melangkah keluar pintu rumah menuju sekolah, hingga masuk ke rumah lagi setelah selesai sekolah. Dari proses yang terjadi di dalamnya, akhirnya dalam kegiatan doa bersama itu, tidak sedikit siswa yang meneteskan air mata dan tersedu-sedu mengingat apa yang selama ini dilakukan, apakah dirinya sudah bisa dikataegorikan menjalani proses “belajar” atau belum.
Kondisi demikian, sekarang jarang ditemukan dalam ritual doa bersama mengingat sistem kelulusan sudah tidak mutlak ditentukan oleh pusat. Bahkan saat ini, sekolahlah yang menentukan kelulusan siswa. Tahun 2007 ke bawah sampai 2003, sekolah dengan tingkat kelulusan 100 persen merupakan sesuatu yang amat luar biasa. Sedangkan untuk saat ini, tingkat kelulusan 100 persen merupakan hal yang sudah sangat biasa. Ditambah tingkat kesulitan soal-soal UN. Nilai 100 untuk mata pelajaran tertentu di UN saat ini bukan sesuatu hal yang istimewa, tetapi pada periode di atas, merupakan hal yang sangat sulit didapatkan oleh para peserta UN (istilah dulu: UAN).
Belum lagi kondisi di mana pada 2003-2007 itu, siswa yang tidak mencapai standar kelulusan yang telah ditetapkan pemerintah pusat, maka siswa tersebut harus mengulang satu tahun karena ujian ulang tidak ada. Namun demikian, siswa diberi kelonggaran dengan mengikuti ujian kesetaraan paket C agar tetap bisa lulus tepat waktu. Artinya, selama 3 tahun belajar di sekolah formal, siswa yang tidak lulus itu hanya mendapatkan ijazah kesetaraan paket C.
Sedemikian menjadi momoknya UAN pada periode tersebut sehingga kondisi menjelang UN yang disikapi dengan kegiatan doa bersama menjadi momen yang sangat krusial dan mengharukan. Siswa seolah akan menghadapi tahap hidup dan mati karena masa selama 3 tahun hanya ditentukan selama 3 hari.
UN untuk banyak siswa saat itu benar-benar menjadi momok yang sangat menakutkan sehingga tak jarang membuat mereka menjadi stres, baik sebelum maupun sesudah menghadapi UN. Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan siswa yang mempunyai prinsip bahwa keyakinan harus diteguhkan jika usaha dan doa sudah dirasa maksimal. Prinsip seperti ini justru akan memberi sebuah energi positif dalam menghadapi suatu ujian, baik ujian nasional maupun ujian hidup. Prinsip ini juga akan menumbuhkan keyakinan bahwa atas dasar usaha dan doa maksimal seorang siswa, pertolongan Tuhan pasti akan datang. Di titik inilah sikap tawakal pra UN telah terbentuk dengan sempurna.
Bagi ‘jenis siswa’ ini, tawakal tidak berhenti di awal, tetapi juga harus tetap menggelayut di hati sebelum ketentuan Tuhan telah diketahui, yaitu dalam bentuk pengumuman ujian nasional. Siswa seperti ini tidak akan mendahului ketentuan Tuhan dengan sikap huru-hara dan foya-foya usai menyelesaikan tugas mengerjakan soal-soal UN sembari berkonvoi di jalanan dengan baju seragam sudah dalam kondisi berwarna pelangi akibat cat piloks.
Meskipun kadar kelulusan UN di masa sekarang cenderung mudah karena ditentukan oleh sekolah, siswa tidak seharus menunjukkan sikap anomali terhadap apa yang dilakukannya sebelum pelaksanaan UN. Mereka khusyu berdoa dan bertawakal, namun setelah selesai selama 3 hari mengerjakan soal-soal UN, mereka pongah dan nakal dengan berbagai aksi tidak elok dilihat oleh masyarakat sebagai kaum terpelajar.
Cukuplah kasus tragis seorang siswi di Medan Sumatera Utara bernama Sonya Ekarina Depari menjadi pelajaran berarti bahwa tawakal sebelum ketentuan Tuhan terjadi harus tetap tertanam di hati. Tanpa mengindahkan sikap tawakal, Sonya dan kawan-kawannya dengan kondisi seragam sekolah yang sudah tercorat-coret cat piloks berkonvoi menggunakan mobil.
Kondisi tidak tertib di jalan yang dapat membahayakan keselamatan para pengguna jalan menjadi alasan seorang Polwan memberhentikan mobil Sonya dan teman-temannya. Tidak sadar atas apa yang dilakukannya, Sonya malah marah-marah di depan Polisi dengan mengaku sebagai anak seorang Jenderal Polisi. Belakangan pengakuannya itu bohong sehingga mengakibatkan nama dirinya beredar luas di media nasional dan media sosial. Tak disangka bagi Sonya, ayahnya syok mendengar kabar ini dan harus masuk rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia.
Dari kasus tragis di atas, siswa dapat mengambil pelajaran bahwa konsistensi tawakal sangat penting sebelum ketentuan Tuhan datang. Dengan kata lain, ujian tawakal menjadi sesuatu yang amat diperlukan pasca ujian nasional. Hal ini harus ditanamkan pada diri seorang siswa agar sikap negatif, seperti huru-hara, konvoi, corat-coret seragam sekolah dan lain-lain tidak terjadi padahal pengumuman ujian nasional belum dilakukan. Kalau pun pengumuman sudah dilakukan, sikap tawakal akan tetap membawa siswa untuk berlaku positif karena bagi siswa tersebut, perjuangan ke depan tidak lebih mudah sehingga diperlukan sikap tawakal secara terus-menerus. Bismillahi tawakaltu ‘alallah, lahawla wala quwwata illa billah...
Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.
No comments:
Post a Comment