Dalam sejarahnya, pondok pesantren Lirap didirikan oleh seorang ulama besar bernama KH. Ibrahim. Nama mbah KH. Ibrahim merupakan sosok pribadi yang alim dan tawadlu, ia berasal dari Maesan Brosot Kulon Progo. KH. Ibrahim lahir saat perang Diponegoro antara tahun 1825-1830.
Kehadiran beliau ke daerah kebumen setelah sebelumnya merantau di Mekkah untuk belajar mencari ilmu agama. Waktu yang beliau habiskan untuk tolabul ilmi (mencari ilmu) disana termasuk cukup lama. Sekian tahun dari umurnya dipergunakan untuk menghilangkan dahaga ilmu yang dirasakan, tercatat tidak kurang dari 37 tahun beliau bermukim di kota suci kelahiran Nabi Muhammad saw tersebut.
Kepulangan beliau sendiri sebenarnya karena keadaan saat itu yang tidak memungkinkan beliau untuk terus tinggal disana. Pertimbangan beliau pulang mengingat kebijakan politik pemerintah kerajaan Arab Saudi yang kurang membuat nyaman bagi madzhab atau aliran-aliran di luar Wahabi. Setelah kekuasan Arab Saudi berada di tangan raja Ibnu Su’ud, maka banyak penganut madzhab lain yang ditekan untuk mengikuti madzhab pemerintahannya. Lalu KH. Ibrahim merasa sudah saatnya untuk pulang dan lebih mengembangkan ilmunya di negeri sendiri Indonesia. Sebelum pulang, KH. Ibrahim telah dinikahkan oleh KH. Zainuddin Jetis Kebumen dengan putrinya yang bernama Siti Maemunah, Mertua beliau ini juga seorang ulama besar saat itu di Kebumen dan menjadi mursyid Thoriqoh Kholidiyah Naqsabandi.
Kemudian setelah sampai di kebumen, oleh sang mertua, KH. Ibrahim diberi lahan garapan atau tempat untuk berkiprah dan berdakwah di masyarakat, beliau disuruh menempati suatu daerah yang dikenal sampai sekarang dengan nama Lirap. Nama Lirap merupakan suatu dusun yang terletak di desa Banjarwinangun Kecamatan Petanahan wilayah selatan Kota Kebumen. Dusun Lirap sendiri saat itu terkenal sebagai daerah “hitam”, hal tersebut mengingat segala model kejahatan dan perilaku masyarakat yang buruk ada di sana, mulai dari mabuk-mabukan, judi, mencuri, merampok dan sebagainya. Demikian juga dengan situasi “alamnya” juga dikenal sebagai wilayah angker yang dihuni banyak jin yang sering menampakkan diri dan mengganggu masyarakat. Hal ini menjadikan keadaan masyarakat Lirap yang benar-benar sedang merosot baik dari sisi perilaku keseharian, sosial-ekonomi maupun akidahnya.
Keputusan KH. Zainuddin atas menantunya di Lirap dianggap sebagai keputusan yang sangat tepat, dan beliau merasa yakin bahwa KH. Ibrahim akan mampu menerima dawuh-nya berdakwah dan mendirikan sebuah pesantren disana. Maka KH Ibrahim pun menyanggupi dengan penuh kemantapan dan semangat atas perintah bapak mertua, meskipun ia sendiri sudah dapat membayangkan akan ada banyak tantangan yang dihadapinya. Apalagi ia juga mengetahui bahwa di Lirap juga sudah ada kaum Zending (penyebar agama Nasrani) yang telah lebih dulu berkiprah disana untuk meyebarkan agama mereka. Sekitar tahun 1891, Berbekal keyakinan akan pertolongan Allah dan bekal ilmu pengetahuan serta wawasan yang dimiliki, mulailah KH. Ibrahim menginjakkan kakinya di Lirap untuk menegakkan agama Allah Swt, menyebarkan amar ma’ruf nahi munkar secara bertahap demi tahap.
Maka benar saja apa yang sudah diduganya, rasa permusuhan dan kebencian masyarakat cukup dirasakan saat awal-awal berada di dusun tersebut. Namun sedikit-demi sedikit dengan cara dakwah yang simpatik dan cara bersialisasi yang humanis beliau tunjukkan, maka mulailah ada perubahan demi perubahan sikap dan tanggapan masyarakat atas kedatangan beliau di Dusun Lirap. Lama kelamaan, masyarakat juga merasa mendapatkan sosok pengayom dan pemandu hidup yang lebih bermakna dibanding kehidupan mereka sebelumnya yang penuh dengan lumpur dosa dan kemaksiatan. Kesejukan dan kharisma yang memancar dari jiwa suci sang kyai, menambah rasa nyaman dan tentram hati para tetangga beliau. Maka mulailah warga mendekat kepada KH. Ibrahim untuk mendapatkan ilmu dan nasihatnya.
