Saturday, April 30, 2016

Ini 6.959 Calon Siswa MAN IC Se-Indonesia yang Lolos Seleksi Berkas

Jakarta, PendidikanIslam.id – Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam telah merilis daftar nama-nama calon siswa Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) yang berhasil lolos seleksi berkas pada Jumat 29 April 2016 melalui situs resmi Direktorat Pendidikan Madrasah.

Pengumuman ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2405 Tahun 2016 tentang Penetapan Nama-nama Calon Peserta Didik Baru Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia yang Dinyatakan Lulus Seleksi Berkas Tahun Pelajaran 2016-2017.

Berikut adalah SK dan daftar nama-nama calon Peserta Didik Baru MAN IC yang lolos seleksi berkas:

SK Penetapan Lolos Berkas MAN IC 2016

Daftar Peserta Lolos Seleksi Berkas MAN IC 2016

Ada 17 Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) yang akan menjadi tempat belajar meraka, diantaranya di: Serpong (Banten), Gorontalo, Muro Jambi, Aceh Timur, Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan), Siak (Riau), Paser (Kalimantan Timur), Pekalongan (Jawa Tengah), Bangka Tengah, Padang Pariaman (Sumatera Barat), Bengkulu Tengah, Kota Batam, Tanah Laut (Kalimantan Selatan), Sambas (Kalimantan Barat), Kendari (Sulawesi Tenggara), Palu (Sulawesi Tengah), dan Sorong (Papua Barat).

Seperti diberitakan sebelumnya, pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) via online telah dibuka selama satu (1) bulan penuh; sejak 1 Maret s/d 1 April 2016. Kemudian, hasil seleksi berkas administrasi diumumkan pada 29 April 2016. Bagi calon peserta didik yang lolos seleksi berkas administrasi tersebut, akan dilaksanakan tes tulis pada 14 Mei 2016. Selang satu bulan kemudian, 14 Juni 2016 akan diumumkan kelulusan tes tulis. (Fathoni Ahmad)

Friday, April 29, 2016

Guru Swasta Sambangi Kementerian Agama, Ada Apa?

Jakarta, PendidikanIslam.id – Pemerintah akan berupaya menyelesaikan sejumlah permasalahan yang menyangkut dan menjadi harapan guru-guru swasta dengan melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.

Hal tersebut disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk merespon sejumlah aspirasi yang disampaikan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) yang menemuinya di Kantor Kemenag Jalan Lapangan Banteng Barat 3-4 Jakarta, Jumat (29/4).

“Kami akan berusaha melakukan kooordinasi dengan berbagai instansi, seperti Kemenkeu dan lain sebagainya, agar apa yang didiskusikan dengan PGSI bisa direalisasikan oleh Pemerintah, utamanya Kemenag,” ucap Menag seperti dilansir laman kemenag.go.id.

Dalam pertemuan tersebut, PGSI menyampaikan sejumlah catatan mengenai permasalahan yang dihadapi para guru swasta di Indonesia, seperti Sertifikasi, SK Impassing dan golongannya, BOS, Simpatika dan mengenai regulasi tentang akan diberhentikannya para guru yang belum D-4/S-1.

Menggarisbawahi persoalan sertifikasi, Menag mengatakan pemerintah butuh waktu untuk memastikan sertifikasi ini berjalan sebagaimana mestinya, juga kondisi anggaran yang terbatas karena situasi perekonomian negara.

“Anggaran kita juga terbatas, bahkan untuk tahun ini, APBNP dikurangi, karena situasi perekonomian kita, meski tak seburuk beberapa negara tetangga dan sahabat, namun Indonesia perlu berhemat dan konsentrasi pada program prioritas,” ucap Menag.

“Kami, itu bekerja berdasar atas regulasi, itu yang harus terlebih dahulu dipahami bersama, jadi, tidak bisa semata-mata langsung mengubah. Karenanya, butuh waktu ,” imbuh Menag.

Sementara itu, Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag RI M. Nur Kholis Setiawan yang mendampingi Menag dalam pertemuan tersebut mengemukakan bahwa sampai 25 April 2016, dana BOS telah terserap sekitar 24,7 % yakni sekitar Rp 700 Miliar.

“Pada 2015 lalu, dana BOS terserap 100 %. Insya Allah tahun ini juga,” ujar Nur Kholis optimis. (Red: Fathoni)

Kesan Rohis sebagai Organisasi Tertutup Harus Dihilangkan, Ini Alasannya

Jakarta, PendidikanIslam.id - Rohis (Rohani Islam) merupakan lembaga atau perkumpulan para siswa di sekolah untuk memperkuat dan memperdalam agama Islam. Rohis menjadi organisasi ekstrakurikuler sekolah yang menjadi bagian dari Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Selain sebagai forum pertemuan, Rohis menjadi wahana pengajaran, dakwah, dan berbagi pengetahuan Islam. Adapun susunan pengurus dalam Rohis layaknya OSIS, organisasi induknya.

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI Kamaruddin Amin mengaku bahwa para siswa SMA atau SMK berada usia yang sangat rentan terhadap berbagai pengaruh. Apalagi saat ini mereka begitu mudah mencari sumber-sumber pengetahuan agama melalui internet. Karenanya, Kamaruddin memandang perlu ada pendampingan, sehingga tidak ada penyimpangan seperti diberitakan selama ini.

“Ada isu negatif, Rohis dianggap menjadi bagian dari penyebaran paham-paham radikal, bahkan terorisme. Ini jangan sampai terjadi,” ucap Kamaruddin dalam konferensi pers, Kamis (28/4) di Kantor Kemenag RI Lapangan Banteng Jakarta Pusat terkait kegiatan Perkemahan Rohis yang akan dihelat Senin-Jumat (2-6/5/2016) di Buperta Cibubur.

Menurut Kamaruddin, kesan Rohis sebagai organisasi tertutup dan eksklusif harus dihilangkan. Bukan saja untuk mengantisipasi masuknya berbagai pemikiran-pemikiran radikal yang biasanya cenderung tertutup dan mengisolasi diri dari masyarakat, namun juga untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para siswa untuk belajar agama.

“Kita ingin mewejudkan Rohis ini sebagai organisasi terbuka agar semakin banyak siswa yang ikut. Belajar agama kan tidak perlu ditutup-tutupi. Selain itu, kalau bersifat terbuka maka para guru bisa lebih mudah melakukan pendampingan, dengan tetap memberikan ruang kepada mereka untuk melakukan aktualisasi diri,” kata Kamaruddin.

Untuk memberikan kesan terbuka itu,para peserta Perkemahan Rohis Nasional ini kali juga tidak dibagi berdasarkan provinsi. Mereka dibiarkan berbaur agar saling mengenal antar daerah satu provinsi dengan provinsi lainnya, berdiskusi dan berbagi informasi satu sama lain. Hanya saja untuk siswa laki-laki dan perempuan tetap terpisah.

Dari segi materi, Perkemahan Rohis ini kali lebih beragam juga. Ada materi wajib atau umum (MKDU) yang keseluruhannya harus diikuti oleh semua peserta. Materi wajib ini adalah tentang Islam yang damai dan Islam yang ramah. “Kita menyiapkan generasi emas yang penuh keramahan dan kedamaian,” kata Kamaruddin.

Ada juga beberapa materi yang tidak harus diikuti keseluruhannya atau MKDU, seperti materi mengenai leadership, jurnalistik, public speaking, dan manajemen masjid. Materi yang terakhir ini sangat penting karena basis utama kegiatan Rohis adalah di masjid atau musholla sekolah. (Fathoni Ahmad)

Thursday, April 28, 2016

Rohis Harus Jadi Wadah Penanaman Islam Rahmatan Lil Alamin, Mengapa?

Jakarta, PendidikanIslam.id - Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam (PAI) kembali menggelar kegiatan Perkemahan Rohis (Rohani Islam) Nasional di Bumi Perkemahan Cibubur pada 2-6 Mei 2016 mendatang. Kegiatan ini akan diikuti sekitar 1.800 hingga 2000 siswa SMA dan SMK seluruh Indonesia.

“Perkemahan Nasional Rohis ini kali merupakan gelaran yang kedua, setelah yang pertama diselenggarakan pada 11-15 November 2014 lalu di tempat yang sama. Berbeda dengan sebelumnya, jumah peserta yang terlibat tahun ini lebih banyak dan berasal dari 33 provinsi di Indonesia,” ujar Direktur PAI Kemenag RI H Amin Haedari dalam Konferensi Pers, Kamis (28/4) di Gedung Kemenag RI Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat.

Perkemahan Rohis Nasional II mengambil tema Membangun Generasi Muda yang Ramah dan Bermartabat. Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin mengatakan, Rohis memberikan warna yang berbeda di tengah belantika dunia remaja. Rohis merupakan salah satu penangkal terhadap berbagai peristiwa negatif yang menimpa remaja seperti pergaulan bebas dan pemakaian obat-obatan terlarang.

“Sebagai wadah organisasi keagamaan di sekolah, Rohis harus menebarkan paham dan nilai-nilai Islam Rahmatan Lil Alamin sehingga generasi muda bisa terbentengi dari paham radikal dan perilaku amoral,” tegas Kamaruddin.

Keberadaan Rohis di sekolah sebagai forum belajar nilai-niai agama harus terus mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Apalagi, anggota Rohis adalah generasi bangsa yang sedang menjalani usia emas pada tahapan kehidupan mereka. Peserta Rohis tahun ini adalah calon pemimpin bangsa pada Indonesia Emas 2045. (Fathoni Ahmad)

2000 Rohis Akan Dikumpulkan di Perkemahan Cibubur, Ada Apa?

Jakarta, PendidikanIslam.id - Kementerian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam (PAI) Ditjen Pendidikan Islam akan menggelar Perkemahan Rohis untuk kedua kalinya pada Senin-Jumat (2-6/4) mendatang di Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta. Kegiatan yang akan diikuti sekitar 2000 siswa aktivis Rohis ini mengambil tema Membangun Generasi Emas yang Ramah dan Bermartabat.

[caption id="attachment_1057" align="alignnone" width="300"]Dokumentasi Perkemahan Rohis Nasional 2014 Dokumentasi Perkemahan Rohis Nasional 2014[/caption]

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI Kamaruddin Amin menjelaskan, kegiatan perkemahan ini sangat strategis karena keberadaan Rohis sangat vital di sekolah.

“Dalam kegiatan ini, kita berupaya merevitalisasi Rohis dengan wawasan dan pemahaman Islam yang baik dan ramah serta bermartabat untuk bisa disebarkan kepada siswa-siswa lain,” ujar Kamaruddin dalam konferensi pers, Kamis (28/4) di Kantor Kemenag RI Jalan Lapangan Banteng Barat Jakarta Pusat.

Kamaruddin menjelaskan bahwa eksistensi Rohis perlu dibina sedemikian rupa dengan memberikan pemahaman agama yang baik dan benar. Hal ini menurutnya, karena materi pelajaran agama di sekolah hanya 3 jam sehingga kurang memadai.

“Rohis yang menjadi salah satu fokus Kementerian Agama untuk mencetak generasi ramah menjadi hal penting untuk menginternalisasi nilai-nilai moralitas, karakter, dan akhlak mulia. Melalui revitalisasi Rohis, pada akhirnya siswa bisa membentengi diri dari perilaku amoral dan radikal,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur PAI Kemenag RI H Amin Haedari menerangkan bahwa tak kurang dari 2000 siswa akan menjadi peserta perkemahan ini. Para delegasi tersebut berasal dari 33 provinsi di Indonesia.

“Mereka akan diberikan materi wajib dan umum. Materi yang wajib diikuti peserta adalah tentang pemahaman Islam ramah sehingga nantinya bisa menjadi duta-duta Islam ramah di tengah masyarakat,” ujar Amin.

Sedangkan materi umum, lanjutnya, meliputi konsep public speaking, leadership, manajemen masjid, jurnalistik, penulisan karya ilmiah, dan penulisan fiksi ilmiah. (Fathoni Ahmad)

01–15 Mei 2016, Pendaftaran Beasiswa S1 ke Luar Negeri

Jakarta, PendidikanIslam.id – Untuk kesekian kalinya Kementerian Agama kembali memberikan beasiswa. Beasiswa ini adalah Beasiswa Biaya Hidup untuk jenjang S1 di Luar Negeri (LN), yang dikelola oleh Direktorat Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam. Pendaftaran ini akan dilaksanakan secara online mulai tanggal 01 – 15 Mei 2016 di portal resmi Direktorat Pendidikan Madrasah.


“Melalui www.madrasah.kemenag.go.id, diharapkan pendaftaran bisa diakses seluruh lapisan masyarakat dalam rangka transparansi seleksi serta keterbukaan informasi publik,” kata Direktur Pendidikan Madrasah, Nur Kholis Setiawan.


Untuk proses seleksi, lanjut guru besar UIN Sunan Kalijaga ini, dilakukan dalam dua (2) tahap yaitu tahap seleksi dokumen dan seleksi wawancara.




[caption id="attachment_1177" align="alignright" width="250"]Prof. Dr. M. Nur Kholis Setiawan, MA Prof. Dr. M. Nur Kholis Setiawan, MA[/caption]

“Setelah melakukan pendaftaran online, maka semua dokumen/berkas harus dikirim paling lambat 20 Mei 2016 ke Subdit Kelembagaan Direktorat Pendidikan Pendidikan Madrasah, Kementerian Agama RI, Jl. Lap. Banteng Barat 3-4 Lt. 6 Jakarta Pusat 10710 untuk dilakukan verifikasi. Sedangkan pada tahap wawancara dilaksanaka setelah verifikasi. Jadi tidak ada ujian tulis, peserta yang akan diwawancara murni berdasarkan kelengkapan dokumen yang dikirimkan,” tegas alumni Pesantren Tebuireng ini.


