Siapa yang tidak kenal Imam Syafi’i, ulama besar salah satu empat madzhab. Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi, dan hidup dalam usia yang cukup muda 54 tahun, yaitu 150 H-204 H atau 767 M-819 M. Kitab karangannya, di antaranya Al-Umm menjadi idaman ulama fiqh berabad-abad lamanya. Ia bukan hanya dibaca, tetapi mengalami proses intelektual yang luar biasa.
Oleh salah satu muridnya, Al-Muzani (w. 264 H), Al-Umm diringkas, kemudian dikenal nama kitab itu Mukhtashar al-Muzani. Ternyata ringkasan itu dibuatkan syarahnya menjadi Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab oleh Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H). Kitab Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab karya Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H) : diringkas menjadi al-Basith oleh Imam al-Ghazali (w. 505 H) : diringkas lagi oleh al-Ghazali (w. 505 H) menjadi al-Wasith : diringkas lagi menjadi al-Wajiz : diringkas lagi menjadi Khulashah, kesemuanya karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Kitab Al-Wajiz karya Imam al-Ghazali : diringkas menjadi al-Muharrar oleh Imam Rafi’i (w. 624 H). Lantas Kitab Al-Muharrar karya Imam Rafi’i (w. 624 H) : diringkas menjadi Minhajut Thalibin oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H). Ternyata kitab Minhajut Thalibin karya Imam an-Nawawi (w. 676 H) : diringkas menjadi Manhaj at-Thullab karya Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H). Lalu disyarah sendiri oleh Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) menjadi Fathu al-Wahhab yang cukup terkenal di kalangan pesantren.
Untuk belajar, Kertas Bekas pun Boleh
Tetapi cara memperoleh keilmuan seperti Imam Syafi’i, butuh usaha lebih, yang seharusnya layak kita tiru bersama. “Aku telah menghafalkan Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal al-Muwaththa (kitab hadits yang disusun Imam Malik bin Annas) saat berusia 10 tahun,” kata Imam Syafi’i.
Menurut sebagian orang, alangkah beratnya masa kanak-kanak Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mengatakan, “Ketika aku telah menghafalkan Alquran (30 juz), aku masuk ke masjid. Aku mulai duduk di majelisnya para ulama. Mendengarkan hadits atau pembahasan-pembahasan lainnya. Aku pun menghafalkannya juga. Ibuku tidak memiliki sesuatu yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas (buku untuk mencatat). Jika kulihat bongkahan tulang yang lebar, kupungut lalu kujadikan tempat menulis. Apabila sudah penuh, kuletakkan di tempayan yang kami miliki.” (Ibnu al-Jauzi dalam Shifatu Shafwah, 2/249 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 51/182).
Saat beliau mulai beranjak besar, antara usia 10-13 tahun, beliau butuh kertas untuk menulis apa yang telah dipelajari, tapi tidak ada uang untuk membeli kertas-kertas itu. Ia pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan kertas yang telah terpakai di satu sisi halamannya. Separuh lembar yang kosong itu, beliau gunakan untuk mencatat ilmu (Abu al-Hajjaj al-Mizzi dalam Tadzhib al-Kamal, 24/361).
Untuk apa usaha besar itu dilakukan oleh Syafi’i kecil, padahal ia masih terlalu muda? Jawabnya untuk ilmu yang menurutnya begitu berharga.
Ibnu Abi Hatim mendengar cerita dari al-Muzani, bahwasanya Imam Safi’i pernah ditanya, “Bagaimana obsesimu terhadap ilmu?” Imam Syafi’i menjawab, “Ketika aku mendengar suatu kalimat yang belum pernah kudengar, maka seluruh anggota badanku merasakan kenikmatan sebagaimana nikmatnya kedua telinga saat mendengarkannya.”
Beliau juga ditanya, “Bagaimana semangatmu dalam mendapatkannya?” Ia menjawab, “Sebagaimana orang yang bersemangat mengumpulkan harta dan pelit membaginya merasakan kenikmatan terhadap harta.”
Beliau ditanya pula, “Bagaimana engkau menginginkannya?” “Aku menginginkannya sebagaimana seorang ibu yang kehilangan anaknya, tidak ada yang dia ingin kecuali anaknya.” Jawabnya.
Itulah Imam Syafi’i, yang madzhab fiqhnya tersebar di seantero dunia Muslim. Seluruh jiwa raganya untuk ilmu dari sejak muda hingga wafatnya.
No comments:
Post a Comment