Ilmu yang...
Ilmu yang Dikembangkan di Pesantren: Nahwu Shorof
Pesantren Lirap sebagaimana dikenal, sebenarnya memiliki nama khusus tersendiri yakni Pondok Pesantren Miftahul Ulum, yang berarti kuncinya ilmu atau pembuka ilmu. Nama tersebut dimaklumi karena di pesantren ini secara khusus dan dominan diajarkan tentang tata bahasa Arab (Nahwu dan Shorof). Maka Nahwu dan Shorof menjadi ciri khas utama dari kurikulum yang diajarkan di pesantren ini. Hampir dipastikan tidak ada materi lain selain masalah tata bahasa yang diajarakan, mulai dari Kitab Jurumiyah, Murodi, Murodan, I’rab, Imrithi, Maqsud, Izzi, Alfiyah, dan lainnya, semua adalah kitab-kitab yang materinya adalah tentang bentuk kata, kedudukan kata, dan struktur kalimat dalam bahasa Arab. Dengan adanya penguasaan yang mantap terhadap ilmu alat ini, maka diharapkan para santrinya kelak dapat membuka pintu-pintu ilmu yang ada dalam berbagai cabang ilmu agama. Santri dapat mengembangkan secara lebih luas melalui pembacaan mereka atas berbagai referensi dan khazanah keilmuan Islam yang tersebar dalam berbagai macam kitab (baik kitab kuning maupun kitab putih-kontemporer).
Mengapa Lirap terkenal di masyarakat sebagai Asrama Pesantren Shorof –Nahwu (APSN). Ada cerita khusus berkaitan dengan pilihan bidang ilmu yang diajarkan dan dikembangkan oleh pendiri KH. Ibrahim di pesantren ini. Pada dasarnya, ketika KH. Ibrahim belajar dan mukim di Mekkah, ia masyhur sebagai seorang yang alim di bidang Akidah. Namun pada saat hendak pulang ke Indonesia, beliau memiliki janji kesepakatan dengan seorang kawan yang sama-sama hendak pulang mengembangkan ilmu di negeri sendiri. Kawan beliau disebut-sebut berasal dari daerah Selanegara Sumpiuh Banyumas, ia dikenal sebagai orang yang alim di bidang Qowa-id al Lughoh (kaidah bahasa). Bentuk kesepakatan mereka berdua adalah masing-masing berjanji akan mengajarkan dan mengembangkan bidang ilmu yang dimiliki secara silang. KH. Ibrahim yang masyhur dengan ilmu akidah harus mengajar dan mengembangkan ilmu qawa-id al lughoh, sedangkan kawan beliau yang ahli qawa-id al lughoh harus mengajar akidah. Hal tersebut dimaksudkan agar keduanya tidak hanya dikenal sebagai orang yang alim di bidang ilmu tertentu saja sebagaimana di Mekkah, melainkan juga mengerti dan menguasai bidang yang lain, sehingga masyarakat dapat mengambil manfaat ilmu dari keduanya secara luas.
Maka benarlah, ketika KH. Ibrahim berada di Lirap, ilmu yang beliau tekankan adalah bidang ilmu yang berkaitan dengan masalah tata bahasa (nahwu dan shorof)
Karya...
Karya Tulis KH. Ibrahim
Ada sebuah kitab hasil karya KH. Ibrahim yang isinya berkaitan dengan masalah akidah, tetapi menggunakan model penafsiran atas matan Kitab Jurumiyah (Kitab Nahwu). Jadi walaupun matan Jurumiyah pada dasarnya merupakan jenis kitab dasar dari kajian tata bahasa Arab, namun diberikan makna menggunakan pendekatan nilai-nilai Akidah. Kitab yang cukup menarik ini diberi nama dengan Risalah Maemunah. Setelah ditelusuri, penggunaan nama Maemunah ternyata berasal dari nama istri tercintanya yakni Nyai Siti Maemunah. Kitab karya KH. Ibrahim ini dikarangnya pada saat beliau masih tinggal di Makkah.
Kitab Maemunah ini cukup popular dikaji oleh para mahasiswa atau ulama di Timur Tengah, terutama di Saudi Arabia, tetapi kurang begitu dikenal di negeri sendiri Indonesia. Hanya beberapa santri, alumni, atau kyai terutama yang pernah bertemu dengan KH. Ibrahim yang tahu kitab tersebut. Diantara yang mengetahui dokumen kitab tersebut adalah KH. Imam Muzani Bunyamin (cucu menantu, pengasuh pondok pesantren Darussa’adah Bulus Kritig Petanahan Kebumen).