Adapun berkas/dokumen yang harus dipenuhi sebagai persyaratan khusus adalah legalisir Ijazah atau Rapor kelas X-XII, Surat keterangan lulus (bagi lulusan tahun 2016) atau Surat pengantar (bagi lulusan tahun 2015), Letter of Acceptence (LoA) Unconditioal/Conditional dari kampus LN tahun akadeemik 2016/2017, Surat jaminan beasiswa tuition fee (bebas SPP) dari kampus LN, Surat Kelakuan Baik/Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dan beberapa surat pernyataan yang dibuat secara pribadi (lihat persyaratan umum).


Mengenai perguruan tinggi yang akan dijadikan tempat studi, lanjut pria kelahiran Kebumen yang pernah sekolah di Leiden-Belanda dan Bonn University-Jerman ini, adalah kampus-kampus yang terakreditasi di luar negeri di Asia, Amerika, Eropa dan Timur Tengah.


“Yang patut di-warning bagi calon penerima beasiswa ini adalah bahwa ia hanya menerima living cost allowance (biaya hidup bulanan) di kampus selama 4 (empat) tahun,” papar Nur Kholis yang pernah menjadi mahasiswa tamu di Universitas Kairo-Mesir ini. (@viva_tnu)


INFO LENGKAP :
http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/BeasiswaBiayaHidupLuarNegeri.pdf
http://madrasah.kemenag.go.id/wp-content/uploads/2016/04/Data-Perguruan-Tinggi-di-Luar-Negeri-untuk-Beasiswa-Biaya-Hidup.pdf


PENDAFTARAN VIA ONLINE :
http://madrasah.kemenag.go.id/bsln/


 

Guru Besar Ilmu Hadits Itu Telah Berpulang

Jakarta, PendidikanIslam.id - Umat Islam di Indonesia berduka atas wafatnya Rais Syariyah PBNU periode 2010-2015 dan mantan Imam Besar Masjid Istiqlal pada Kamis (28/4) pukul 06.00 WIB di Rumah Sakit Hermina Jakarta.

Semasa hidup, ulama ahli hadits ini telah banyak menelurkan karya monumental, baik dalam bahasa Arab, Inggris maupun Indonesia. Keahliannya dalam bidang ilmu hadits ini ia wujudkan dengan mendirikan Pondok Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darussunnah di Pisangan Barat, Ciputat, Tangerang Selatan.

Hingga sekarang, pesantren tersebut telah banyak mencetak para ilmuwan di bidang Ilmu Hadits maupun Tafsir. Bahkan perjuangan KH Ali Mustafa Yaqub untuk mengembangkan ilmu Hadits tidak berhenti hanya di Indonesia, tetapi juga berbagai negara seperti Malaysia dengan mendirikan pondok pesantren serupa di sana.

Berikut riwayat hidup (biografi) singkat KH Ali Mustafa Yaqub yang berhasil dihimpun NU Online:

Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA lahir di Kemiri, Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 2 Maret 1952. Saat ini, domisili beliau di Jalan SD Inpres No. 11 RT. 002 RW. 09 Pisangan-Barat Ciputat 15419 Tangerang Selatan, Banten.

Pendidikan KH Ali Mustafa Yaqub mulai dari SD sampai SMP, semua dijalani di Batang kota kelahirannya. Setelah tamat SMP minatnya untuk belajar agama mulai tumbuh, Ali Mustafa kecil bertandang ke sebuah pesantren di Seblak, Jombang untuk belajar agama sampai tahun 1969.

Kemudian beliau nyantri lagi di pesantren Tebuireng, Jombang sampai tingkat Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari sampai awal tahun 1976. Dan pada tahun itu juga ia masuk Fakultas Syariah Universitas Muhammad ibnu Saud sampai tahun 1985 kemudian mengambil Master di Universitas yang sama pada Jurusan Tafsir dan Ilmu Hadits.

Secara garis besar, pendidikan KH Ali Mustafa Yaqub adalah sebagai berikut:

Pondok Pesantren Seblak Jombang (1966–1969).Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang (1969–1971). Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang (1972–1975). Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia (S1, 1976–1980). Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Spesialisasi Tafsir Hadits (S2, 1980–1985). Universitas Nizamia, Hyderabad, India, Spesialisasi Hukum Islam (S3, 2005–2008).

Guna memperoleh gelar doktornya, Prof. Ali Mustafa Yaqub ahli hadits Indonesia yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat diuji para ulama Timur Tengah. “Masalah halal-haram merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam di manapun berada, karena mengkonsumsi produk yang haram disamping berbahaya bagi tubuh, juga menjadi sebab penolakan amal ibadah seorang Muslim oleh Sang Khaliq,” prinsipnya. (Fathoni Ahmad)

Inilah Sosok “Arsitek” Beberapa Madrasah Unggulan

Suasana haru menyelimuti acara perpisahan Ahmad Hidayatullah dengan para guru dan siswa, pertengahan Agustus 2015 lalu. Tidak sedikit siswa yang menangis. Tiga tahun memimpin MAN 3 Malang, ia meninggalkan banyak jejak prestasi. Sebelumnya ia juga sukses memimpin MAN Insan Cendekia Gorontalo dan Serpong. Ahmad Hidayatullah mampu mengubah madrasah menjadi lembaga pendidikan bertaraf Internasional. Ia melihat jauh ke depan dan kaya inovasi. Ia adalah salah seorang arsitek madrasah unggulan di Indonesia. Tidak hanya itu. Di sela menjalankan tugasnya memimpin MAN IC Gotontalo, MAN IC Serpong, dan MAN 3 Maang, ia berkeliling ke beberapa madrasah sekitar. Ia membuat forum pertemuan para pimpinan dan guru madrasah. Semua bisa bergerak dan maju bersama mengembangkan madrasah.

1 Ahmad Hidayatullah (tengah) dalam acara perpisahan di MAN 3 MalangSikapnya santun, rendah hati dan hangat. Berbincang dengan Dr. Ahmad Hidayatullah membuat siapapun betah berlama-lama. Di balik sosok pria rendah hati kelahiran Bangil 22 Juni 1968 itu tersimpan segudang prestasi yang membanggakan.

Tangan dinginnya telah berhasil menyulap madrasah-madrasah biasa menjadi sekolah unggulan bertaraf internasional. Dalam menyiasati berbagai keterbatasan yang dimiliki madrasah, Suami Susi Retnowati dan ayah Shaleha Hadiyatullah itu banyak memetik pelajaran dari perjalanan hidupnya yang penuh kesulitan dan perjuangan.

Dunia pendidikan islam saat ini didera oleh stigma sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Meskipun kiprah madrasah telah ratusan tahun mengiringi sejarah pendidikan bangsa, tetapi masih banyak orang yang memandang madrasah dengan sebelah mata.

Menghilangkan Stigma


Tanpa disadari, para pelaku pendidikan madrasah sendiri banyak yang membuat permakluman atas hal ini. Madrasah, dengan beban muatan materi pelajaran yang lebih banyak, dianggap wajar bila tertinggal dari sekolah umum yang memang fokus hanya mengejar prestasi di bidang-bidang studi umum.

Namun stigma tersebut lambat laun pudar berkat kerja keras para praktisi madrasah yang kompeten dalam membangun instutusinya, seperi Ahmad Hidayatullah. Sejak ditunjuk menjadi kepala MAN 3 malang, banyak perubahan yang dicapainya.

Dalam Olimpiade Sains Nasional XII tahun 2013 yang digelar di  Bandung (2-8 September), misalnya, 21 siswa-siswi dari MAN 3 Malang, MAN Insan Cendekia Serpong, dan MAN Insan Cendekia Gorontalo berhasil menyabeibt 4 emas, 8 perak, dan 9 perunggu. Semua madrasah itu pernah ditangani oleh Hidayatullah.

Perubahan drastis yang dicapai MAN 3 Malang membuat Kementrian Agama terpesona. Sekolah itu kemudian ditetapkan sebagai Pilot Project melalui Gerakan Menjadikan MAN 3 Malang Sebagai Etalase Madrasah Indonesia (GEMMA SEMI).

Sejak Maret 2012, Ahmad, demikian alumnus program magister UNJ Jakarta dan UGM Yogyakarta serta doktor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini akrab disapa, mendapat mandat dari Kementerian Agama untuk membuat perubahan besar di MAN 3 Malang.

Penugasan ini tentu bukan asal comot. Sebelumnya, pria kelahiran Bangil, Jawa Timur, 47 tahun silam ini, dianggap telah berhasil menaikkan kelas MAN Insan Cendekia Serpong, Tangerang, dan MAN Insan Cendekia Gorontalo menjadi madrasah berkelas internasional.

Ahmad ingin kesuksesannya membangun dua MAN Insan Cendekia menjadi sekolah unggul bisa menginspirasi madrasah-madrasah lain. Tetapi rupanya hal ini belum sepenuhnya terwujud karena masih ada pihak-pihak yang melihat keberhasilan itu sebagai hal biasa karena kedua madrasah tersebut memang dikembangkan dengan biaya tinggi.

MAN 3 Malang merupakan madrasah konvensional dengan dinamika turun-naik dan pembiayaannya sama dengan madrasah-madrasah lain. Kenyataannya siswa-siswi MAN 3 telah berhasil merebut medali di olimpiade nasional. “Kalau MAN 3 bisa, kenapa yang lain tidak?” katanya.

Membangun Spirit


Sejak hari pertama dilantik menjadi Kepala MAN 3 Malang, pada 6 Maret 2012 lalu, Ahmad langsung sprint. Berbagai strategi dan inovasi ia coba terapkan. Ia memulai dengan memetakan potensi apa yang ada di lembaganya.

Hasilnya berupa peta SDM pegawai dan potensi madrasah yang kemudian digunakan untuk menyusun skala prioritas pengembangan. Dari tahapan ini dirumuskan Pedoman Penyelenggaraan MAN 3 Malang untuk 5 tahun ke depan, yang kemudian di-breakdown menjadi rencana kerja jangka menengah, rencana kerja tahunan, serta rencana kerja anggaran.

“Untuk membuat peta potensi SDM, kami undang PUSPENDIK untuk menguji potensi guru-guru kami semua dari empat kompetensi: kepribadian, sosial, profesional, maupun kompetensi pedagogik,” katanya. Test juga diterapkan untuk para pegawai yang diharuskan menjalani uji potensi kinerja, intelektual, semangat kerja, dan potensi manajerial.

Dari pemetaan tersebut lalu Ahmad membuat program peningkatan dan pemerataan kapasitas para pengajar dengan menerapkan sistem tutor kemitraan. Setiap Sabtu dua pekan sekali para guru dalam satu rumpun bidang studi saling belajar dan bertukar pengalaman dan keahlian. Ahmad juga menghadirkan 27 professor dari perguruan-perguruan tinggi di Malang dan sekitarnya untuk meningkatkan pengetahuan para guru.

Perubahan penting lain yang didorong Ahmad adalah membangun spirit dan mindset para guru, bahwa pendidikan adalah bagian pembangunan peradaban yang dimandatkan Allah kepada seluruh umat manusia. Karena itu mengupayakan yang terbaik dalam pendidikan menjadi tugas semua orang dan menjadi medan jihad yang sesungguhnya.

Penasehat Pesantren Wahid Hasyim Bangil itu juga berusaha mengembangkan budaya transparan, partisipatif, prestatif, disiplin dan melayani. Itu semua berawal dari diri Ahmad sebagai pelopor keteladanannya.

Alhamdulillah, dengan kebijakan ini setiap guru saling mendukung dan saling memberikan kritik membangun,” katanya. Tradisi baru yang terbuka ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana fair dalam berekrja, tidak ada orang yang merasa terzhalimi.

Perguruan Tinggi Asing


Tahun ajaran baru 2012-2013 menjadi awal aksi go internasional yang dilakukan Ahmad Hidayatullah. Beberapa perwakilan perguruan tinggi luar negeri diundang olehnya untuk berkunjung dan melihat langsung proses pembelajaran di MAN 3.

Hasillnya cukup menggembirakan. Perwakilan dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Kyungsung University Korea, Aoyama School of Japanese (Tokyo), dan tiga universitas dari Sudan itu mengaku terkesan dengan sistem pembelajaran yang diterapkan MAN 3 Malang. “Mereka baru tahu bahwa ada lembaga pendidikan keagamaan, semacam madrasah, yang menerapkan sistem pendidikan sebagus ini,” kata Ahmad.

“Kalau lulusan sudah bisa bersaing dengan lulusan SMA dari negara lain untuk masuk ke universitas di luar negeri, itu salah satu tanda bahwa standar internasional tersebut telah tercapai,” ungkap Ahmad.

Mimpinya itu segera ia wujudkan. Belum genap satu tahun Ahmad memimpin, dua siswa MAN 3 Malang berhasil menembus ujian masuk sebuah perguruan tinggi di Jepang dan dua lagi di Sudan. Bahkan salah seorang diantaranya menduduki ranking satu dari 15 penerima beasiswa studi di Jepang yang program seleksinya dilakukan langsung oleh utusan dari pemerintah Jepang.

“Siswa MAN 3 Malang meraih ranking satu se-Indonesia dalam seleksi itu, menyisihkan siswa BPK Penabur dan MAN Insan Cendekia,” paparnya.

Tahun berikutnya (2013), terjadi peningkatan. Enam anak asuhnya diterima di Jepang, Madinah University, dan fakultas kedokteran sebuah Perguruan Tinggi di Jerman. Mulai tahun ajaran baru kemarin, MAN 3 juga mengubah sistem perekrutan siswanya. Nilai Ujian Nasional hanya sebagai syarat administrasi, bukan menjadi pertimbangan dalam seleksi. Sementara seleksinya sendiri menggunakan ujian yang juga mencakup minat dan bakat, semangat, serta daya tahan terhadap stres.

Berjualan Kopi

Ahmad Hidayatullah lahir dari keluarga biasa. Anak ke-10 pasangan Baim dan Muzdalifah yang tinggal di dusun Sangeng Utara, Kelurahan Bendomungal, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, itu waktu kecil terbiasa hidup pas-pasan.

Karena itu pria yang waktu kecil biasa dipanggil Mamad itu terbiasa bekerja keras membantu orang tuanya. Di luar jam-jam belajarnya, sejak sekolah dasar hingga menengah atas, ia harus menyiangi sawah garapan, seperti kebanyakan anak sebayanya pada masa itu.

Hidup sebagai keluarga petani bersahaja mengantarkannya lulus sekolah menengah atas, sesuatu hal yang cukup membanggakan untuk ukuran saat itu. Tetapi ia belum puas dengan ijazah Madrasah Aliyah.

Ia kemudian hijrah ke Malang untuk meneruskan studi di Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (IKIP Malang). Saat kuliah Ahmad berusaha mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya di rantau dengan berjualan kopi keliling. “Setiap pulang kuliah, saya langsung shalat zhuhur, lalu berjalan kaki menenteng terpos dan rencengan kopi bungkus,” kenang Ahmad. “Terkadang dalam sehari saya harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer untuk berjualan,” katanya.

Debutnya sebagai pendidik dimulai ketika ia mengajar sebagai guru bhakti di SDN Sumber Anyar 2, Nguling, Pasuruan. Pada saat yang sama ia dipercaya menjadi asisten dosen di IKIP Malang pada 1989-1992. Setelah itu mencoba peruntungan dengan mengikuri seleksi penerimaan pegawai di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan lolos.

Ketika pada tahun 1996-1997 BPPT memulai proyek Maghnet school STEP – BPPT yang merupakan rintisan sekolah Insan Cendekia, Ahmad Hidayatullah dipercaya menjadi Koordinator kerjanya. Dan ketika ada kebijakan Presiden Gus Dur untuk mengembalikan BPPT menjadi lembaga riset murni pada tahun 2001 yang membuat SMA Insan Cendekia harus diserah kelolakan kepada Departemen Agama dan berubah menjadi MAN Insan Cendekia, Ahmad dipercaya menjadi Kepala MAN Insan Cendekia Gorontalo (2002 – 2008).

Keberhasilannya mengantarkan MAN Insan Cendekia menjadi sekolah berprestasi, membuatnya kemudian dipercaya juga untuk mengepalai MAN Insan Cendekia Serpong pada 2008 – 2012. Lagi-lagi berbagai prestasi ia torehkan. Hingga akhirnya Pemerintah mempercayakan kerja menantang membuat MAN 3 Malang yang semula madrasah negeri biasa menjadi madrasah bertaraf internasional.

Hemat Rp 100,-

Menyulap madrasah menjadi sekolah level internasional bukan pekerjaan mudah. Di tengah pandangan umum yang under-estimate terhadap madrasah, Ahmad berkeyakinan model madrasah justru paling cocok untuk tipikal generasi muda muslim Indonesia yang memadukan unsur IPTEK dan IMTAQ.

Ia berharap, negara mau terus mendorong, memotivasi dan memfasilitasi pengembangan madrasah-madrasah untuk menjadi madrasah internasional. “Guru dan siswa madrasah itu hebat-hebat, kita tinggal menemukan potensi terpendam mereka lalu mengolahnya dengan cara yang tepat, insya Allah semua harapan besar itu akan tercapai,” katanya.

Ahmad bersama para guru dan siswa MAN 3 Malang tak pernah berhenti berinovasi. Prestasi terbarunya adalah mendapat nominasi award sebagai madrasah mandiri dari Kementrian Agama, berkat program M3M Community. M3M Community adalah instrumen yang diciptakan oleh komunitas MAN 3 Malang, baik civitas akademis maupun masyarakat umum yang simpati pada gerakan sosial yang sedang digulirkan oleh MAN 3 Malang dalam membuka peluang belajar bagi para yatim piatu dan dhuafa agar dapat menikmati fasilitas belajar yang bermutu.

Program ini berobsesi menjadikan pendidikan bermutu tetap dapat diwujudkan dan dinikmati siapa pun tanpa menjadi beban tanggung jawab orang tua atau beban bertambahnya anggaran negara.  Gerakan M3M Community berusaha mencarikan sumber pembiayaan alternatif bagi MAN 3 melalui program-program penggalangan dana sosial, seperti program hemat Rp. 100 perhari perindividu.  Luar biasa..!

Tugas Baru

1 Ahmad HidayatullahSetelah sukses memimpin MAN 3 Malang, Ahmad Hidayatullah mendapatkan tugas baru di Surabaya. Ia ditunjuk sebagai Kasubag Keuangan dan Perencanaan di Kanwil Kemenag Provensi Jawa Timur

Pertengahan Agustus 2015 diadakan acara pisah-sambut dari kepala lama kepada yang baru dilangsungkan di aula MAN 3 Malang, dengan penyarahan sejumlah dokumen penting disaksikan langsung oleh kepala Kantor Kementerian Agama Kota Malang. Dra. Hj. Binti Maqsudah, M. Pd menjadi Kepala MAN 3 yang baru menggantikannya.

“Tidak ada yang saya tinggalkan di madrasah ini, kecuali hanya lah jejak-jejak kerja kita bersama selama ini. Saya belum bisa memberikan apa-apa untuk MAN 3, kalau pun ada itu adalah hasil perjuangan para guru dan staf karyawan,” ujarnya rendah hati.

Di MAN 3 Malang, Ibu Binti bukanlah orang baru. Selain sebelumnya adalah kepala MTs Negeri 1 Malang yang seringkali melakukan kerjasama dengan MAN 3 sebagai madrasah terpadu, ia juga pernah bertugas sebagai guru di MAN 3 selama bertahun-tahun. Meskipun demikian, ia masih perlu melakukan banyak kordinasi dengan para guru untuk menjalankan tugasnya sebagai pimpinan.

Ahmad Hidayatulah mengingatkan, siapa pun orang yang memimpin madrasah, kalau semua komponen mau berkerja keras, tulus dan ikhlas, maka lembaga akan bangkit dan maju. Ia mengajak semua pihak mendukung pemimpin madrasah yang baru. “Tidak ada resep atau teori apapun untuk membuat terus maju madrasah ini, kecuali mari kita dukung Bu Binti sebagai kepala baru kita,” katanya.

Sebelum meninggalkan MAN 3, ia berpesan kepada seluruh elemen guru dan karyawan, untuk tetap bersemangat dalam bekerja dan mengabdikan dirinya sebagai guru dengan tetap menjadi suri tauladan bagi para siswa. Ahmad menegaskan bahwa energi mereka hendaklah digunakan untuk membangun dan mengembangkan madrasah, agar cita-cita luhur MAN 3 dapat tercapai. “Tetaplah tulus dan ikhlas, semoga Allah meridoi kita semua,” pesannya.

Upacara 17 Agustus 2014 menjadi upacara terakhirnya di MAN 3 Malang. Di hadapan 700-an siswa MAN 3 Malang, ia menyatakan masih merasa memiliki MAN 3 Malang. Ia merasa tidak meninggalkan madrasah yang beralamat di Jl Bandung Malang itu.

“Meski saya dipindahkan ke Surabaya, namun jiwa saya tetap disini, tetap bersama anak-anak semua,” kata Ahmad. Tidak sedikit siswa yang menangis melepas kepergiannya. [Red: Anam]

 

Malu, Tak Menghalangi Mencari Ilmu

Suatu ketika, tatkala al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man sedang duduk-duduk untuk memberikan pelajaran dan nashehat kepada para murid-muridnya, tiba-tiba datanglah seorang perempuan yang kemudian duduk lalu dengan penuh tatakrama, bergerak mendekati tempat sang Imam.

Setelah cukup dekat, tiba-tiba perempuan tersebut mengeluarkan dari kantong bajunya sebuah apel yang dikedua sisi buah apel tersebut sebagian berwana merah dan sebagian lagi berwarna kuning lalu meletakkan apel tersebut di depan sang Imam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Kemudian dengan tenang sang Imam mengambil buah apel tersebut lalu membelahnya menjadi dua.

Setelah sang Imam melakukan hal tersebut, tiba-tiba perempuan itu bangun lalu beranjak pergi meninggalkan majelis sang Imam.

Murid-murid sang Imam yang menyaksikan kejadian itu tak habis pikir, apa gerangan yang dikehendaki oleh perempuan tersebut sehingga berperilaku demikian di hadapan mereka dan sang Imam.

Tak tahan dengan tanda besar yang menghinggapi kepala para murid-murid tersebut, salah seorang diantara mereka memberanikan diri untuk ambil suara menanyakan apa gerangan yang dikehendaki oleh si perempuan sehingga berbuat demikian.

Kemudian dengan bijak dan penuh wibawa sang Imam menjelaskan;

“Sesungguhnya perempuan yang kalian saksikan tadi sedang mengalami haidl yang kadang-kadang darah haidlnya berwarna merah seperti sebagian sisi dari apel ini dan terkadang berwarna kuning seperti sebagian sisi yang lain.”

“Dia ingin menanyakan padaku, mana diantara kedua warna darah tersebut yang masuk kategori haidl dan mana yang masuk kategori suci?!”.

“Tetapi karena sifat malunya yang besar, dan didorong oleh kesadarannya bahwa menuntut ilmu tidak boleh dikalahkan oleh sekedar rasa malu…maka dia gunakanlah apel tersebut sebagai sarana bertanya padaku.”

“Kemudian aku membelah apel yang dibawanya untuk aku perlihatkan kepadanya bagian dalam dari apel  tersbut.”

“Hal itu aku lakukan, karena aku bermaksud mengajarkan kepadanya, bahwasanya kamu belum suci dari haidl sebelum kamu melihat cairan yang berwarna putih sebagaimna warna dari bagian dalam apel tersebut.”

“Setelah aku lakukan itu, dia langsung memahaminya, kemudian perempuan tersebut beranjak pergi.”

Wednesday, April 27, 2016

Para Pejuang Pendidikan Islam, Inspirasi Tiada Henti (2)

Pendidikan sebagai instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa tentu tidak akan berjalan jika kalkulasinya selalu materi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa mewujudkan kesejahteraan guru, khususnya di lingkungan pendidikan Islam harus diperhatikan betul, baik oleh pemerintah maupun masyarakat terkait.

Hadirnya buku jilid kedua tentang kisah para ngaji berjudul Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam Jilid 2 ini bisa menjadi inspirasi bagi para guru dan pengambil kebijakan bahwa di berbagai pelosok daerah, banyak ‘mutiara terpendam’ yang masih butuh sentuhan kebijakan meski perjuangan mereka tanpa pamrih. Buku kedua yang juga diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI ini berusaha menjangkau lebih luas lagi tentang kisah para guru ngaji di berbagai daerah di Indonesia.

Jika di jilid pertama banyak memotret para guru ngaji di daerah pulau Jawa, dalam buku kedua yang diberi Epilog oleh pendidik dan sastrawan Madura KH D. Zawawi Imron ini lebih banyak memotret guru ngaji di luar Pulau Jawa seperti Aceh, Mataram, Manado, Pontianak, hingga Papua. Terhitung dari jumlah total 29 kisah guru ngaji dalam buku ini, 17 tulisan berasal dari luar pulau Jawa sisanya dari Pulau Jawa.

Kendati demikian, baik para guru ngaji yang berasal dari Jawa dan luar Jawa tidak ada bedanya dalam sisi perjuangan mewujudkan pendidikan yang ramah dan murah. Potret perjuangan yang penuh dengan kesederhanaan inilah yang terus dilakukan oleh para pejuang tersebut. Meski proses pembelajaran dilakukan dengan sarana dan prasarana yang belum memadai, mereka tetap berupaya mencetak generasi emas dan berakhlak mulia seperti yang menjadi misi pendidikan Islam.

Dalam buku yang ditulis oleh para penulis muda dengan pendekatan jurnalistik sastrawi ini, berbagai tulisan inspiratif dihadirkan untuk menyampaikan bahwa keterbatasan dana, dukungan, sarana, dan lain-lain tidak mengurangi sedikit pun semangat untuk terlibat aktif mencerdaskan dan menyiapkan para generasi berkualitas dari berbagai aspek ilmu dan keterampilan. Apalagi dewasa ini pendidikan Islam terus menjelma menjadi ruh di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Jika ditarik benang merah, perjungan para guru ngaji yang dikisahkan secara apik dalam buku ini berangkat dari keprihatinan mereka terhadap generasi anak bangsa yang makin jauh dari nilai-nilai moralitas. Sebut saja guru bernama Husnul Khatimah (halaman 267) yang disebut dalam buku ini sebagai Tjut Nyak Dien. Ia secara nyata membangun lembaga pendidikan Islam yang bernama Taman Pendidikan Masyarakat (TPM) “Tanyoe” di Desa Lambirah, Aceh Besar dengan biaya dari uang beasiswanya sendiri saat ia masih kuliah di UIN Ar-Raniry Aceh.

Begitu pun dengan guru ngaji bernama Bastiah (halaman 167) yang mengabdikan dirinya dalam membina TPQ di desanya, Klirong, Kecamatan Tanggulangin, Kebumen, Jawa Tengah. Ia prihatin dengan berbagai perilaku premanisme di desanya sehingga bagi dia, penanaman nilai-nilai agama penting bagi generasi muda terutama anak-anak. Selain TPQ di Masjid, ia juga membuka pengajian di rumahnya. Pendidikan maraton ia jalani tiap hari yakni selesai mengajar di TPQ Masjid, ia lanjutkan membimbing anak-anak yang kerap sudah menunggu di rumahnya. Latar belakang menjadi TKI tidak membuatnya surut untuk membangun pendidikan Islam. Justru keputusannya menjadi TKI tidak terlepas untuk mewujudkan cita-cita mulianya. “Ya Allah, saya berangkat ingin mencukupi anak-anak yang ngaji. Perjuanganku Ya Allah,” Bastiah mengingat doanya.