Penerus...
Penerus Pasca KH Ibrahim.
Dari perikahannya dengan Nyai Siti Maemunah, beliau dikaruniai 4 anak; 2 laki-laki dan 2 perempuan. Estafet kepemimpimnan pondok pesantren Lirap setelah KH Ibrahim diserahkan kepada Kyai Lukman, putra laki-laki pertama (anak ke-2). Masa kepengasuhan Kyai Lukman berlangsung hingga tahun 1952. Pada masa kepengasuhan Kyai Lukman bangsa Indonesia sedang menghadapi peperangan atau clash kedua dengan tentara sekutu dan Belanda. Sehingga beliau bersama para santrinya banyak terlibat alam medan pertempuran. Keterlibatan Kyai dan santrinya dalam ikut serta mempertahankan kemerdekaan Negara Indoensia ini, mengharuskan mereka untuk bergerilya sampai ke daerah-daerah pelosok. Dalam perjuangan kemerdekaan itu, beliau bergabung dengan Pasukan Angkatan Oemat Islam (AOI) Kebumen, kedudukan beliau dalam pasukan sebagai Komandan Angkatan Perang.
Setelah selesai perang melawan Belanda, terjadi kesalahpahaman antara pasukan AOI dengan tentara pemerintah Republik Indonesia (pasukan Raiders TNI AD) yang dipimpin oleh kolonel Ahmad Yani, sehingga terjadi peperangan diatara keduanya. Awal peperangan ini dipicu oleh ulah politik PKI yang menfitnah pasukan AOI. Kepada pemerintah dikatakan bahwa pasukan AOI akan memberontak kepada pemerintah, dengan alasan belum menyerahkan senjata hasil rampasan perang melawan Belanda. Padahal tidak ada niatan dari AOI untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintah yang sah. Keinginan tentara AOI yang ada saat itu adalah keinginan sederhana agar mereka yang masih ingin berjuang untuk Negara dapat direkrut menjadi anggota TNI. Sedangkan yang tidak ingin terus menjadi tentara akan memilih kembali ke masyarakat menjadi petani, pedagang, atau guru ngaji, dan sebagainya. Kesalahpahaman semakin memuncak ketika Pemerintah memberikan peringatan dan memerintahkan kepada pasukan AOI agar segera menyerahkan senjata-senjatanya yang berasal dari rampasan perang atas tentara belanda.
Keadaan yang sudah semakin memanas tersebut dimanfaatkan orang-orang komunis untuk menyebarkan opini bahwa pasukan AOI melakukan usaha pemberontakan kepada pemerintah.
Akhirnya perang saudara itu tak terelakkan, sampai akhirnya Kyai Lukman pergi tanpa pernah diketahui keberadaannya. Tidak ada sumber informasi yang meyakinkan tentang keberadaan beliau sebenarnya. Sehingga sampai sekarang keluarga dan para santrinya tidak ada yang tahu dimana tempat tinggal maupun makam Kyai Lukman ini
Keistimewaan Kyai Lukman antara lain adalah, beliau seorang yang berkepribadian wira’i, zuhud, dan pejuang yang gigih. Menurut salah seorang pengikut setianya yang bernama Haji Abbas, dari desa Jagamertan, apabila beliau sedang berjalan melihat ada burung sedang makan di jalan, akan berhenti sejenak sampai sang burung pergi terbang, atau memilih berbelok arah. Beliau khawatir mendzalimi burung dengan tidak jadi makan karena terkejut oleh kedatangannya. Ini sikap muncul sebagai penghormatan terhadap sesama makhluk.
Pasca perang kemerdekaan melawan belanda dan perselisihan dengan TNI, kepengasuhan pesantren Lirap diteruskan oleh adik lelakinya (putra ke-empat) yakni KH. Durmuji Ibrahim. Ia meneruskan perjuangan kakak kandungnya, baik dalam bidang kepesantrenan maupun perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Beliau sempat dipenjara oleh Pemerintah RI di Nusakambangan dan penjara Ambarawa setelah sebelumnya diadili di kota Magelang karena tuduhan terlibat DI/TII, padahal hal itu hanya karena kesalahpahaman opini dan menjadi korban politik zaman PKI.