Teladan lain dalam buku setebal 316 halaman ini hadir dari Ustadz Abdul Haris Sholeh (halaman 199). Guru Madrasah Diniyah di Desa Kebandungan, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini menjalani aktivitas mendidiknya disambi menekuni ternak kerbau lumpurnya. Berdasarkan semangat untuk membangun lembaga yang pendidikan Islamnya itu, Ustadz Haris secara serius mengelola peternakannya itu sehingga dapat juga memberdayakan masyarakat sekitarnya.

Luar biasanya lagi, dia mampu membesarkan usaha ternaknya sehingga mendapat pengahargaan dari Bupati. Dari perjuangannya inilah Bupati mengusulkan Ustadz Haris menjadi Pelestari Sumber Daya Genetik (SDG) Kerbau Lumpur Tingkat Provinsi Jawa Tengah. Pria kelahiran Brebes, 12 Juni 1980 ini dinilai layak karena telah terbukti mendukung program Swasembada Daging Sapi/Kerbau tahun 2015 dengan menjunjung tinggi kearifan lokal.

Tentu kisah-kisah inspiratif lain dari 29 para pejuang pendidikan Islam bisa diteguk dalam buku ini. Yang perlu ditekankan dalam perjuangan mereka adalah bahwa kerja-kerja kultural seperti yang dikisahkan dalam buku ini tidak bisa dikalahkan oleh kerja-kerja politik dengan pendekatan kekuasaan dan uang. Perjuangan mereka adalah pembelajaran yang mewah karena berangkat dari ketulusan hati yang tidak ada tandingannya. Sebab itu, tidak jarang generasi yang muncul menjadi berkualitas secara akhlak karena berangkat dari keikhlasan jiwa.

Tentu kisah dalam buku ini hanya sebagian kecil dari praktik yang tumbuh secara luas di masyarakat. Buku ini hanya berupaya menggambarkan ‘sebutir’ dan ‘sebongkah’ berlian yang bertebaran di berbagai pelosok dan sudut desa. Potret ini tidak serta merta ingin mengajak para pihak-pihak terkait untuk melakukan hal serupa, tetapi ingin memberikan ungkapan perjuangan kepada para pendidik lain dan para pengambil kebijakan agar keberadaan mereka juga perlu mendapat perhatian sebagai bagian dari elemen pencerdas generasi anak bangsa.***

Identitas buku:
Judul : Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam (Jilid 2)
Editor : Abi S Nugroho, Hamzah Sahal
Penerbit : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Tebal : xviii + 316 halaman
Cetakan : I, Desember 2015
Peresensi : Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.

Pendaftaran Beasiswa S1 Luar Negeri untuk Siswa Madrasah Segera Dibuka

Tidak lama lagi Kementerian Agama akan membuka pendaftaran beasiswa pendidikan bagi siswa madrasah untuk jenjang sarjana (S-1) di luar negeri. Beasiswa yang diberikan berupa biaya hidup bulanan selama empat tahun belajar di luar negeri.

Pendaftaran beasiswa ini akan dilaksanakan secara online melalui website resmi Direktorat Pendidikan Madrasah pada 1-15 Mei 2016. Demikian dikutip dari situs kemenag.go.id, Rabu (27/4).

beasiswa s1Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag M. Nur Kholis Setiawan mengatakan, beasiswa dikhususkan bagi siswa madrasah yaitu berupa biaya hidup untuk jenjang S1 di luar negeri. Calon penerima beasiswa yang berminat dapat mengklik laman http://madrasah.kemenag.go.id.

"Yang patut diperhatikan bagi calon penerima beasiswa ini adalah dia hanya menerima biaya hidup bulanan di kampus selama empat tahun," kata Nur Kholis.

Beberapa perguruan tinggi yang akan dijadikan tempat studi, kata dia, adalah kampus-kampus yang terakreditasi di luar negeri baik di Asia, Amerika, Eropa dan Timur Tengah.

Menurut Nur Kholis, proses seleksi akan dilakukan dalam dua tahap, yaitu seleksi dokumen dan seleksi wawancara. Peserta yang akan mengikuti seleksi beasiswa ini harus melengkapi sejumlah dokumen.

Lebih lanjut ia mengatakan, setelah melakukan pendaftaran secara daring (online) kemudian semua dokumen dikirim paling lambat 20 Mei 2016 ke Subdit Kelembagaan Direktorat Pendidikan Pendidikan Madrasah, Kementerian Agama.

Peserta yang lolos dalam verifikasi seleksi dokumen akan diikutkan dalam tahap wawancara. "Jadi, tidak ada ujian tulis. Peserta yang akan diwawancarai murni berdasarkan kelengkapan dokumen yang dikirimkan," kata dia. [Red: Anam])

Tingkatkan Kualitas KIR, MAN Wonokromo Adakan Pelatihan Jurnalistik

Bantul, PendidikanIslam.id – Kegiatan ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) MAN Wonokromo merupakan kegiatan yang diminati siswa, terbukti banyaknya peserta yang mengikuti kegiatan KIR tersebut setiap hari Sabtu siang. Hasil karya nyata dari kegiatan ini adalah dengan diterbitkannya majalah edisi tiap semester yang diberi nama “Aliansi”. Aliansi ini merupakan majalah yang memuat karya siswa, baik anggota KIR maupun siswa lain yang belum termasuk anggota KIR.

Dalam rangka meningkatkan kualitas dalam materi penulisan maupun dalam segi teknis penulisan, MAN Wonokromo menyelenggarakan workshop atau pelatihan jurnalistik bagi anggota KIR dan siswa lain yang berminat. Workshop yang diadakan Sabtu-Minggu (23-24/4) di aula MAN Wonokromo itu menghadirkan nara sumber M. Fauzinuddin Faiz dari Pesantren Ali Maksum Yogyakarta serta diikuti 45 siswa yang terdiri dari anggota KIR dan siswa yang berminat dari kelas X dan XI dengan didampingi pembimbing KIR, Ahmad Lutfian Antoni.

M. Fauzinuddin adalah penulis buku yang berjudul Mbah Kiai Syafaat yang diterbitkan Pustaka Ilmu yang sangat diminati pembaca. Dalam workshop tersebut, Fauzi menguraikan tentang tata cara menulis yang baik dan benar serta memberikan motivasi kepada peserta untuk berani menulis. Dalam kesempatan itu pula Fauzi juga menyampaikan testimoni terhadap kegiatan KIR di MAN Wonokromo, “Satu hal menarik yang saya dapati adalah budaya menulis para pelajar di MAN Wonokromo ini. Majalah Aliansi yang terbit konsisten setiap semester ini adalah salah satu bukti absahnya,” ungkap Fauzi seperti dilansir yogyakarta.kemenag.go.id.

Fauzi menambahkan, setahun yang lalu, dirinya diberi mandat untuk menulis profil Madrasah asuhan M. Nur Kholis Setiawan, Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag RI. Program yang dipimpin oleh Ruchman Basori ini menampilkan ciri khas, maziyah atau core beberapa madrasah di bawah Kemenag RI yang layak untuk dibuat percontohan. Karena domisilinya di Yogyakarta, maka dia kebagian menulis profil madrasah di daerah Yogyakarta. Ada 4 madrasah yang ditulis saat itu, yakni MA Ali Maksum, MA Al-Imdad Bantul, MAN Maguwoharjo dan MTs Lab Yaketunis dengan keunggulannya masing masing.

“Secara jujur saya kecolongan. Masih ada MAN Wonokromo yang memiliki ‘core’ tersendiri, khususnya di bidang kepenulisan dan budaya menulis. Saya rasa ini layak untuk dibuat teladan madrasah lain. Jika saya diberi kesempatan menulis profil madrasah kembali, saya akan mengusulkan MAN Wonokromo untuk saya tulis,” tambah Fauzi.

Kepala MAN Wonokromo, Ali Asmu’i mengungkapkan rasa senangnya atas terselenggaranya workshop jurnalistik ini, dengan wawasan dan ilmu yang disampaikan nara sumber handal diharapkan dapat menginspirasi dan memotivasi siswa untuk lebih berani menulis dan berkarya dalam bidang jurnalistik. “Menulis merupakan kompetensi yang harus dimiliki seseorang, karena dengan menulis menjadikan kita lebih bermanfaat untuk orang lain dan tulisan kita bisa menjadi amal jariyah kita dikemudian hari,” pesan Ali dalam sambutannya.

Sementara itu, pembimbing KIR, Ahmad Lutfian Antoni menyampaikan, workshop ini bertujuan untuk lebih membekali siswa dalam hal teknis penulisan maupun wawasan tentang jurnalistik secara umum. “Siswa siswa peserta KIR memang luar biasa, kemampuan menulis mereka sebenarnya cukup bagus, jadi kami berharap dengan mengikuti workshop ini, kemampuan mereka dalam menulis semakin berkembang dan menghasilkan karya karya yang semakin bagus lagi sesuai dengan teknis penulisan yang baik dan benar,” pungkas Lutfi. (Red: Fathoni)

Satu Lagi, Gubernur Berkomitmen Esksistensi Pesantren

Jakarta (PendidikanIslam.id) – Jumlah pondok pesantren di Indonesia yang mencapai kurang lebih 26juta dengan lebih dari 3juta santri, sejak jaman pra kemerdekaan sampai sekarang berperan aktif terhadap pembangunan di Republik ini. Tidak hanya pembangunan dimaknai fisik namun pembangunan non fisik berupa pendidikan yang lebih mendominasi.


“Pesantren  merupakan sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang. Sebelum ada sistem pendidikan yang dikelola pemerintah sekarang ini, pesantren sudah eksis terlebih dahulu. Dan lembaga ini tidak boleh hilang,” kata Gubernur Jawa Barat, Achmad Heryawan di laman republika.co.id, Rabu (27/4/2016).


Oleh karena itu, lanjut mantan pengajar di Ma’had Al Hikmah ini, dirinya sebagai Gubernur akan terus berkomitmen terhadap perkembangan pesantren khususnya yang berada di Propinsi Jawa Barat dikarenakan pendidikan ala pesantren ini merupakan pendidikan khas dan asli Indonesia.


“Pesantren memiliki kekhasan yang sangat unik karena pola pendidikan yang diajarkan tidak luput dari pengetahuan agama. Jika pemahaman kedepan itu hadir karena dua ilmu yang menentukan, pesantren menjadi salah satu solusinya. Dua ilmu tersebut adalah ilmu pengetahuan berbasis agama yang bisa menuntun hidup terarah dan ilmu teknologi yang dapat mempermudah hidup manusia,” tegas alumnus Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta ini.


Pesantren di Jawa Barat yang telah telah memberikan pendidikan tidak hanya ilmu agama naumun juga iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), lanjut Kang Aher, ternyata sudah menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan zaman, menyesuaikan dengan sistem pendidikan pemerintah.


“Hidup dan kehidupan menjadi mudah dan terarah, dengan dua hal yang diajarkan di pesantren. Di pesantren, terkonsolidasi keduanya," kata Gubernur yang terpilih untuk kali keduanya. (@viva_tnu)

Pesantren Bisa Jadi Model bagi Pendidikan Islam di Negara Lain

Jakarta, PendidikanIslam.id - Pondok pesantren di Indonesia bisa menjadi model bagi pendidikan Islam di negara lain. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu umum yang dapat berkompetisi dengan institusi pendidikan formal lainnya.

Tak lain adalah Utusan Khusus Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk Komunitas Muslim, Shaarik H. Zafar, yang menyampaikan tersebut. Shaarik yang berasal dari Pakistan itu mengaku takjub dengan pola pendidikan pesantren di Indonesia.

"Apa yang ada di Indonesia bisa menjadi model untuk diekspor ke negara-negara lain," kata Shaarik dalam perbincangan bersama pemimpin Perguruan Diniyyah Putri di Sumatera Barat, Fauziah Fauzan, dan tokoh Islam Indonesia di AS, Shamsi Ali, di kantor Kemlu AS, Washington DC, Selasa (26/4/2016) seperti dilansir detiknews.com.

Shaarik juga mengapresiasi karakter keislaman di Indonesia yang toleran. Menurutnya, Indonesia dapat lebih vokal dalam menyuarakan wacana keislaman di level global supaya komunitas internasional lebih mengenal wajah Islam yang sesungguhnya.

"Saya tahu kita diajarkan untuk rendah  hati. Tapi dalam hal ini saya pikir Indonesia perlu lebih lantang," kata Shaarik yang pernah berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan kalangan agamawan ini.

Penghargaan terhadap pesantren juga datang dari Dr. Jonathan A. Brown, Direktur Alwaleed bin Talal Center for Muslim Christian Understanding di Georgetown University, usai mendengar penjelasan Fauziah mengenai pesantren yang diasuhnya. Pesantren itu sendiri telah berdiri sejak 1923 dan saat ini memiliki 1100 santri yang kesemuanya perempuan.

"Ini sangat menarik dan luar biasa. Saya ingin sekali berkunjung ke sana," kata Dr. Brown.

Selama dua minggu, Fauziah Fauzan dan Shamsi Ali dijadwalkan berkeliling Amerika guna bertemu tokoh-tokoh dan kelompok masyarakat. Acara yang difasilitasi oleh Perwakilan-perwakilan RI di AS itu bertujuan untuk mempromosikan Islam yang berkarakter keindonesiaan di kalangan masyarakat AS. (Red: Fathuri)

Tuesday, April 26, 2016

Secanggih Apapun Metode Mengajar, Tak Bisa Kalahkan Keberadaan Guru

Surabaya, PendidikanIslam.id - "Terimalah salam dari kami yang ingin maju bersama-sama". Demikian senandung para pendidik madrasah dan widyaiswara mengiringi kehadiran Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Balai Diklat Keagamaan (BDK) Surabaya, Jawa Timur, Selasa (26/4).

Senandung ini juga menandai semangat dan antusias mereka untuk terus meningkatkan kinerja dan pengabdian sebagai pendidik para generasi bangsa. Terlebih, sebagaimana disampaikan Kepala BDK Surabaya, M Toha, kehadiran Lukman di bumi BDK Surabaya adalah sejarah baru kunjungan perdana seorang Menteri Agama.

Oleh Kepala Kanwil Kemenag Jatim, Mahfudz Shodar, kehadiran Menag dimaknai sebagai perhatian dan dukungan yang harus disikapi dengan peningkatan kerja para pendidik sebagai bagian dari ujung tombak Kementerian Agama di daerah. “Mari kita jaga dan pelihara Kemenag sebagai wadah tempat berkiprah agar bisa dikembangkan di masa depan,” jelasnya seperti diberitakan laman kemenag.go.id.

Sebagaimana biasa, senyum terus mengembang dari bibir sang menteri sembari menyalami para peserta diklat yang hadir. Tidak kurang 340 peserta diklat hadir, terdiri dari 160 peserta diklat pra jabatan dan 180 peserta diklat reguler yang terdiri dari: calon Pengawas PAI, Guru Mapel IPA dan Matematika MTs, Guru Mapel Ekonomi MA, serta diklat Publikasi bagi Guru MTs dan diklat hisab rukyat.

Antusiasme para peserta diklat yang memancar disambut dengan pesan tentang pentingnya cinta dalam mengajar. Mengenag sebuah ungkapan yang dipelajarinya saat di pondok pesantren, Menag berkata, “ath-Thariiqatu ahammu minal maadah. Wal mudarrisu ahammu minath-thariiqah. Wa ruuhul mudarrisi ahammu minal-mudarris”.

Menurutnya, metodologi mengajar lebih penting dari materi yang akan diajarkan. Sehebat-hebatnya metode mengajar, masih kalah penting dari keberadaan seorang guru. Sebab, metodologi tanpa guru hanyalah benda mati. “Keberadaan guru lebih penting dari metode secanggih apapun,” jelasnya.

Namun demikian, lanjut Menag, ruh dan jiwa guru, jauh lebih penting dari pada sekedar kehadiran guru. Menurutnya, guru bisa hadir di ruang kelas kapan saja, tapi kalau tidak disertai ruh dan jiwa, maka keberadaan seorang guru tidak cukup memiliki makna berarti.

“Saya memaknai ruh guru sebagai cinta. Rasa cinta itulah kekuatan luar biasa bagi kita untuk membangun peradaban ke depan. Maka, mengajarlah dengan cinta,” pesan Menag disambut tepuk tangan para guru, widyaiswara, dan peserta diklat lainnya.

“Ini tidak hanya penting bagi para guru, tapi juga bagi kita semua. Karena pada dasarnya setiap kita adalah guru bagi kingkungannya. Sebesar apapun tantangan yang dihadapi, kalau dihadapi dengan rasa cinta, maka sesuatu yang negatif bisa berubah menjadi positif,” tambahnya. (Red: Fathoni)

Monday, April 25, 2016

Pendaftaran Beasiswa Tahfizh aL-Qur`an akan Ditutup 30 April 2016

Jakarta (Pendis) - Seperti yang telah diumumkan di portal pendis.kemenag.go.id, bahwa Kementerian Agama telah membuka pendaftaran Program Beasiswa Tahfizh aL-Qur`an (PBTQ) Tahun 2016 mulai tanggal 01 April dan berakhir 30 April 2016.




[caption id="attachment_1171" align="alignleft" width="250"]Dr. Mohsen, MM Dr. Mohsen, MM[/caption]

"Disamping secara online melalui situs www.uicci.org, bagi para santri yang belum bisa mengakses internet dapat mendaftarkan diri secara offline pada Kantor Kementerian Agama Propinsi setempat," terang Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Mohsen.


Mengenai Beasiswa ini, Mohsen menerangkan bahwa PBTQ ini dilaksanakan dalam 2 (dua) kelompok program yaitu Program Tahfizh Kelompok Usia 18-22 Tahun dan Program Tahfizh Kelompok Usia 13-18 Tahun.


"Program Tahfizh Kelompok Usia 18-22 tahun ditujukan bagi mereka yang telah menyelesaikan hafalan al-Qur`an 30 Juz dan telah memiliki dasar pengetahuan Bahasa Arab. Program Tahfizh Kelompok Usia 13-18 tahun ditujukan bagi yang hafal minimal Juz `Amma (Juz 30). Kedua kelompok tersebut tentunya wajib mensyaratkan lancar membaca al-Qur`an sesuai kaidah membaca al-Qur`an yang baik dan benar," jelas mantan Kakanwil Kemenag Propinsi Sulawesi Tengah ini.


Pada seleksi PBTQ yang dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren kali ini, lanjut Mohsen, dilakukan secara serempak pada 8 (delapan) propinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Aceh dan Kalimantan Tengah.




[caption id="attachment_1170" align="alignright" width="250"]Penghafal al-Qur'an Penghafal al-Qur'an[/caption]

Sebagaimana diketahui, Program Beasiswa Tahfizh Al-Qur`an yang telah berjalan selama 6 tahun sejak 2010 ini adalah follow up kerjasama antara Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama dengan Yayasan Pusat Persatuan Kebudayaan Islam Indenesia-Turki, United Islamic Cultural Centre of Indonesia-Turkey (UICCI).


"Program ini bertujuan menghasilkan santri hafal Al-Qur`an 30 juz, memiliki kemampuan bidang Qira`at al-Qur`an, Kajian ilmu-ilmu Keislaman (Aqidah, Akhlaq, Tasawwuf, Fiqh, Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Bahasa Turki," papar salah satu pengasuh Pesantren Al Khairat Palu ini.


Dari angkatan 2010-2015, sudah 1.296 santri mengikuti program ini. Para santri mengikuti pendidikan dua tahun di beberapa cabang Pesantren Sulaimaniyah di Indonesia, kemudian diseleksi untuk mengikuti pendidikan 3 tahun di Turki.(@viva_tnu)


Silahkan download di link : http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=8039


924.735 KIP Siswa Madrasah Siap Didistribusikan

Jakarta, PendidikanIslam.id - Pemerintah terus menggenjot percepatan implementasi kebijakan Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang menjadi program unggulan Presiden Jokowi. PIP diperuntukan bagi anak usia sekolah untuk memberikan manfaat pendidikan secara optimal. Sasaran penerima KIP adalah setiap anak usia sekolah (6-21 tahun) baik yang telah bersekolah maupun yang belum terdaftar di sekolah.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyegerakan proses pencetakan dan distribusi KIP. Direktur Pendidikan Madrasah M. Nur Kholis Setiawan mengatakan bahwa alokasi 1,4 juta KIP akan terdistribusi bertahap ke madrasah. “Tahap pertama sejumlah 924.735 kartu akan segera didistribusikan,” jelas M Nur Kholis, Ahad (24/4) seperti diberitakan laman kemenag.go.id.

Jumlah itu, lanjutnya, terdiri dari 412.773 KIP untuk siswa MI, 432.219 untuk siswa MTs, dan 79.383 KIP untuk siswa MA. “Total ada 924.375 KIP yang siap untuk tahap pertama. Data mereka sudah fix by name by address hasil validasi bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),” terang Guru Besar UIN Yogyakarta ini.

“Tahap kedua, datanya sedang tahap validasi sesuai kuota yang tersedia dan diharapkan bisa segera selesai juga,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menyatakan bahwa KIP telah dicetak dan secara bertahap didistribusikan untuk menjangkau anak-anak usia sekolah di seluruh wilayah tanah air. “Setelah proses pencetakan, proses distribusi KIP secara bertahap juga telah dilakukan dan akan tuntas semua pada bulan Mei nanti,” kata Mendikbud Anies Baswedan di Jakarta, Kamis (21/4).

Pencetakan dan pengiriman KIP telah dilakukan secara bertahap ke seluruh Indonesia mulai awal tahun 2016. Di tahun 2016, target penerima dana KIP terus diperluas dengan menyasar anak usia sekolah (6-21 tahun) yang belum bersekolah.

Supaya menyasar target yang tepat, KIP 2016 menggunakan data terbaru dari Basis Data Terpadu (BDT) yang diterima bertahap dari TNP2K mulai 10 Februari hingga 1 Maret 2016. Pencetakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) mulai dilakukan setelah data dari TNP2K melalui proses filter dan sinkronisasi dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) milik Kemdikbud. (Red: Fathoni)

Sunday, April 24, 2016

Luar Biasa! 3 Alumni Pesantren Ini Raih Prestasi Tertinggi di Ajang Internasional

Bata-Bata, PendidikanIslam.id – Tiga alumni Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Madura, Jawa Timur yang sedang mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, meraih juara I dan III dalam ajang lomba debat bahasa Arab tingkat internasional, Selasa (19/4) lalu di Mesir.

Seperti dilansir situs resmi Pesantren Mamabaul Ulum, bata-bata.net, ketiga santri tersebut yakni Jamiul Ulum Munawi, Achmad Ghazali Huri (Tim B), dan Muchtar Makin Yahya (Tim A). Selain membawa nama baik Bata-Bata mereka juga mengharumkan nama baik Indonesia di kancah internasional.

Acara yang digelar FORSEMA (Forum Senat Mahasiswa) di bawah naungan Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) tersebut diikuti semua pelajar yang berasal dari luar Mesir (pendatang). Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk mempererat hubungan antar sesama mahasiswa asing di kampus Al-Azhar.

Sebelumnya, mereka sudah mengikuti tahap penyeleksian peserta pada hari Sabtu 16 April 2016. Dua tim dari Indonesia lolos untuk mengikuti grand final Di kantor Rabithah Alamiyah Lii khirrij Azhar. “Kami mengikuti lomba ini untuk mencari jati diri dan mengasah mental,” ungkap salah satu peserta lomba.

Prestasi ketiga santri Bata-bata tersebut mendapatkan apresiasi dari Dewan Ma’hadiyah Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Ahmad Khusairi. “Ini prestasi yang luar biasa, semoga mereka tidak pernah puas untuk terus meningkatkan prestasinya,” ungkapnya. (Red: Fathoni)

Memaksimalkan Metode Presentasi dalam Proses Pembelajaran

Tidak ada satu pun metode pembelajaran yang cocok di segala kondisi. Namun demikian, sebuah metode sangat mungkin bisa menjadi solusi untuk mengatasi problem-problem pembelajaran di kelas. Di titik ini, kebutuhan peserta didik menjadi poros utama bagi guru untuk menentukan sebuah metode pembelajaran yang pas dalam kondisi tertentu.

Dalam teori kepribadian, Abraham Maslow mengemukakan hierarki kebutuhan manusia yang diarahkan pada perkembangan seorang anak. Ada 5 kebutuhan yang dijelaskan Maslow dalam teorinya itu. 5 kebutuhan tersebut adalah: kebutuhan fisioligis; kebutuhan keamanan; kebutuhan cinta, sayang, dan kepemilikan; kebutuhan self-esteem (harga diri); dan kebutuhan aktualisasi diri.

Dalam praktiknya, setiap peserta didik pasti ingin menampakkan dirinya dalam pembelajaran di kelas. Tetapi kenyataan di lapangan, sebagian besar rasa malu, tidak percaya, dan minder masih kerap menyelimuti mereka sehingga keinginan untuk mengeaktualisasikan diri menuai resistensi. Bagaimanakah guru dalam mengatasi problem mereka ini?

Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi problem psikologis di atas adalah memaksimalkan metode presentasi untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri para peserta didik. Selain bisa menumbuhkan kepercayaan diri yang tinggi, metode presentasi memberikan kesempatan kepada mereka untuk berimprovisasi menjelaskan materi apa yang telah dipelajari dan dipraktikan.

Untuk menerapkan metode presentasi ini, tentu para peserta didik sebelumnya melakukan praktik pembelajaran sebuah materi. Sedangkan guru menginstruksikan apa saja yang dibutuhkan siswa untuk melakukan presentasi tersebut. Perlu dipahami bahwa presentasi merupakan kegiatan siswa atau sekelompok siswa yang memaparkan atau mendesripsikan hasil riset, kegiatan belajar, kegiatan kelompok, dan sebagainya yang dilakukan di hadapan guru atau seluruh siswa di kelas.

Dalam presentasi, siswa menjelaskan hasil kegiatannya agar diketahui oleh seluruh siswa atau untuk dinilai oleh guru. Sebagai itu, sebagai fasilitator, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para guru jika akan menerapkan metode ini, baik sebelum presentasi, ketika presentasi, dan setelah presentasi.

Pertama tahap sebelum presentasi, guru memberikan tugas dalam lembar kerja berisi instruksi atau panduan. Panduan yang diberikan dapat juga berupa pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh siswa atau kelompok. Selain itu, guru juga menentukan jadula kegiatan, batas akhir kegiatan, dan jadual presentasi. Apabila berupa tugas kelompok, guru menentukan jumlah atau anggota kelompok.

Guru juga menjelaskan kriteria penilaian presentasi, misalnya: dalam pembukaan, siswa menjelaskan maksud dan tujuannya dengan jelas (misal nilai 10%). Isi yang disampaikan sistematis dan jelas atau bisa dipahami. Instruksi atau pertanyaan-pertanyaan inti dijawab dengan baik (50%). Dalam menjelaskan, kelompok menunjukkan alat peraga, bukti atau contoh-contoh, dan sebagainya yang membantu siswa laim memahami hasil kegiatan mereka (30%). Adapun dalam penutup, perwakilan dari kelompok menyampaikan kesimpulan atau harapan dan salam penutup (10%).

Kedua tahap saat terjadi presentasi, guru mencatat kekurangan, kesalahan, kelebihan atau hal-hal baik yang telah dicapai oleh siswa. Para siswa mencatat hal-hal penting dan menyiapkan pertanyaan untuk siswa/kelompok atau untuk guru. Guru dapat pula memberikan lembar kerja berupa pertanyaan kepada siswa lain yang menyimak jalannya presentasi.