Kepengasuhan dipegang KH. Durmuji hingga wafatnya pada tahun 1991. Kyai yang dikenal juga akan kezuhudannya ini meninggalkan seorang istri Nyai Aliyah binti Syaikh Hamid Purwosari Puring Kutosari, dan putra-putrinya sebanyak 14 orang (putra 6 orang dan putri 8 orang)
Pengasuh...
Pengasuh Lirap Sekarang.
Setelah KH. Durmuji wafat, roda kegiatan pesantren diteruskan oleh para putranya hingga sekarang. Dilakukan pembagian tugas pengajaran secara khusus; bidang kitab Alfiyah diampu oleh K.Ahmad Dliyauddin; Jurumiyah dan Murodan oleh K. Muhammad Yasir. Untuk kitab Izzi, Maqsud dan Shorof diampu oleh K. Nur Halim. Adapun untuk urusan keluar (hubungan kemasyarakatan) ditangani oleh K. Agus Mansur.
Secara umum masalah kepesantrenan dikelola bersama atau kolektif oleh para putra KH. Durmuji sebagai generasi ke-3 pondok pesantren Lirap. Dan untuk kewenangan manajemennya juga sudah diatur sedemikian rupa sesuai dengan kapasitas dan potensi yang ada. Untuk kepengasuhan pesantren diampu oleh K. Ahmad Dliyauddin, bagian Thoriqoh Naqsabandi diserahkan kepada K. Nur Khalim, penanganan lembaga pendidikan lembaga formal SMK Bani Ibrahim dan urusan luar pondok (hubungan kemasyarakatan) dipegang oleh K. Mansur. Adapun pengelolaan lembaga formal yang paling baru SMP Mitahul Ulum dibawah pengawasan K. Ahmad Yasir, sedangkan pengelolaan TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Mitahul Ulum dipegang oleh putra laki-laki bungsu K. Maskur.
Metode pengajaran
Model pengajaran di Lirap sangat menonjol dengan ciri khasnya sorogan (setoran hafalan) untuk semua tingkatan atau kitab, ditambah takror, dan tasrifan. Dalam pengajaran tata bahasa di pesantren ini, tidak dikenal metode lainnya.
Model pengajaran yang sama seperti pesantren Lirap “Miftahul Ulum” ini dikembangkan juga oleh para menantunya, antara lain; Kyai Busro Ilyas Danasri Cilacap, Kyai Maftuhin Kesugihan Cilacap, Kyai Imam Muzani Bunyamin Bulus Kritig Petanahan, Kyai Munir Salatiga, dan Kyai Amir Banjarsari Ciamis.
Tambahan pengajaran atau disebut dengan kurikulu ektra kurikuler yang ada di Pondok Lirap antara lain adalah pengajian kitab bandungan (kebanyakan bertema nahwu dan shorof). Beberapa kegiatan yang menjadi menu ektra kurikuler santri meliputi; bimbingan khitobah (latihan pidato), pembacaan Nariyahan (Dziba-an) setiap malam selasa dan malam jum’at, latihan ketrampilan (life skill) meliputi usaha pelatihan berdagang melalui media warung dan koperasi pondok (kopontren), pertanian dengan media lahan sawah dan kebun yang dimiliki pesantren dan keluraga pesantren, peternakan (ayam, kambing, dll), dan lainnya.
Diberikan juga pelatihan dasar-dasar mengoperasikan komputer, terutama bagi yang telah menjadi pengurus pondok dengan tujuan agar mampu menata administrasi di pondok maupun tambahan bekal ketika kembali ke rumahnya masing-masing.
Kepada santri diberikan pula media untuk menyalurkan hobbi berolah raga mereka, olahraga ini berguna untuk menjaga kesehatan para santri. Sarana olahraga yang ada misalnya; sepak bola, bola voli, bulu tangkis, tenis meja, bola takrow, dan lain-lain.
Para santri juga biasa melakukan pertandingan persahabatan dengan pondok pesantren lain di sekitarnya, misalnya bertanding melawan santri pondok pesantren Darussa’adah Bulus, pondok pesantren Riyadlotul Uqul Nampudadi dan lainnya. Hal ini juga berguna untuk menyambung rasa ukhuwah islamiyah diantara mereka.
Keadaan...
Keadaan Santri
Sampai pada tahun 90-an, santrinya berasal dari berbagai wilayah nusantara. Bahkan ada diantaranya yang berasal dari Vietnam, Malaysia. Banyak tokoh pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang pernah mondok di pesantren Lirap.
Demikian juga tokoh yang sangat dikenal seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama) Gus Dur (mantan Presiden RI), KH. Makhrus Lirboyo, dan lain-lain, mereka adalah para alumni pondok khusus nahwu shorof “Miftahul Ulum” Lirap Kebumen.