Ketiga tahap setelah presentasi, guru mempersilakan siswa untuk bertanya dan kelompok menjawab. Guru dapat pula memberikan poin tambahan kepada siswa lain (yang bukan kelompok) yang dapat menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada kelompok. Di akhir pelajaran, guru membacakan catatannya berupa kelebihan dan kekurangan atau pujian kepada kelompok. Guru dapat juga memberikan tugas kepada siswa untuk merangkum keseluruhan presentasi sebagai tugas atau pekerjaan rumah.

Untuk memberikan motivasi sekaligus inspirasi kepada seluruh siswa, guru hendaknya melakukan evaluasi secara komprehensif agar aktualisasi siswa dalam bentuk presentasi bisa mencapai level terbaik. Guru harus menekankan bahwa kebebasan bereskpresi dan berpikir adalah hak para siswa ketika sedang presentasi. Hal ini tentu harus didukung oleh data-data dan argumentasi yang kuat.

Adapun manfaat yang dapat diperoleh terkait dengan metode ini yaitu, ketika siswa melakukan presentasi, sesungguhnya mereka belajar berbagai hal, di antaranya: pertama, membahas materi atau permasalahan agar siswa lain mengetahui atau memahami pokok masalah dari riset materi yang telah dilakukan. Kedua, siswa dapat memaparkan, mendeskripsikan, merumuskan, menyimpulkan, atau mengevaluasi materi, teori, praktik, dan hasil kegiatan belajarnya. Ketiga, presentasi dapat menjadi ajang siswa untuk memprkuat kapasitasnya, menumbuhkan kepercayaan diri, meningkatkan kemampuan verbal, dan melatih cara berpikir kritis dengan berbasis data.

Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.

Friday, April 22, 2016

Al-Kisa’i: Jadi Ahli Nahwu Karena Salah Bicara

Suatu ketika Al-Kisa’i mendatangi suatu kaum, dan dia merasa sangat letih dan lelah. Maka dia pun berkata kepada orang-orang di sana, “Qad ‘ayîtu (maksudnya aku lelah).”

Mendengar perkataan ini, salah satu dari kaum itu menimpali, “Engkau akan mengadakan majelis dengan kami, sedangkan engkau sendiri salah dalam berbicara!” maksudnya, salah dalam hal nahwu dan perkataannya.

“Bagaimana aku salah?” Tanya Al-Kisa’i.

“Jika engkau ingin mengatakan lelah, maka katakanlah A’yaitu. Namun jika engkau ingin mengatakan berhenti dari tipu daya dan kebingungan, maka katakanlah, ‘Ayîtu,” jelas orang itu.

Al-Kisa’i pun tampak tersinggung dan tidak suka dengan hal itu, dia pun langsung berdiri dan bertanya tentang orang yang ahli ilmu nahwu di wilayah itu. “Di manakah ia?” tanyanya. Lalu orang-rang menunjukkan kepada salah seorang guru nahwu yang bernama Mu’adz Al-Farra’. Maka dia pun menemui Mu’adz dan belajar dengan tekun kepadanya.

Kemudian ketika dia pergi ke Bashrah, dia bertemu dengan Al-Khalil bin Ahmad, ahli nahwu masyhur waktu itu (guru Imam Syibawaih), dan menimba ilmu darinya. Tidak cukup dengan Khalil saja, akan tetapi Al-Kisa’i pergi ke padang sahara di Hijaz, ke Najd dan Tihamah. Kemudian dia kembali lagi ke negerinya (Kufah) dan telah menghabiskan lima belas botol tinta.

Tak mengherankan jika Al-Kisa’i (120-189 H) kemudian dikenal sebagai ahli nahwu yang fasih, di luar sangat masyhur sebagai pahlawan Al-Qur’an, yaitu salah satu qari’ terbesar dari tujuh qari’, selain ‘Ashim bin Abi Nujûd, Abdullah bin Amir (Ibnu Amir), Abdullah bin Katsir (Ibnu Katsir), Abu Amr bin ‘Alla, Hamzah bin HUbaib, dan Nafi’ bin Abdurrahman.

Begitulah seorang ulama, karena kritik memacunya untuk memperbaiki diri. Belajar dengan sungguh-sungguh, hingga menjadikannya sebagai ahli dalam bidang yang menjadi kekurangannya.

Endra Irawati, Guru Madrasah Berprestasi dari Tanah Bugis

TELAH lewat sewindu Endra Irawati mengabdikan dirinya di Madrasah Ibtidaiyah (MI) As-‘Adiyah 185 Lompulle, Sulawesi Selatan. Keterbatasan sarana-prasarana madrasah tak menyurutkan semangat dan tekadnya untuk berbagi ilmu, mencerdaskan bangsa dan memacu prestasi anak didiknya.

[caption id="attachment_1149" align="aligncenter" width="300"] Endra Irawati (berkacamata) bersama muridnya memboyong tropi Endra Irawati (berkacamata) bersama muridnya memboyong tropi[/caption]

Pengabdian Endra sebagai pendidik, dimulai tahun 2003 lalu. Setamat kuliah Diploma II di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) As-‘Adiyah, Endra mewakafkan dirinya di Lembaga Pendidikan tempatnya belajar sejak di Sekolah Dasar As-‘Adiyah. Segudang kesibukannya sebagai aktivis di, Gerakan Fatayat NU, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Lembaga Pendidikan Maárif NU, tak menghambat pengabdiannya sebagai seorang guru. Kegigihan dan keyakinan mengantarkan guru yang ramah dan penuh canda saat berbincang ini, menjadi salah seorang guru berprestasi baik tingkat Kabupaten Sopeng (2014) maupun tingkat Provinsi Sulawesi Selatan (2015).

Latar belakang keluarga yang agamis menjadi salah satu pemacu dirinya untuk terus berkarir didunia pendidikan Islam. Anak sulung dari empat bersaudara, dan ayahnya adalah tokoh agama yaitu sebagai imam desa di tempat tinggalnya Desa Kebo, pendidikan agama Islam pun menjadi perhatian utama bagi anak-anaknya dan berpengaruh pada kehidupan mereka hingga kini.

“Tuntutlah ilmu dimana saja dan ilmu apa saja karena ilmu adalah bekal untuk diri pribadi, keluarga dan orang lain” adalah pesan terakhir ayahnya yang hingga kini masih sangat melekat di hatinya sebagai sebuah motivasi yang mendatangkan keyakinan bahwa mengajar dan menuntut ilmu akan mendatangkan manfaat bersama.

Dari Keluarga Sederhana

Ketika kami menanyakan cita-cita dan visi-misi hidupnya, wanita kelahiran 18 Maret 36 tahun mengatakan bahwa selamat dunia-akhirat adalah cita-cita dan visi-misi hidupnya. Entah itu sebuah cita-cita atau bukan, katanya. Yang jelas selamat dunia-akhirat adalah keinginan semua orang beragama.

Pendidikan ibu Endra Irawati diawali di SDA As-‘Adiyah, Sengkan-Wajo (1994). Kemudian melanjutkannya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) As-‘Adiyah  Putri I Sengkan-Wajo (1999). Selepas dari MTs ia melanjutkan studi ke Sekolah Menengah, namun ia sempat beberapa kali berpindah sekolah karena beberapa alasan, diantara madrasah yang disinggahinya adalah Madrasah Aliyah As-‘Adiyah Sengkan, namun hanya sampai kelas I (satu) saja. Kemudian ia pindah ke SMA I Lilirilau, menginjak kelas II (dua) ia kembali berpindah sekolah ke SMA Calio.

Walaupun dengan kondisi keluarga yang sederhana namun tidak menjadi penghalang dirinya untuk terus menerus menuntut ilmu. Mengingat bahwa harta bukanlah sebuah batu sandungan yang perlu ditakuti dalam menuntut ilmu. Karena rizki akan selalu ada bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam talb ‘ilm, ujarnya. berkat keinginan pribadi yang kuat dan karena dukungan yang kuat pula dari keluarganya, akhirnya iapun  mampu melanjutkan studinya dengan baik ke Universitas Muslim Indonesia, namun tidak sampai 2 semester ia tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi tersebut dengan alasan tertentu. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Diploma II di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) As-‘Adiyah Sengkan mengambil konsentrasi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Islam (PG-SDI) pada tahun 2005. Dirasa ilmu yang didapatnya masih belum cukup, ia melanjutkan kembali studinya ke jenjang Strata Satu (S1) di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Ghazali Sopeng dengan konsentrasi yang sama pada tahun 2007.

Selama menempuh jenjang pendidikan dasar hingga perkuliahan, ia aktif diberbagai organisasi seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Palang Merah Remaja (PMR) dan organisasi ekstra kampus. Karena baginya organisasi-organisasi tersebut sangat bermanfaat bagi kehidupannya terutama dalam kaitannya dengan prilaku sosial kemasyarakatan. Karena dengan berorganisasi kita akan mengetahui bagaimana cara membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar, sehingga cita-cita mulianya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara dapat dilakukan dengan baik.

Aktivis dan Guru


Selepas menyelesaikan jenjang pendidikan menengah (2003), ia mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Tersadar karena mencerdaskan bangsa adalah tugas bersama dan dapat dilakukan dengan cara apapun. Maka hal yang ia jadikan alternatif dalam melakukannya adalah menjadi seorang guru, tugas yang sangat mulia dan tanpa pamrih. Madrasah pilihannya jatuh kepada madrasah kala pertama ia menuntut ilmu yaitu Yayasan Pendidikan As-‘Adiyah.

Pada tahun 2005 ia baru mendapatkan sertifikat mengajar dan hingga kini menjadi guru honorer di madrasah tersebut. Sesuai dengan jurusannya pada saat menimba ilmu di bangku perkuliahan maka jenjang yang ia  khidmati untuk mengajar yaitu tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) setingkat dengan Sekolah Dasar (SD). Di situ awal mula ia berkarir di dunia pendidikan. Kecakapan dan tanggungjawabnya yang tinggi menjadi modal utama ia dalam mengajar.

Baginya mengajar adalah sebuah keharusan dan sebuah tanggung jawab yang tidak dapat disepelekan. Karena dengan mengajar ia mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas dan bermartabat. Sesuatu yang ia jadikan prioritas setelah keluarga. Karena baginya, murid-murid adalah anak-anaknya juga yang perlu diasah intelektualitasnya, diasih kepribadiannya dan diasuh masa depannya. Disamping mengajar kesibukannya yang lain adalah sebagai seorang aktivis. Berorganisasi adalah hal lain yang menjadi salah satu kegemarannya, katakanlah demikian. Karena hal tersebut berlanjut dari sejak ia duduk dibangku sekolah menengah dan perkuliahan hingga kini.

Sehingga tidak mengherankan jika sampai sekarang ia masih turut serta dalam berbagai organisasi berbasis sosial-kemasyarakatan. Pengalamannya dalam berorganisasi selama masa muda membawanya untuk menempati posisi-posisi penting dalam organisasi yang diikutinya sebagai Ketua Karang Taruna Desa, Ketua Srikandi Pemuda Pancasila Kab. Sopeng, Wakil Sekretaris di KNPI Kab. Sopeng, Wakil Ketua Fatayat Kab. Sopeng, dan Bendahara LP Ma’arif Kab. Sopeng, serta jabatan-jabatan lainnya yang pernah ia duduki.  Ia tidak hanya aktif berorganisasi saja rupanya, ia pun menjadi salah satu tokoh agama di desanya, berperan sebagai ketua Majelis Ta’lim. Hal-hal tersebut di atas merupakan sebuah kolaborasi dan komposisi yang menarik bagi seorang wanita yang telah berkeluarga dengan setumpuk aktifitasnya.

Ibu dari dua anak ini memanglah patut dijadikan teladan bersama. Ia mampu menjalankan dengan baik tugasnya sebagai seorang istri, ibu, aktivis dan terutama sebagai seorang guru. Karena guru adalah orangtua kedua bagi murid-muridnya setelah ayah dan ibu.

Pencapaian-pencapaian yang ia raih sekarang ini tidaklah serta-merta terjadi begitu saja. Kerja keras dan kesungguhan menjadi kunci utamanya. Baginya hidup itu tidak perlu dibuat susah, cukup “enjoy” dengan hal-hal yang dilakukan dan berusaha memberikan yang terbaik dalam hal apapun. Sehingga hal apapun yang kita lakukan akan memberikan dampak yang baik untuk diri sendiri dan sekitar jika disertai dengan pikiran positif.

Ia tinggal di Desa Tobatang Kec. Pamanah  Kab. Wajo bersama suami, ibu dan kedua anaknya. Artinya, ia harus pulang-pergi Wajo-Sopeng untuk menjalankan aktifitas rutinnya sebagai pengajar di MI As-‘Adiyah 185 Lompulle dengan jarak tempuh yang tidak dekat. Karena suaminya terpilih menjadi Kepala Desa di tempat mereka tinggal.Hal demikian sama sekali tidak menjadi batu sandungan baginya dalam melaksanakan tugas mulia seorang guru. Karena mengajar baginya adalah lillahi ta’ala (karena Allah) semata. Sehingga meski dirinya hanya sekedar menjadi guru honorer di Madrasah tersebut, keberkahan senantiasa ia rasakan dari hasilnya mengajar.

Madrasah Mencetak Generasi Islami

Madrasah tempat ia mengajar merupakan tanah keluarganya yang diwakafkan kepada pihak Yayasan As-‘Adiyah di Desa Kebo. Background keluarga yang islami merupakan pemicu tingginya semangat keluarga ibu Endra Irawati untuk selalu mencoba memberikan hal terbaik untuk mengembangkan dunia pendidikan Islam, terlebih di desanya.

Kondisi awal pembangunan Madrasah Ibtidaiyah As-‘Adiyah 185 Lompulle pada era 90-an berdindingkan bambu dan beralaskan tanah. Sebuah kondisi yang kurang kondusif untuk menjalankan proses belajar mengajar, terlebih jika cuaca sedang tidak bersahabat. Namun tidak mengurungkan niat para pengajar dan muridnya untuk melangsungkan KBM.

Sejak akreditasnya yang pertama yaitu tahun 1994, MI As-‘Adiyah 185 sudah 5 kali melakukan pergantian kepala sekolah. Perkembangan pun mulai dirasakan oleh para pengabdi pendidikan di Madrasah tersebut. Kondisi lokal kelas mulai mengalami perbaikan sedikit demi sedikit, sehingga nyaman untuk digunakan dalam proses belajar-mengajar Madrasah.

Madrasah bertujuan membangun generasi bangsa yang tidak hanya mumpuni dalam IMTAK namun juga IPTEK serta bidang-bidang yang mendukung proses pendidikan dan masa depan para murid. Mereka sudah sejak dini diajarkan agar mampu menyeimbangkan antara duniawi dan ukhrowi, sehingga keduanya tidak berat sebelah. Hal demikian dapat dibuktikan dengan prestasi-prestasi yang mereka raih.

Prestasi yang diraih oleh para murid MI As-‘Adiyah 185 beragam, dimulai dari bidang oleh raga seperti juara I Futsal tingkat desa, juara I Tenis Meja tingkat desa dan Tenis Meja juara II tingkat kecamatan. Serta kategori dibidang lainnya seperti juara I pada lomba Pildacil dalam rangka memperingati harlah Depag Kab. Soppeng. Pada peringatan Digahayu RI ke-70 lalu, mereka pun menyabet juara I lomba tilawah, juara I lomba sholat berjamaah, juara II futsal,  juara I tenis meja, juara I bulu tangkis, juara II lomba mewarnai dan baca lancar. Itulah segelintir prestasi yang mereka raih, meski dengan keterbatasan yang ada.

Mengajar bagi ibu Endra bukan hanya proses belajar-mengajar, tapi bagaimana cara mengabdi kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat mengambil manfaat dari apa yang kita sampaikan. Jalanilah hidup dengan sepenuh hati dan sabar, maka hidup akan terasa mudah. Demikian pesannya saat diwawancarai.

Mengajar adalah Mengabdikan Diri


Keikutsertaanya dalam ajang Guru Berprestasi ditingkat kabupaten Soppeng, diawali oleh ajakan salah seorang pengawas di madrasah tempatnya mengajar. Mulanya ia merasa canggung dan ragu untuk mengikuti ajang guru berprestasi tersebut karena peserta yang lain sudah berstatus PNS sedangkan ia adalah satu-satunya peserta yang berstatus guru honorer. Namun, hal demikian jelas tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap mengikuti ajang tersebut dengan motivasi yang kuat, yaitu keinginannya untuk membuktikan kepada khalayak ramai bahwa guru madrasah pun mampu mengikuti ajang tersebut. Baginya, jika orang lain mampu melakukannya maka dirinya pun mampu melakukannya meski dengan segala keterbatasan yang ada.

Akhirnya ia pun mampu meraih juara ke-2 dan menyisihkan peserta-peserta lainnya yang mayoritas berasal dari sekolah mapan. Sehingga mendatangkan kebanggaan yang tak terhingga bagi civitas akademika dan murid-murid di Madrasah As-‘Adiyah 185 Lompulle. Hal ini membuktikan bahwa kerjakeras seseorang akan berbuah, proses tidak pernah mengkhianati hasil.

Metode pembelajaran ibu Endra adalah baca-tulis al-Qur’an, karena baginya hal demikian merupakan pelajaran yang sangat penting untuk ditekankan kepada para murid di MI As-‘Adiyah, karena jelas berbeda sekolah Madrasah dengan sekolah Negeri. Penekanan terhadap bidang studi keagamaan tidak serta-merta membuat Madrasah absen dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum kepada para muridnya.

“Saya sebagai walikelas 4 memegang semua mata pelajaran, kecuali matematika karena dipegang oleh Kepala Sekolah, sedangkan IPA ada guru khususnya”, jelasnya.

Minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan agama untuk anak-anak, membuat sedikit yang berminat untuk bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah. Total siswa di MI As-‘Adiyah 185 terdata sekitar 32 orang dari kelas I sampai kelas VI. Perlunya perhatian lebih dari pemerintah agar sarana-prasarana Madrasah diperhatikan dan diperbaiki. Setidaknya dengan demikian, sedikit demi sedikit masyarakat mulai mempercayai Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang terpercaya untuk mendidik anak-anaknya.

Bagaimanpun, itulah tantangan bagi para guru di MI As-‘Adiyah karena di Desa Kebo terdapat 5 sekolah negeri dan saling berdekatan. Sehingga butuh perjuangan yang lebih bagi MI untuk mendapatkan siswa.

Disinilah guru dituntut untuk lebih kreatif lagi, bahwa guru MI dapat melakukan hal yang sama dengan guru sekolah Negeri. Sejauh ini bentuk pengembangan dari MI As-‘Adiyah dengan mengikutsertakan para siswa pada setiap lomba dan kegiatan yang diselenggarakan baik ditingkat desa, kecamatan ataupun kabupaten.

Faktor internal dan eksternal haruslah diperhatikan untuk Madrasah yang lebih baik lagi. Salah satu faktor eksternal yang menjadi kendala dalam proses belajar-mengajar adalah faktor bahasa. Karena tidak sedikit masyarakat Sulawesi yang masih menggunakan bahasa daerah ketika berada di lingkungan sekolah. Sebenarnya hal demikian tidaklah merusak esensi dari belajar, namun kemudian anak-anak harus sejak dini dikenalkan kepada cinta tanah air agar terpupuk di dalam sanubarinya rasa memiliki terhadap Negara Indonesia.

Target yang ingin dicapai oleh sebuah Madrasah adalah suksesnya para murid. Sehingga melalui kesuksesan yang diraih oleh para murid maka akan mampu menarik simpati masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di Madrasah Ibtidaiyah.

Dengan kondisi yang penuh dengan keterbatasan, salah satu guru dari MI As-‘Adiyah inimampu mengharumkan nama Madrasah dengan prestasi yang diraihnya. Patutlah diberikan penghargaan dan apresiasi yang setinggi-tingginya. Agar menjadi motivasi dan inspirasi bagi guru-guru Madrasah lainnya untuk meningkatkan kualitas dirinya. Jika kualitas guru sudah baik maka muridpun demikian adanya.

Endra selalu memacu teman-teman satu profesinya untuk tetap istiqomah dan sabar dalam mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Meski hasil yang didapat terkadang tidak sesuai dengan keinginan. Namun, sudah seharusnya kita pandai bersyukur agar hidup subur.

Mengabdi bukanlah sesuatu yang mudah, karenanya dibutuhkan kesediaan dan kerjasama yang baik antar sesama agar terwujudnya tujuan Madrasah. Seyogyanya, keterbatasan yang ada tidaklah menjadi alasan untuk mundur secara teratur dari dunia pendidikan. Karena bagaimanapun, pendidikan adalah hal yang urgent untuk dikembangkan untuk kepentingan generasi manusia selanjutnya. Impian bu Endra adalah agar pendidikan agama terutama di Madrasah dapat mapan lagi, baik sarana-prasarana. Sehingga Madrasah tidak di pandang sebelah mata.

Jika sekiranya program dan rencana kerja dikonsep serta dikerjakan dengan baik. Niscaya Madrasah pun akan senantiasa menjadi salahsatu tujuan pendidikan para orangtua. [Red: Anam]

* Profil ibu Endra Irawati ini dimuat dalam buku “Keteladanan: Sosok Guru Madrasah Inspiratif yang Diterbitkan oleh Kementerian Agama”

Thursday, April 21, 2016

Santri itu Bernama RA Kartini: Membaca Ulang Sejarah

Oleh Fathoni Ahmad
Selama ini RA Kartini dikenal sebagai seorang bangsawan Jawa sekaligus priyayi, cara mudah bagi orang yang pertama kali medengar namanya cukup dengan membaca gelarnya itu, Raden Ajeng (RA). Raden Adjeng Kartini adalah putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama MA Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

Secara spesifik, tulisan ini tidak bermaksud membahas geneologi atau silsilah perempuan hebat yang lahir pada 21 April 1879 itu, tetapi bagaimana pemikiran revolusionernya tumbuh di tengah tradisi paternalisitik yang kental di lingkungan keluarganya. Tidak bisa dipungkiri, kuatnya paternalisitk inilah yang membuat Kartini selalu mencari jawaban dari anomali yang terjadi.

Mengapa peran perempuan seolah hanya menjadi pelengkap kehidupan laki-laki? Tentang jawaban pertanyaan ini, perempuan inspiratif yang wafat pada 3 September 1904 dalam usia 25 tahun itu sudah membuktikan diri dan memberi inspirasi bagi para perempuan untuk berperan sesuai dengan kemampuannya di tengah masyarakat dengan tidak menanggalkan perannya sebagai ibu di rumah tangga.

Masuk ke topik inti bahwa selain bangsawan Jawa, Kartini juga seorang santri. Dia nyantri dan belajar agama kepada Kiai Sholeh bin Umar dari Darat Semarang yang juga dikenal Mbah Sholeh Darat. Sebelum melakukan perjuangan kemerdekaan peran perempuan, pola pikir Kartini terbentuk ketika belajar ngaji kepada Kiai Sholeh Darat. Sebelumnya, kegelisahan demi kegelisahannya muncul ketika fakta yang ada masyarakat hanya bisa membaca Al-Qur’an tetapi tidak diperbolehkan memahami artinya pada zaman itu.

Dalam suratnya kepada Estella Zihandelaar (pegawai pos) bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis:

Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Al-Qur’an terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

RA Kartini melanjutkan kegelisahannya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim kepada Rosa Abendanon istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda yang dikenal sebagai salah satu tokoh penggerak politik etis.

Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.

Bertemu dengan Kiai Sholeh Darat

Sampai akhirnya Kartini bertemu dengan Kiai Sholeh Darat untuk belajar ngaji dan menanyakan berbagai hal yang menjadi kegelisahannya selama ini terkait dengan tidak diperbolehkannya masyarakat memahami isi dan makna Al-Qur’an. Fakta sejarah yang ada, ternyata kebijakan ini datang dari para penjajah dengan asumsi jika masyarakat memahami Al-Qur’an, maka jiwa merdeka akan tumbuh. Tentu hal ini akan mengancam kolonialisme itu sendiri. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa tidak banyak ulama saat itu yang menerjemahkan Al-Qur’an, bukan alasan tidak mau dan tidak mampu.

Fakta sejarah pertemuan antara RA Kartini dengan Kiai Sholeh Darat memang tidak diceritakan Kartini di setiap catatan surat-suratnya. Hal ini tidak lebih karena Kartini sendiri mengkhawatirkan keselamatan Mbah Sholeh Darat karena tidak tertutup kemungkinan kaum kolonial akan mengetahuinya.

Mbah Sholeh Darat sendiri dalam pengajian yang diberikannya kepada Kartini menjelaskan tentang tafsir surat Al-Fatihah. Hal ini seperti yang diceritakan oleh cucu Mbah Sholeh Darat, Nyai Hj Fadhilah Sholeh. Dalam ceritanya, Fadhilah Sholeh mengisahkan:

Takdir mempertemukan Kartini dengan Kiai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.

Kiai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kiai Sholeh.

“Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kiai Sholeh balik bertanya.

“Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kiai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali berucap “Subhanallah”. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa.

Dari gelap menuju cahaya

Dari riwayat di atas, Kartini menemukan cahaya yang menerangi berbagai kegelapan pengetahuan dan ilmu yang selama ini melingkupinya dengan ngaji kepada Mbah Sholeh Darat. Inspirasi inilah yang membuat Kartini memberi judul buku yang berisi surat-suratnya dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Secara historis, dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada saat itu pula penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat tetap melakukan penerjemahan, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “Arab gundul” (pegon) sehingga tidak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada RA Kartini pada saat dia menikah dengan RM Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

(Inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat-menyurat beliau... substansi sejarah telah disimpangkan secara siginifikan).

Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:

"Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya." (QS. Al-Baqarah: 257).

Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: Door Duisternis Toot Licht (1911). Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kiai Sholeh Darat keburu wafat.

Dari perjumpaannya dengan Mbah Sholeh Darat itu, Kartini juga banyak memahami kehidupan masyarakat yang selama ini terkungkung penjajahan sehingga banyak memunculkan sikap inferioritas terutama di kalangan perempuan. Keterbukaan pandangan dan pemikiran Kartini dari hasil ngangsu kawruh (menimba ilmu) kepada Mbah Sholeh Darat inilah yang membuat langkahnya semakin mantap untuk mengubah tatanan sosial kaum perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Selamat Hari Kartini!

Penulis adalah Pengajar di STAINU Jakarta.

Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber.

Wednesday, April 20, 2016

Wawancara: Kisah Waskito Jati, Alumni Madrasah Peraih Beasiswa di Harvard University

Melalui langkah yang berliku, belajar, dan usaha kerasnya, Waskito Jati (26) Alumnus MA Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Bantul, Yogyakarta berhasil meraih beasiswa di Harvard University. Dia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di Program Master of Theological Studies (MTS) di Harvard Divinity School dengan jurusan Islamic Studies.

Bagaimana proses kerja kerasnya dalam meraih beasiswa tersebut? Berikut kisah yang diutarakan oleh Waskito Jati melalui hasil wawancara seperti dirilis situs www.nu.or.id.

Bagaimana awalnya anda bermimpi bisa kuliah ke luar negeri?