Pada masa KH. Durmuji Ibrahim, santri pondok Lirap berjumlah sekitar 300 orang santri. Jumlah ini termasuk yang cukup banyak dalam catatan statistik santri Lirap,mengingat sebelumnya tidak banyak orang yang mondok di pesantren yang spesifik seperti Lirap ini dengan berbagai alasan. Para santri berasal dari berbagai daerah; Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, bahkan ada yang dari negera tetangga.
Setelah KH. Durmuji wafat pada tahun 1991, perkembangan pondok mengalami penurunan dari jumlah santrinya, terutama setelah khataman Alfiyah tahun 2007, jumlah santri semakin menurun.
Keadaan demikian mendapat perhatian khusus dari para putra penerus pesantren, dan setelahh mempertimbangkan banyak hal tentang kemaslahatan dan kemadlaratannya. Pesantren lirap mulai membuka diri untuk menambah kegiatan yang dikelolanya. Pertimbangan utama antara lain adalah agar asset amal jariyah dari sesepuh dan pendiri pondok dapat terus dilestarikan dan pesantren Lirap tetap dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Saat ini santri pondok Lirap yang menetap berjumlah sekitar 50 orang, tersebar ke dalam beberapa kamar yang ada dalam dua buah komplek asrama yang cukup megah. Selebihnya adalah para santri laju (tinggal diluar pondok) yang berasal dari sekitar pondok, mereka adalah bagian dari santri tahassus, santri TPQ Miftahul Ulum, siswa SMP, dan siswa SMK Bani Ibrahim.
Upaya...
Upaya Pengembangan Lembaga Formal
Langkah yang dilakukan tidak lepas dari landasar kaidah “al Muhafadzah ‘ala al-Qadimi al Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah”, melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi (hal) baru yang lebih baik.
Maka diantara langkah pengembangan yang sekarang muncul di Lirap adalah, didirikannya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Bani Ibrahim, yang bertempat di luar lingkungan pesantren. SMK ini dikelola secara professional ala pesantren. Muatan kurikulumnya adalah dari Diknas ditambah dengan materi kepesantrenan.
SMK Bani Ibrahim saat ini mengalami perkembangan yang cukup baik dan signifikan. Jumlah siswa dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak. Untuk kelas satu tahun pelajaran 2009-2010 ini mendapatkan siswa dua kelas. Mereka juga mendapatkan materi kepesantrenan yang diadakan pada jam tertentu dan pelaksanaannya berada di tempat atau lingkungan pesantren Lirap. Secara khusus, untuk urusan SMK ini banyak dipandu dan dimonitor oleh salah satu pengasuh K. Mansur.
Lembaga formal berikutnya yang muncul adalah Sekolah Menengah pertama (SMP) Mitahul Ulum. Khusus untuk lembaga ini kebetulan masih berada dilingkungan Pondok Pesantren Lirap, letaknya bersebelahan dengan lembaga yang didirikan baru juga yakni TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Miftahul Ulmum Lirap.
Khusus untuk SMP Miftahul Ulum tergolong sekolah yang masih baru, siswanya baru terdiri dari dua tingkat; kelas satu dan kelas dua. Lembaga yang merupakan bagian dari usaha pengembangan yang dilakukan oleh para putra penerus pesantren Lirap ini muncul tidak lepas dari usaha untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat sehingga pondok Lirap tetap memiliki kontribusi yang maksimal guna ikut serta mencerdaskan anak bangsa, terutama di lingkungan sekitar Lirap. pada tahun 2009. SMP Miftahul Ulum dalam operasionalnya sehari-hari di tangani pengelolanya dan mendapat pengawasan dari K. Ahmad Yasir.
Lembaga lainnya adalah Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) Miftahul Ulum Lirap. Lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak tingkat SD dan SMP ini memberikan materi pelajaran meliputi kemahiran baca tulis al-Qur’an, dasar-dasar keislaman, dan praktek-praktek peribadahan sehari-hari.
Secara khusus, lembaga ini diampu oleh putra KH Durmuji yang paling muda yakni K. Maskur (Gus Akul) dibantu beberapa ustadz-ustadzah di lingkungan pondok pesantren. Kegiatan TPQ berlangsung di sore hari setelah waktu sholat ashar, menyesuaikan waktu santri yang bersekolah atau belajar di sekolahnya maing-masing pada waktu pagi hingga siang hari. (Ali Muhdi, Pengajar IAIN Purwokerto, Dewan Pengasuh PP. Al Istiqomah, Petanahan-Kebumen, @viva_tnu, ed.)
No comments:
Post a Comment