Tujuh tahun yang lalu, setelah membaca doa witir di pojok Masjid al-Munawwir di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta saya menggumamkan doa yang saya sendiri sedikit tidak yakin jika doa ini masuk akal. Saya meminta kepada Allah agar saya diberikan kesempatan untuk berkuliah di universitas terbaik di dunia. Mengingat ibu saya yang hanya lulus SD dan ayah saya yang hanya lulus SMP, wajarlah jika saya berpikir mungkin doa ini agak terlalu berlebihan. Walaupun begitu, doa dan usaha saya untuk mencapai mimpi tersebut tidaklah berhenti hanya karena keraguan itu. Man jadda wa jada, sering kali diucapkan oleh kyai saya untuk memberi semangat kepada para santrinya agar terus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai mimpinya.

Lalu apa yang terjadi kemudian?

Setelah bertahun-tahun membanting tulang untuk bekerja sembari kuliah dan berorganisasi, saya mendapatkan email dari Harvard University yang memberikan selamat kepada saya atas diterimanya saya sebagai salah satu dari sedikit mahasiswa yang lolos dalam program Master of Theological Studies (MTS) di Harvard Divinity School dengan jurusan Islamic Studies. Tidak hanya diterima, saya bahkan dibebaskan dari biaya kuliah yang bisa mencapai ratusan juta rupiah karena Harvard juga menawarkan saya beasiswa yang akan mencakup biaya kuliah dan sedikit uang saku untuk saya. Ternyata doa saya menjadi kenyataan, dan ternyata usaha saya adalah tidak sia-sia.

Bagaimana anda memaknai keberhasilan yang diperoleh?

Satu hal yang saya pelajari dalam perjalanan saya menggapai mimpi ini adalah bahwa tidak ada mimpi yang terlalu tinggi. Semua mimpi itu dapat diraihkan asalkan kita dapat menuliskan proses untuk mencapai mimpi itu dalam kalender sehari-hari kita. Berapa jam saya akan membaca satu buku di hari ini, berapa vocabulary yang akan saya hafalkan setiap hari dan berapa essay yang akan saya tulis setiap harinya. Itulah yang saya lakukan selama bertahun-tahun ini. Berusaha untuk membangun kualitas diri yang setidaknya mendekati kualifikasi yang diinginkan oleh sekolah yang saya tuju. Proses ini tidaklah cukup hanya tiga atau empat bulan. Dalam pengalaman saya, proses ini memakan waktu kurang lebih delapan tahun.

Selain proses, apa resep anda bisa menembus Harvard University?

Kualitas yang dicari oleh semua universitas di luar negeri pastinya adalah kemampuan bahasa asing. Saya tahu ini pasti akan disyaratkan untuk mendaftar kuliah di luar negeri sejak saya kelas satu di MA Ali Maksum Krapyak. Oleh karena itu saya bergabung dengan organisasi debat Bahasa Inggris di sekolah saya. Saya sangat bersyukur dengan MA Ali Maksum karena keikhlasan guru-gurunya yang tiada tara. Pelatih debat Bahasa Inggris saya yang bernama Bapak Abu Ali al-Hussein, melatih kami satu tim setiap hari dari ba’da Isya’ dan seusai mengaji sorogan hingga tengah malam tanpa diberikan bayaran tambahan. Hanya dengan memasak mie instan bersama-sama pun kami merasa puas. Hasil kerja keras kami juga mengantar kami untuk menjadi juara satu dalam lomba debat Bahasa Inggris se-DIY di tahun 2008 mengalahkan banyak SMA favorit lainnya di Yogyakarta.

Belajar di madrasah yang juga pondok pesantren, apakah menguntungkan bagi anda?

Sangat menguntungkan. Saya justru bersyukur dapat tinggal satu asrama dengan teman-teman yang nantinya akan menjadi teman seumur hidup. Tidak hanya itu, di Pondok Pesantren Krapyak itulah saya berkenalan dengan banyak buku dan pemikiran yang tidak akan saya dapat jika saja saya tinggal di rumah sendiri. Saya sering kali terlibat diskusi hangat dengan teman-teman satu kamar saya untuk membahas masalah-masalah besar di dunia. Pada saat saya dihadapkan dengan interview untuk program pertukaran pelajar di tahun 2008, saya tidak kaget dan kesulitan berkat semua diskusi yang telah saya lakukan di asrama. Walhasil, saya berhasil mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika Serikat selama satu tahun di tahun 2008-2009.

Apakah anda pernah merasa gagal?

Setiap proses untuk menuju kesuksesan tentunya akan diiringi dengan beberapa kegagalan. Sepulang dari program pertukaran pelajar, saya harus mulai memikirkan kemana akan berkuliah. Saya tidak memiliki banyak pilihan saat itu karena ayah saya baru saja meninggal dunia dua tahun sebelumnya sedangkan biaya kuliah tidaklah murah. Saya pun mendaftar program beasiswa pesantren, dan juga beasiswa dari Universitas Paramadina. Namun tidak diterima. Saya juga mendaftar dan sudah diterima di Fakultas Hukum UII dan bermaksud untuk mendaftar beasiswa pesantren yang disediakan oleh UII. Namun saya harus melakukan registrasi dahulu dan membayar Rp 8 juta sebelum bisa mengikuti seleksinya.

Lantas, apa yang terjadi?

Jelas saya tidak mampu untuk membayar sejumlah itu dan pupus juga harapan saya untuk kuliah di UII. Akhirnya, hanya ada satu kampus yang akan dapat memberikan saya pendidikan yang terjangkau, yaitu kampus UIN Sunan Kalijaga. Bismillah, saya memilih jurusan Jinayah Siyasah di UIN Sunan Kalijaga. Meski sedikit kecewa, namun saya masih yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih baik. Saya jalani masa kuliah dengan serius. Duduk selalu di depan dosen, aktif dalam riset dan organisasi, dan menjaga nilai IP agar tetap diatas 3,8.

Siapa yang selama ini membimbing anda menekuni riset?

Dalam dunia riset dan akademis, saya belajar dengan bimbingan Prof. Noorhaidi Hasan, direktur program pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam pembahasan mengenai hukum perang dalam Islam dan jihad diandingkan dengan Hukum Humaniter Internasional.

Apa yang anda peroleh dari riset tersebut?

Hasil dari riset ini, nantinya dapat digunakan untuk menganalisa keabsahan strategi perang ISIS serta untuk memberikan counter argument terhadap tuduhan yang diarahkan kepada Islam berkaitan dengan terorisme dengan menunjukkan kesamaan prinsip antara Islam dengan peraturan PBB. Dalam studi saya nantinya, saya berkeinginan untuk mengembangkan lagi diskursus peraturan perang dalam Islam ini.

Selain kuliah S1 di UIN Sunan Kalijaga, apa kesibukan anda?

Selain berkuliah, saya juga aktif dalam organisasi di luar kampus. Selama tahun 2010-2014 saya menjadi volunteer di organisasi Bina Antarbudaya yang juga organisasi yang mengirim saya ke Amerika dulu saat saya SMA. Dimulai dengan volunteer biasa hingga akhirnya saya diangkat menjadi Vice President untuk chapter Yogyakarta. Saya biasa rapat berkali-kali setiap minggunya dan mengurus banyak agenda organisasi. Juga menjadi Presiden dari asosiasi alumni program pertukaan pelajar saya yang bernama IYAA. Selama memimpin organisasi ini, saya membuat proyek yang berskala nasional seperti pengumpulan buku di 15 kota di Indonesia, donor darah massal, hingga hari mengajar nasional. Bersama dengan organisasi saya ini, saya seringkali diundang untuk mengikuti training dan rapat di luar negeri mulai dari Filipina, hingga Yordania dan Ghana.

Bagaimana anda bisa melakukan begitu banyak aktivitas?

Terkadang saya juga tidak percaya bagaimana saya bisa melakukan hal itu semua selama saya kuliah. Saya harus memenuhi semua kebuthan saya pribadi saya sendiri, sehingga saya berkerja sebagai guru privat Bahasa Inggris. Dengan semua kegiatan ini, saya berangkat ke kampus pukul 8 pagi dan pulang sampai rumah pukul 9 malam. Saya selalu berdoa dua hal selama saya kuliah, pertama agar tidak ada polisi di jalan raya karena motor butut saya sudah lama tidak dibayar pajaknya dan juga karena saya tidak punya SIM. Kedua adalah supaya saya tidak kehabisan bensin di jalan karena uang saya sudah benar-benar habis. Sepertinya Allah sudah melindungi saya, walaupun pernah saya satu kali tertangkap polisi karena plat motor saya kadaluwarsa.

Bisa anda ceritakan setelah lulus dari UIN Yogyakarta?

Saya berhasil lulus dengan IP tertinggi UIN (walalupun tidak tercepat). Saya juga langsung mendapatkan perkerjaan di kantor Australian National University di Yogya selama beberapa bulan. Saya sudah mulai memikirkan untuk mendaftar beasiswa untuk sekolah lagi, dan biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Alhamdulillah saya dapat mengambil test IELTS dan meraih nilai 7.5. Saya pun mendaftar beasiswa LPDP dengan bekal ini. (LPDP adalah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Beasiswa ini adalah beasiswa yang berasal dari Pemerintah Indonesia yakni Kementerian Keuangan. Keberadaan beasiswa ini sangat populer di kalangan pencari beasiswa-red)

Sayangnya, Allah belum berkenan dan saya ditolak program LPDP di tahun 2015 lalu. Kecewa pastinya, namun kegagalan inilah yang mendorong saya untuk mencari kampus terlebih dahulu. Karena nilai IELTS (International English Language Test System) saya memadai untuk mendaftar di beberapa universitas terbaik di dunia, saya mencoba mendaftar ke sekolah-sekolah besar seperti University of Chicago dan Harvard University. Mendaftar di kampus Amerika memiliki syarat yang lebih ketat dibandingkan dengan kampus selain Amerika. Selain IELTS saya harus juga mengambil test GRE (Graduate Record Examination) yang bisa dibilang sepuluh kali lebih sulit dari IELTS.

Saya selalu belajar otodidak karena les GRE biayanya sangat mahal dan gaji saya sebagai guru les Bahasa Inggris tidaklah cukup. Belajar GRE ini adalah pengalaman belajar yang paling ekstrem yang pernah saya lakukan. Karena level kesulitannya, selama persiapan lima bulan, saya harus menghafalkan sekitar 25 kosakata Bahasa Inggris yang kebanyakan sangat sulit setiap harinya. Tiap hari, saya juga harus latihan menulis dua esai. Di akhir persiapan belajar, saya telah menghafalkan kira-kira 1.800 kosakata dan menulis kurang lebih 80 esai. Berangkatlah saya ke Surabaya untuk mengikuti tes ini. Hasilnya cukup memuaskan, walaupun nilai writing masih di bawah standar rata-rata Universitas Chicago dan Harvard, namun saya beranikan diri untuk mendaftar ke kedua universitas unggulan di Amerika itu.

Lalu apa yang terjadi kemudian?

Setelah usaha berbulan-bulan, saya mendapatkan email di awal Maret kemarin bahwa saya diterima di University of Chicago dan juga ditawarkan beasiswa yang akan menutupi 50 persen dari biaya pendidikan. Saya sangat bahagia medapatkan kabar ini. Satu minggu kemudian, ada email masuk dari Harvard. Dalam hati, saya berpikir, “Apapun yang terjadi, kamu telah melakukan yang terbaik”, dan email itu pun saya buka. Alangkah terkejutnya saya membaca kata “Congratulation!” di awal surat tersebut, yang memberikan selamat kepada saya yang telah diterima di Harvard University. Selain itu, Harvard juga membebaskan dari biaya kuliah dan memberi sedikit uang saku. Saya sungguh tidak percaya bahwa Harvard benar-benar ingin saya bergabung dengan institusi mereka. Dalam email itu juga dilampirkan sebuah link video yang berisi pesan selamat atas diterimanya saya di Harvard University. Barulah disana saya sadar bahwa ini semua adalah kenyataan. Semua kegagalan saya di masa lalu, kerja keras selama bertahun-tahun dan doa yang saya panjatkan delapan tahun lalu kembali ke ingatan saya. Saya hanya bisa bersujud syukur dan berterima kasih kepada Allah atas jalan yang ditunjukkan-Nya.

Bagaimana tanggapan orang tua, dalam hal ini Ibu terhadap keberhasilan anda menembus Harvard?

Pada saat saya memberi tahu ibu bahwa diterima di Harvard University, ibu bertanya dengan lugunya “Opo kuwi, Le? (Apa itu, Nak?)”, maklumlah karena ibu mungkin belum pernah dengar apa Harvard itu. Setelah saya terangkan, ibu bangga dan bahagia tentunya. Mungkin ibu tidak berdoa secara spesifik supaya saya diterima di Harvard, namun apapun doa beliau saya yakin itulah yang mengantar saya di titik sekarang ini.

Bagi anda pribadi, apakah kisah anda sudah selesai?

Tentu saja belum selesai. Saya harus mencari dana tambahan untuk biaya hidup di Harvard nantinya. Walaupun saya sudah tidak harus membayar pendidikannnya, biaya hidup disana belum terpenuhi, sedangkan beasiswa LPDP, walaupun misalnya nantinya diterima, tidak dapat memberangkatkan saya tahun ini karena prosedur jarak waktu yang dimiliki.

Saya saat ini sedang berusaha agar ada donatur yang berkenan membantu saya mewujudkan mimpi saya dan keluarga agar saya dapat meneruskan pendidikan di Harvard. Fase ini sejujurnya adalah fase yang lebih menakutkan, apakah saya bisa benar-benar berangkat ke Harvard? Saya tidak lagi bisa berusaha sendiri dalam tahap ini. Semoga ini juga termasuk rencana Allah, seperti rencana-rencananya di masa lalu, entah apa ujungnya nanti semoga saya dapat dengan ikhlas dan kuat menghadapinya.

(Red: Fathoni Ahmad)

Sumber: NU Online